Teks Berjalan

Selamat Datang di Blog abuyasin.com Selamat Datang di Blog abuyasin.com

Jumat, 08 Agustus 2025



Terbang Tinggi, Melampaui Pujian dan Celaan: Sebuah Perjalanan Menggapai Rida Ilahi

Dalam kehidupan ini, kita sering terjebak dalam pusaran opini manusia. Diam dibilang pasif, bergerak maju dituduh agresif; menempuh jalan berbeda dianggap aneh, mengikuti arus dianggap tidak punya pendirian. Kita seakan berada di dalam arena yang penuh sorotan, di mana setiap langkah menjadi bahan penilaian. Padahal, dalam perspektif Islam, kehidupan bukanlah sebuah panggung yang membutuhkan tepuk tangan penonton. Nilai sejati seseorang terletak pada hubungannya dengan Allah, bukan pada seberapa banyak ia mendapatkan pengakuan dari manusia.

Kita perlu menyadari bahwa pujian dan celaan hanyalah ujian, bukan ukuran nilai diri kita yang sebenarnya. Kedua-duanya bersifat fana, berubah-ubah, dan sering kali bergantung pada persepsi yang terbatas, bahkan bias, dari manusia. Jika hidup diatur oleh penilaian manusia, maka kita akan menjadi tawanan pandangan mereka. Namun jika hidup diarahkan untuk mencari rida Allah, maka kita akan meraih kebebasan batin yang tak ternilai.

 

1. Pujian dan Celaan: Dua Ujian yang Sama-sama Menantang

Pujian dan celaan adalah dua sisi mata uang yang sama: ujian dari Allah.
Pujian dapat menjerumuskan pada riya’ (pamer), ujub (bangga diri), dan kesombongan, sementara celaan menguji kesabaran, keteguhan hati, dan keikhlasan. Allah telah mengingatkan dalam QS. Al-Kahf: 28:

"Dan bersabarlah kamu bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan senja hari dengan mengharap keridaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia..."

Ayat ini menegaskan pentingnya menjaga fokus pada keridaan Allah, bukan pada penilaian dunia. Pujian hari ini bisa berubah menjadi cercaan besok. Karena itu, landasan amal harus teguh: mencari rida Allah semata.

Rasulullah ﷺ pun menghadapi berbagai bentuk cemooh dan pujian. Beliau tetap istiqamah, karena tujuannya bukan popularitas, melainkan menyampaikan risalah. Dalam hadis riwayat At-Tirmidzi, beliau bersabda:

"Barang siapa mencari rida Allah walaupun manusia murka, maka Allah akan rida kepadanya dan akan membuat manusia rida kepadanya..."

Hadis ini mengajarkan bahwa fokus pada rida Allah akan membawa kita pada ketenangan batin, sekaligus menuntun manusia pada sikap yang lebih baik kepada kita—meski mungkin tidak seketika.

 

2. Kritik: Bahan Bakar untuk Terbang Lebih Tinggi

Banyak orang berhenti melangkah karena takut dikritik. Padahal, kritik adalah bukti bahwa kita bergerak. Allah mengingatkan dalam QS. Al-Ankabut: 2-3 bahwa iman akan selalu diuji, termasuk melalui penolakan, cemooh, bahkan fitnah.

Kritik yang datang bisa kita sikapi sebagai “bahan bakar” untuk memperbaiki niat, menajamkan kemampuan, dan menumbuhkan kesabaran. Imam Al-Ghazali berkata:

"Janganlah engkau tertipu oleh pujian mereka, dan jangan bersedih dengan celaan mereka. Engkau lebih mengetahui hakikat dirimu daripada mereka."

Sikap ini mengajarkan self-awareness kesadaran diri yang jernih bahwa nilai kita di hadapan Allah jauh lebih penting daripada citra yang dibentuk oleh penilaian manusia.

 

3. Menjadi Nyata di Hadapan Allah, Bukan Sempurna di Mata Manusia

Kita sering terjebak dalam standar kesempurnaan yang dibuat oleh manusia. Padahal, kesempurnaan di mata mereka adalah ilusi yang terus bergerak. Rasulullah ﷺ bersabda:

"Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, akan tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian." (HR. Muslim)

Hadis ini menuntun kita untuk menjadi autentik jujur pada diri sendiri, mengakui kelemahan, dan terus berusaha memperbaiki diri. Imam Syafi’i juga menegaskan:

"Keridaan semua manusia adalah tujuan yang tidak akan tercapai, maka cukuplah bagimu keridaan Tuhan manusia."

Menjadi nyata di hadapan Allah berarti menjalani hidup dengan keikhlasan, tanpa berpura-pura, tanpa terjebak dalam topeng sosial yang dibuat demi menghindari penilaian buruk.

 

4. Ikhlas: Kebaikan Tanpa Tepuk Tangan

Ikhlas adalah inti dari semua amal saleh. Ia adalah kebebasan sejati dari belenggu penilaian manusia. Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa amal yang ikhlas adalah amal yang tidak terpengaruh oleh pujian atau celaan. Bahkan jika dunia tidak tahu, Allah tahu.

Kebaikan yang disembunyikan lebih dekat pada keikhlasan, karena menghindarkan kita dari rasa ingin dipuji. Sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Insan: 9:

"Sesungguhnya kami memberi makan kepadamu hanyalah untuk mengharap keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih."

Ayat ini adalah cermin dari jiwa yang merdeka melakukan kebaikan tanpa terikat pada respons manusia.

5. Perspektif Psikologis: Mengelola Pengaruh Pujian dan Celaan

Dari sisi psikologi, hidup dengan orientasi pada penilaian orang lain disebut external locus of control kita merasa nilai diri ditentukan dari luar. Akibatnya, kebahagiaan menjadi rapuh.
Sebaliknya, Islam mengajarkan internal locus of control yang sejati: meletakkan standar hidup pada syariat Allah dan rida-Nya. Inilah yang membentuk resiliensi spiritual kemampuan bangkit dari tekanan karena hati terhubung dengan Allah.

 

6. Filosofi Hidup Melampaui Pujian dan Celaan

Secara filosofis, pujian dan celaan hanyalah gema dari opini yang subjektif. Filsuf Muslim Al-Farabi menyebut kebahagiaan sejati sebagai kebahagiaan yang tidak tergantung pada faktor eksternal, melainkan pada kesempurnaan jiwa dalam mengenal dan menaati Allah.
Maka, terbang tinggi di jalan rida Ilahi berarti melampaui pasang surut opini manusia menjadi seperti burung yang terbang di atas awan, tak terganggu riuh rendah di bawah.

Hidup yang diarahkan pada rida Allah adalah hidup yang bebas dari belenggu pujian dan celaan. Kritik menjadi bahan bakar, pujian menjadi ujian, dan setiap langkah menjadi bagian dari perjalanan menuju Dia.Pada akhirnya, kita akan sadar bahwa satu senyum keridaan Allah jauh lebih berharga daripada sejuta tepuk tangan manusia.

Kisah-Kisah Inspiratif: Terbang Tinggi Melampaui Pujian dan Celaan

1. Nabi Nuh AS: Seribu Tahun Bersabar di Tengah Cemoohan

Nabi Nuh AS adalah simbol kesabaran menghadapi celaan yang tiada henti. Selama 950 tahun berdakwah (QS. Al-Ankabut: 14), beliau tidak hanya diabaikan, tetapi juga diejek dan dituduh gila. Bahkan kaumnya menutup telinga mereka agar tidak mendengar dakwahnya.
Namun, Nuh AS tetap melangkah, karena tujuannya bukan mendapatkan persetujuan kaumnya, melainkan melaksanakan perintah Allah. Inilah puncak keikhlasan , tetap menjalankan misi meski hasilnya tidak terlihat secara duniawi.

Pelajaran: Kritik dan penolakan bukanlah tanda kegagalan, tapi bisa jadi tanda bahwa kita sedang berada di jalur yang benar di mata Allah.

2. Nabi Muhammad ﷺ: Dicaci, Dilempari, tetapi Tetap Mendoakan

Rasulullah ﷺ sering dicaci sebagai penyihir, pendusta, bahkan orang gila. Ketika beliau berdakwah di Thaif, bukan hanya ditolak, tetapi juga dilempari batu hingga berdarah. Dalam kondisi itu, malaikat Jibril datang menawarkan untuk menghancurkan penduduk Thaif, namun Rasulullah ﷺ justru berdoa:

"Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Beliau mengajarkan bahwa tujuan hidup bukan membalas cercaan dengan kemarahan, tetapi menjawabnya dengan rahmat, selama itu sejalan dengan kebenaran.

Pelajaran: Jika kita mampu menahan diri dari membalas keburukan dengan keburukan, kita telah melampaui jebakan ego yang sering memenjarakan manusia.

3. Umar bin Khattab RA: Kritik Sebagai Alarm Kebaikan

Suatu hari, Umar bin Khattab RA yang dikenal tegas, sedang menyampaikan khutbah. Tiba-tiba seorang wanita memprotes pendapatnya tentang mahar. Umar langsung menerima koreksi itu, sambil berkata di hadapan banyak orang:

"Wanita itu benar, dan Umar salah."

Umar RA tidak takut kehilangan wibawa di mata manusia, karena yang ia cari adalah kebenaran di mata Allah.

Pelajaran: Orang yang hatinya tertambat pada rida Allah akan menerima kritik dengan lapang dada, bahkan jika itu datang di depan umum.

4. Imam Ahmad bin Hanbal: Dicambuk demi Kebenaran

Ketika fitnah “Khalq al-Qur’an” (paham bahwa Al-Qur’an makhluk) melanda, Imam Ahmad bin Hanbal menolak untuk mengakuinya, meski penguasa saat itu memaksa. Ia dipenjara, dicambuk berkali-kali, namun tetap bertahan. Setelah fitnah mereda, beliau tidak membalas dendam pada para penganiayanya.

Pelajaran: Kadang mempertahankan kebenaran berarti siap menerima cercaan dan penderitaan. Namun, penderitaan itu sepadan jika hasil akhirnya adalah rida Allah.

 

5. Rabi’ah al-Adawiyah: Cinta Ilahi di Atas Segalanya

Seorang sufi perempuan agung, Rabi’ah al-Adawiyah, pernah berkata:

"Aku beribadah kepada Allah bukan karena takut neraka atau berharap surga, tetapi karena aku mencintai-Nya."

Baginya, pujian atau celaan manusia tidak relevan, karena tujuannya hanya satu: Allah. Cinta seperti ini membebaskan hati dari semua penilaian eksternal.

Pelajaran: Jika hati sudah terpaut kepada Allah, dunia dan segala komentarnya tidak lagi mengikat kita.

 

Strategi Praktis untuk Melampaui Pujian dan Celaan

  1. Teguhkan Niat Setiap Hari
    Awali hari dengan doa dan niat bahwa semua aktivitas ditujukan hanya untuk Allah. Niat yang kuat akan menjadi kompas di tengah badai opini.
  2. Latih Diri Menghadapi Penolakan
    Jadikan kritik sebagai bahan evaluasi, bukan alasan berhenti. Pisahkan antara masukan yang membangun dan celaan yang bersifat pribadi.
  3. Perbanyak Amal Tersembunyi
    Lakukan kebaikan yang tidak diketahui orang lain. Ini akan melatih hati agar tidak bergantung pada pengakuan.
  4. Bergaul dengan Orang yang Menarik ke Akhirat
    Pilih lingkungan yang mendorong kita mencari rida Allah, bukan sekadar status sosial.
  5. Mengingat Kematian
    Pujian dan celaan akan hilang ketika kita meninggalkan dunia ini. Yang tersisa hanyalah catatan amal di sisi Allah.

Langkah untuk Terbang Tinggi

Hidup yang diarahkan hanya kepada rida Allah akan membebaskan kita dari jebakan opini manusia. Kita akan mampu melangkah ringan, karena beban penilaian sosial tidak lagi mengikat. Pujian menjadi ujian, celaan menjadi penguat, dan setiap langkah menjadi sayap yang membawa kita lebih dekat kepada-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar