Terbang Tinggi, Melampaui
Pujian dan Celaan: Sebuah Perjalanan Menggapai Rida Ilahi
Dalam kehidupan ini, kita
sering terjebak dalam pusaran opini manusia. Diam dibilang pasif, bergerak maju
dituduh agresif; menempuh jalan berbeda dianggap aneh, mengikuti arus dianggap
tidak punya pendirian. Kita seakan berada di dalam arena yang penuh sorotan, di
mana setiap langkah menjadi bahan penilaian. Padahal, dalam perspektif Islam,
kehidupan bukanlah sebuah panggung yang membutuhkan tepuk tangan penonton.
Nilai sejati seseorang terletak pada hubungannya dengan Allah, bukan pada
seberapa banyak ia mendapatkan pengakuan dari manusia.
Kita perlu menyadari bahwa pujian
dan celaan hanyalah ujian, bukan ukuran nilai diri kita yang sebenarnya.
Kedua-duanya bersifat fana, berubah-ubah, dan sering kali bergantung pada
persepsi yang terbatas, bahkan bias, dari manusia. Jika hidup diatur oleh
penilaian manusia, maka kita akan menjadi tawanan pandangan mereka. Namun jika
hidup diarahkan untuk mencari rida Allah, maka kita akan meraih kebebasan batin
yang tak ternilai.
1. Pujian dan Celaan: Dua
Ujian yang Sama-sama Menantang
Pujian dan celaan adalah
dua sisi mata uang yang sama: ujian dari Allah.
Pujian dapat menjerumuskan pada riya’ (pamer), ujub (bangga diri), dan
kesombongan, sementara celaan menguji kesabaran, keteguhan hati, dan
keikhlasan. Allah telah mengingatkan dalam QS. Al-Kahf: 28:
"Dan
bersabarlah kamu bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan senja
hari dengan mengharap keridaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari
mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia..."
Ayat ini menegaskan
pentingnya menjaga fokus pada keridaan Allah, bukan pada penilaian dunia.
Pujian hari ini bisa berubah menjadi cercaan besok. Karena itu, landasan amal
harus teguh: mencari rida Allah semata.
Rasulullah ﷺ pun menghadapi
berbagai bentuk cemooh dan pujian. Beliau tetap istiqamah, karena tujuannya
bukan popularitas, melainkan menyampaikan risalah. Dalam hadis riwayat
At-Tirmidzi, beliau bersabda:
"Barang
siapa mencari rida Allah walaupun manusia murka, maka Allah akan rida kepadanya
dan akan membuat manusia rida kepadanya..."
Hadis ini mengajarkan bahwa
fokus pada rida Allah akan membawa kita pada ketenangan batin, sekaligus
menuntun manusia pada sikap yang lebih baik kepada kita—meski mungkin tidak
seketika.
2. Kritik: Bahan Bakar
untuk Terbang Lebih Tinggi
Banyak orang berhenti
melangkah karena takut dikritik. Padahal, kritik adalah bukti bahwa kita
bergerak. Allah mengingatkan dalam QS. Al-Ankabut: 2-3 bahwa iman akan
selalu diuji, termasuk melalui penolakan, cemooh, bahkan fitnah.
Kritik yang datang bisa
kita sikapi sebagai “bahan bakar” untuk memperbaiki niat, menajamkan kemampuan,
dan menumbuhkan kesabaran. Imam Al-Ghazali berkata:
"Janganlah
engkau tertipu oleh pujian mereka, dan jangan bersedih dengan celaan mereka.
Engkau lebih mengetahui hakikat dirimu daripada mereka."
Sikap ini mengajarkan self-awareness
kesadaran diri yang jernih bahwa nilai kita di hadapan Allah jauh lebih penting
daripada citra yang dibentuk oleh penilaian manusia.
3. Menjadi Nyata di Hadapan
Allah, Bukan Sempurna di Mata Manusia
Kita sering terjebak dalam
standar kesempurnaan yang dibuat oleh manusia. Padahal, kesempurnaan di mata
mereka adalah ilusi yang terus bergerak. Rasulullah ﷺ bersabda:
"Sesungguhnya
Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, akan tetapi Dia melihat
kepada hati dan amal kalian." (HR.
Muslim)
Hadis ini menuntun kita
untuk menjadi autentik jujur
pada diri sendiri, mengakui kelemahan, dan terus berusaha memperbaiki diri. Imam
Syafi’i juga menegaskan:
"Keridaan
semua manusia adalah tujuan yang tidak akan tercapai, maka cukuplah bagimu
keridaan Tuhan manusia."
Menjadi nyata di hadapan
Allah berarti menjalani hidup dengan keikhlasan, tanpa berpura-pura, tanpa
terjebak dalam topeng sosial yang dibuat demi menghindari penilaian buruk.
4. Ikhlas: Kebaikan Tanpa
Tepuk Tangan
Ikhlas adalah inti dari
semua amal saleh. Ia adalah kebebasan sejati dari belenggu penilaian manusia. Ibnul
Qayyim menjelaskan bahwa amal yang ikhlas adalah amal yang tidak
terpengaruh oleh pujian atau celaan. Bahkan jika dunia tidak tahu, Allah tahu.
Kebaikan yang disembunyikan
lebih dekat pada keikhlasan, karena menghindarkan kita dari rasa ingin dipuji.
Sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Insan: 9:
"Sesungguhnya
kami memberi makan kepadamu hanyalah untuk mengharap keridaan Allah, kami tidak
menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih."
Ayat ini adalah cermin dari
jiwa yang merdeka melakukan kebaikan tanpa terikat pada respons manusia.
5. Perspektif Psikologis:
Mengelola Pengaruh Pujian dan Celaan
Dari sisi psikologi, hidup
dengan orientasi pada penilaian orang lain disebut external locus of control kita merasa nilai diri ditentukan dari
luar. Akibatnya, kebahagiaan menjadi rapuh.
Sebaliknya, Islam mengajarkan internal
locus of control yang sejati: meletakkan standar hidup pada syariat
Allah dan rida-Nya. Inilah yang membentuk resiliensi spiritual kemampuan bangkit dari tekanan karena hati
terhubung dengan Allah.
6. Filosofi Hidup Melampaui
Pujian dan Celaan
Secara filosofis, pujian
dan celaan hanyalah gema dari opini yang subjektif. Filsuf Muslim Al-Farabi
menyebut kebahagiaan sejati sebagai kebahagiaan yang tidak tergantung pada
faktor eksternal, melainkan pada kesempurnaan jiwa dalam mengenal dan menaati
Allah.
Maka, terbang tinggi di jalan rida Ilahi berarti melampaui pasang surut opini
manusia menjadi seperti burung yang terbang di atas awan, tak terganggu riuh
rendah di bawah.
Hidup yang diarahkan pada
rida Allah adalah hidup yang bebas dari belenggu pujian dan celaan. Kritik
menjadi bahan bakar, pujian menjadi ujian, dan setiap langkah menjadi bagian
dari perjalanan menuju Dia.Pada akhirnya, kita akan sadar bahwa satu senyum keridaan Allah jauh lebih
berharga daripada sejuta tepuk tangan manusia.
Kisah-Kisah Inspiratif:
Terbang Tinggi Melampaui Pujian dan Celaan
1. Nabi Nuh AS: Seribu
Tahun Bersabar di Tengah Cemoohan
Nabi Nuh AS adalah simbol
kesabaran menghadapi celaan yang tiada henti. Selama 950 tahun berdakwah (QS.
Al-Ankabut: 14), beliau tidak hanya diabaikan, tetapi juga diejek dan dituduh
gila. Bahkan kaumnya menutup telinga mereka agar tidak mendengar dakwahnya.
Namun, Nuh AS tetap melangkah, karena tujuannya bukan mendapatkan persetujuan
kaumnya, melainkan melaksanakan perintah Allah. Inilah puncak keikhlasan , tetap
menjalankan misi meski hasilnya tidak terlihat secara duniawi.
Pelajaran: Kritik dan penolakan bukanlah tanda kegagalan, tapi bisa jadi tanda
bahwa kita sedang berada di jalur yang benar di mata Allah.
2. Nabi Muhammad ﷺ: Dicaci,
Dilempari, tetapi Tetap Mendoakan
Rasulullah ﷺ sering dicaci
sebagai penyihir, pendusta, bahkan orang gila. Ketika beliau berdakwah di
Thaif, bukan hanya ditolak, tetapi juga dilempari batu hingga berdarah. Dalam
kondisi itu, malaikat Jibril datang menawarkan untuk menghancurkan penduduk
Thaif, namun Rasulullah ﷺ justru berdoa:
"Ya
Allah, berilah petunjuk kepada kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak
mengetahui." (HR. Al-Bukhari dan
Muslim)
Beliau mengajarkan bahwa
tujuan hidup bukan membalas cercaan dengan kemarahan, tetapi menjawabnya dengan
rahmat, selama itu sejalan dengan kebenaran.
Pelajaran: Jika kita mampu menahan diri dari membalas keburukan dengan keburukan,
kita telah melampaui jebakan ego yang sering memenjarakan manusia.
3. Umar bin Khattab RA:
Kritik Sebagai Alarm Kebaikan
Suatu hari, Umar bin
Khattab RA yang dikenal tegas, sedang menyampaikan khutbah. Tiba-tiba seorang
wanita memprotes pendapatnya tentang mahar. Umar langsung menerima koreksi itu,
sambil berkata di hadapan banyak orang:
"Wanita
itu benar, dan Umar salah."
Umar RA tidak takut
kehilangan wibawa di mata manusia, karena yang ia cari adalah kebenaran di mata
Allah.
Pelajaran: Orang yang hatinya tertambat pada rida Allah akan menerima kritik
dengan lapang dada, bahkan jika itu datang di depan umum.
4. Imam Ahmad bin Hanbal:
Dicambuk demi Kebenaran
Ketika fitnah “Khalq
al-Qur’an” (paham bahwa Al-Qur’an makhluk) melanda, Imam Ahmad bin Hanbal
menolak untuk mengakuinya, meski penguasa saat itu memaksa. Ia dipenjara,
dicambuk berkali-kali, namun tetap bertahan. Setelah fitnah mereda, beliau
tidak membalas dendam pada para penganiayanya.
Pelajaran: Kadang mempertahankan kebenaran berarti siap menerima cercaan dan
penderitaan. Namun, penderitaan itu sepadan jika hasil akhirnya adalah rida
Allah.
5. Rabi’ah al-Adawiyah: Cinta
Ilahi di Atas Segalanya
Seorang sufi perempuan
agung, Rabi’ah al-Adawiyah, pernah berkata:
"Aku
beribadah kepada Allah bukan karena takut neraka atau berharap surga, tetapi
karena aku mencintai-Nya."
Baginya, pujian atau celaan
manusia tidak relevan, karena tujuannya hanya satu: Allah. Cinta seperti ini
membebaskan hati dari semua penilaian eksternal.
Pelajaran: Jika hati sudah terpaut kepada Allah, dunia dan segala komentarnya
tidak lagi mengikat kita.
Strategi Praktis untuk
Melampaui Pujian dan Celaan
- Teguhkan Niat Setiap Hari
Awali hari dengan doa dan niat bahwa semua aktivitas ditujukan hanya untuk Allah. Niat yang kuat akan menjadi kompas di tengah badai opini. - Latih Diri Menghadapi Penolakan
Jadikan kritik sebagai bahan evaluasi, bukan alasan berhenti. Pisahkan antara masukan yang membangun dan celaan yang bersifat pribadi. - Perbanyak Amal Tersembunyi
Lakukan kebaikan yang tidak diketahui orang lain. Ini akan melatih hati agar tidak bergantung pada pengakuan. - Bergaul dengan Orang yang Menarik ke Akhirat
Pilih lingkungan yang mendorong kita mencari rida Allah, bukan sekadar status sosial. - Mengingat Kematian
Pujian dan celaan akan hilang ketika kita meninggalkan dunia ini. Yang tersisa hanyalah catatan amal di sisi Allah.
Langkah untuk Terbang
Tinggi
Hidup yang diarahkan hanya
kepada rida Allah akan membebaskan kita dari jebakan opini manusia. Kita akan
mampu melangkah ringan, karena beban penilaian sosial tidak lagi mengikat.
Pujian menjadi ujian, celaan menjadi penguat, dan setiap langkah menjadi sayap
yang membawa kita lebih dekat kepada-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar