Teks Berjalan

Selamat Datang di Blog abuyasin.com Selamat Datang di Blog abuyasin.com
Tampilkan postingan dengan label Berdialektika. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Berdialektika. Tampilkan semua postingan

Jumat, 12 September 2025

 


“Pro dan Kontra Filsafat dari Masa ke Masa: Jejak, Kritik, dan Relevansi bagi Umat Islam”

Filsafat sejak awal kehadirannya dalam peradaban Islam telah menjadi medan perdebatan yang tak pernah sepi. Kehadiran karya-karya Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada abad ke-8 hingga ke-9 M membuka babak baru bagi dunia Islam. Tokoh-tokoh seperti al-Kindi, al-Farabi, dan Ibn Sina mencoba meramu pemikiran rasional Yunani dengan ajaran wahyu Islam, sehingga melahirkan tradisi intelektual yang kaya dan beragam. Di satu sisi, filsafat dipandang sebagai alat yang mampu memperkuat akal, mempertajam logika, dan membantu umat Islam menjawab tantangan intelektual pada zamannya. Namun, di sisi lain, filsafat juga menimbulkan keraguan, bahkan kecaman keras dari sebagian ulama, karena dianggap berpotensi menyalahi prinsip akidah Islam dan mendahulukan akal di atas wahyu.

Perdebatan ini melahirkan dinamika panjang dalam sejarah Islam, dari masa klasik hingga era modern. Sebagian ulama, seperti Al-Ghazali, menegaskan pentingnya membatasi filsafat agar tidak menjerumuskan umat dalam kesesatan, sementara tokoh lain seperti Ibn Rushd melihat filsafat sebagai jalan untuk memahami wahyu secara lebih mendalam. Bahkan hingga hari ini, diskursus mengenai posisi filsafat dalam Islam terus berlanjut. Ada yang menekankan manfaatnya bagi pendidikan, sains, dan dialog lintas peradaban, namun tidak sedikit pula yang menyoroti bahayanya jika dipelajari tanpa landasan iman yang kokoh. Pertarungan gagasan inilah yang membuat filsafat menjadi tema yang selalu aktual dan menarik untuk dikaji secara seimbang, baik dari sisi pendukung maupun penentangnya.

  • Filsafat (falasifah, falsafa) dalam dunia Islam berkembang pesat sejak abad ke-8–9 M, ketika karya-karya Yunani (Aristoteles, Plato, Neoplatonik) diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan muslim intelektual seperti al-Kindi, al-Farabi, dan Ibnu Sina mencoba mengharmoniskan antara akal Yunani dan wahyu Islam.
  • Tetapi tak lama kemudian muncul pula kritik dari kalangan teolog (ahli kalam) dan ulama terhadap aspek-aspek filsafat yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam menurut mereka.

Pandangan yang Membolehkan atau Mendukung Filsafat

Berikut beberapa argumen dan tokoh yang mendukung keberadaan filsafat dalam Islam:

  1. Kaum Mu’tazilah
    • Kelompok ini menekankan peran akal dalam memahami agama. Mereka menggunakan argumentasi rasional untuk membela doktrin Islam terhadap kritik maupun persoalan teologis. Journal 3 UIN Alauddin
    • Bagi mereka, akal bukanlah musuh wahyu, melainkan alat untuk memperjelas dan mempertahankan ajaran agama. Ejournal UNIDA Gontor+1
  2. Tokoh Filsuf Muslim Besar
    • Al-Farabi, Ibnu Sina dan lainnya sering dianggap sebagai yang berhasil membawa filsafat ke dalam wacana Islam, terutama dalam metafisika, etika, dan logika, serta dalam usaha memahami sifat Tuhan dan alam.
    • Ibn Rushd (Averroes) adalah tokoh yang secara eksplisit membela filsafat. Karyanya The Incoherence of the Incoherence (Tahāfut al-Tahāfut) merupakan jawaban atas kritik Al-Ghazali, dan ia menyatakan bahwa tidak ada pertentangan antara agama dan filsafat jika filsafat ditempatkan pada porsinya yang benar. ejurnal.staimaarif.ac.id+2Ejournal UNIDA Gontor+2
  3. Manfaat Studi Filsafat
  4. Pembatasan, bukan Penghapusan
    • Banyak pendukung filsafat bukanlah pendukung tanpa syarat; mereka mengakui bahwa filsafat harus dipandu oleh wahyu dan tetap berada dalam koridor akidah Islam. Akal boleh digunakan, tapi tidak boleh menggantikan wahyu dalam hal-hal gaib (hakikat Tuhan, hari akhir, dll). Ejournal UNIDA Gontor+1

 

Pandangan yang Menolak atau Membatasi Filsafat

Berikut argumen-argumen dan tokoh yang mengkritik filsafat, membatasi penggunaannya, atau menolak aspek-aspek tertentu.

  1. Al-Ghazali
    • Karyanya Tahafut al-Falasifah (The Incoherence of the Philosophers) (± 1095 M) sangat terkenal sebagai kritik terhadap filsuf seperti al-Farabi dan Ibnu Sina, terutama terhadap doktrin-doktrin metafisika yang dianggap bertentangan dengan Islam. Wikipedia+2Jurnal Ar-Raniry+2
    • Beberapa hal yang dikritik oleh Al-Ghazali antara lain: kekekalan alam (bahwa alam itu “qadim”, tidak diciptakan secara temporer), pengetahuan Tuhan terhadap hal-hal khusus (partikular), dan kebangkitan jasmani (bahwa hanya jiwa yang kebangkitan, bukan badan). Journal 3 UIN Alauddin+3jurnal.iaibafa.ac.id+3Ejournal UNIDA Gontor+3
    • Bukan seluruh filsafat dia tolak, tetapi metafisika yang menyimpang dianggap perlu dikritik agar tidak mengganggu akidah. Ejournal UNIDA Gontor+1
  2. Kaum Tradisional dan Salaf
    • Ada kelompok ulama yang lebih menyukai pendekatan yang sangat hati-hati terhadap penggunaan akal, terutama dalam hal-hal yang berkaitan dengan sifat Tuhan dan hal-hal gaib, dengan takut bahwa filsafat dapat menjerumuskan kepada penyimpangan dari wahyu.
    • Mereka sering menolak penggunaan filsafat Yunani secara bebas, terutama apabila memuat unsur-unsur yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
  3. Argumen Umum Penolakan / Batasan
    • Risiko bertentangan dengan wahyu: bila filsafat mengklaim sesuatu yang secara jelas ditegaskan dalam Al-Qur’an atau Hadis, bisa terjadi konflik.
    • Karena filsafat bersifat spekulatif: tidak semua ide filsafat dapat dibuktikan secara empiris maupun diturunkan melalui wahyu, sehingga bisa menjadi sumber keraguan jika tak hati-hati.
    • Kepenyalahgunaan: kadang filsafat digunakan untuk membela penafsiran yang liberal atau menolak aspek keagamaan yang dianggap tak rasional oleh sebagian orang.

Tokoh-Sentral dalam Debat Ini

  1. Al-Ghazali (1058-1111 M)
    • Kritik tajam terhadap filosof. Tetapi dia sendiri mengakui manfaat ilmu yang bersifat matematis dan logika, selama tidak keluar dari batas wahyu. Jurnal Ar-Raniry+2Ejournal UNIDA Gontor+2
    • Dia bukan menolak akal secara keseluruhan itu kekeliruan pemahaman umum melainkan menolak klaim filsafat bahwa akal filsafat bisa menggantikan wahyu dalam penentuan kebenaran teologis. Ejournal UNIDA Gontor+1
  2. Ibn Rushd (Averroes, 1126-1198 M)
    • Sangat mendukung bahwa ada harmoni antara agama dan filsafat. Dia menulis untuk menunjukkan bahwa metodologi filsafat (terutama Aristotelian) bisa bekerja dalam kerangka Islam. ejurnal.staimaarif.ac.id+1
  3. Kaum Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah
    • Mu’tazilah lebih terbuka terhadap akal dan rasionalisme dalam banyak hal. Asy’ariyah dan Maturidiyah meskipun lebih konservatif, tetap menggunakan rasionalitas untuk mempertahankan akidah dan menjawab tantangan eksternal. Journal 3 UIN Alauddin+1
  4. Pemikir Kontemporer
    • Orang seperti Muhammad Iqbal, Syed Muhammad Naquib al-Attas dan lain-lain, yang berusaha mengintegrasikan filsafat dan pendidikan Islam modern. Ejournal UNIDA Gontor

Refleksi

  • Filsafat dalam Islam tidak bisa dianggap hitam-putih: bukan hanya ‘boleh’ atau ‘haram’, tetapi lebih pada bagaimana, di mana, dan oleh siapa filsafat itu dikaji dan dipraktikkan.
  • Yang penting adalah menjaga agar filsafat tidak menggantikan wahyu dan akidah, tapi menjadi alat bantu yang memperkaya, bukan melemahkan iman.
  • Bagi mereka yang kurang mendalam dalam ilmu agama, belajar filsafat harus dilakukan dengan hati-hati dan bimbingan yang baik agar tidak salah kaprah.
  • Filsafat tetap sangat relevan hari ini: untuk pendidikan, dialog budaya, memahami ide-ide modern, sains, etika, hak asasi manusia, dan lain-lain.

 

Kamis, 28 Agustus 2025

 


Mengajarkan Anak Bagaimana Berpikir: Perspektif Parenting Psikologi dan Psikologi Islam

Inti pendidikan bukanlah menjejalkan isi kepala anak dengan dogma atau hafalan, melainkan membimbing mereka agar mampu berpikir secara kritis, mandiri, dan kreatif. Mengajarkan apa yang harus dipikirkan hanya akan melahirkan generasi penurut yang bergantung pada otoritas luar, tanpa daya untuk menimbang benar dan salah secara mandiri. Sebaliknya, mengajarkan bagaimana berpikir membekali anak dengan keterampilan intelektual untuk mengevaluasi informasi, mempertanyakan asumsi, serta menemukan solusi atas masalah yang mereka hadapi. Inilah yang membedakan pendidikan sejati dari sekadar indoktrinasi.

Pendidikan Modern dan Tantangan Hafalan Semata

Jika kita perhatikan sistem pendidikan modern, sering kali masih ada kecenderungan untuk menilai keberhasilan anak hanya dari kemampuan menghafal dan mengulang informasi. Anak yang bisa menjawab soal dengan tepat dianggap cerdas, sementara yang berpikir di luar kebiasaan malah dicap menyimpang. Padahal, dunia yang terus berubah membutuhkan manusia yang mampu beradaptasi dengan situasi baru, bukan sekadar mengulang apa yang sudah ada. Dengan kata lain, dunia hari ini menuntut kreativitas lebih daripada kepatuhan semata.

Pendidikan yang tidak mengajarkan cara berpikir hanya akan melahirkan manusia yang rapuh menghadapi kompleksitas zaman. Anak-anak seperti itu mungkin unggul di ruang ujian, tetapi mudah terseret arus dalam kehidupan nyata karena tidak terbiasa berpikir mandiri.

Parenting dan Psikologi Perkembangan

Dalam kacamata psikologi perkembangan, anak-anak memiliki tahap-tahap kognitif yang perlu didukung dengan pola asuh (parenting) yang tepat. Menurut Jean Piaget, anak-anak tidak sekadar menerima informasi, melainkan aktif membangun pengetahuannya melalui pengalaman. Artinya, peran orang tua bukanlah “pengisi gelas kosong,” melainkan fasilitator yang menstimulasi daya pikir kritis, imajinasi, dan rasa ingin tahu.

Psikolog modern juga menekankan pentingnya autonomy support parenting yaitu pola asuh yang memberi ruang anak untuk membuat pilihan, mengemukakan pendapat, dan bertanggung jawab atas tindakannya. Pola ini terbukti menumbuhkan kemandirian, rasa percaya diri, serta kemampuan problem solving yang kuat pada anak.

Perspektif Islam: Pendidikan sebagai Tazkiyatun Nafs dan Tarbiyah Fikr

Dalam Islam, pendidikan bukan hanya tentang transfer ilmu, tetapi juga tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) dan tarbiyah fikr (pendidikan akal). Al-Qur’an berulang kali mengajak manusia untuk tafakkur (berpikir), tadabbur (merenungi), dan ta’aqqul (menggunakan akal). Allah ﷻ berfirman:

“Maka apakah mereka tidak mentadabburi Al-Qur’an? Kalau sekiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, pastilah mereka menemukan pertentangan yang banyak di dalamnya.”
(QS. An-Nisa: 82)

Ayat ini menegaskan bahwa pendidikan Islami menuntun anak untuk berpikir kritis dan tidak menerima sesuatu secara buta, bahkan dalam memahami wahyu.

Rasulullah ﷺ juga bersabda:

“Sesungguhnya kelebihan orang alim atas ahli ibadah adalah seperti kelebihan bulan atas seluruh bintang.”
(HR. Abu Dawud)

Ilmu yang dimaksud bukan sekadar hafalan, melainkan pemahaman mendalam yang lahir dari proses berpikir dan perenungan.

Selain itu, dalam sebuah hadis Nabi ﷺ mendoakan:

“Ya Allah, berikanlah aku ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik, dan amal yang diterima.”
(HR. Ibn Majah)

Doa ini mengajarkan bahwa ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang dipahami, direnungkan, dan diamalkan bukan sekadar dihafal.

Anak yang Terlatih Berpikir: Mandiri, Kritis, dan Humanis

Mengajarkan anak bagaimana berpikir berarti melatih mereka untuk bertanggung jawab terhadap pilihan dan tindakannya. Dengan kemampuan berpikir kritis, anak belajar memahami konsekuensi, mempertimbangkan berbagai sudut pandang, dan mengambil keputusan yang bijak. Ini juga menumbuhkan kemandirian, sebab mereka tidak lagi bergantung pada instruksi atau otoritas eksternal untuk menentukan jalan hidupnya.

Seorang anak yang terbiasa berpikir akan tumbuh menjadi pribadi yang lebih percaya diri, tahan banting, dan mampu memimpin dirinya sendiri di tengah kerumunan opini yang saling bertabrakan. Dalam Islam, hal ini sangat sejalan dengan konsep taklif (tanggung jawab individu), di mana setiap muslim bertanggung jawab atas amal perbuatannya di hadapan Allah.

Aspek Moral dan Empati

Lebih jauh, pandangan ini juga menyentuh aspek moral. Anak-anak yang diajarkan apa yang harus dipikirkan bisa mudah terjebak dalam pola pikir sempit yang membatasi ruang empati. Sebaliknya, anak-anak yang diajarkan bagaimana berpikir lebih terbuka untuk memahami perbedaan, menghargai keberagaman, dan mencari kebenaran dengan rendah hati.

Al-Qur’an mengajarkan bahwa berpikir yang benar melahirkan akhlak mulia:

“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwa itu, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.”
(QS. Asy-Syams: 9-10)

Menyucikan jiwa tidak mungkin tanpa berpikir, menimbang, dan mengendalikan hawa nafsu.

Peran Orang Tua sebagai Murabbi

Pada akhirnya, tugas utama pendidik baik orang tua maupun guru bukanlah sekadar mencetak anak-anak agar seragam sesuai standar, melainkan membuka jalan bagi mereka untuk menemukan cara berpikirnya sendiri. Seperti menyalakan obor, pendidikan harus memberi cahaya agar anak-anak bisa menelusuri jalannya dengan terang, bukan menyerahkan peta kaku yang membatasi gerak.

Dalam Islam, orang tua adalah murabbi (pendidik sekaligus penuntun jiwa). Rasulullah ﷺ bersabda:

“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini mengingatkan bahwa pola asuh dan metode pendidikan sangat menentukan kualitas cara berpikir anak.

Penutup

Di tengah banjir informasi dan opini pada era digital, keterampilan berpikir kritis adalah senjata terbaik agar anak-anak tidak terseret arus, tetapi mampu berdiri tegak sebagai pribadi yang merdeka. Dari perspektif psikologi, ini membentuk anak yang mandiri, percaya diri, dan resilien. Dari perspektif Islam, ini melahirkan insan yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berakhlak mulia, terbuka, dan selalu menyandarkan pikirannya pada nilai-nilai wahyu.

Maka, pendidikan sejati adalah sinergi antara akal yang kritis dan hati yang bersih dua pilar yang menjadikan anak bukan hanya manusia cerdas, tetapi juga manusia yang bertakwa.

 

Rabu, 27 Agustus 2025



Diamnya Sang Bijak dan Kebisingan Sang Dangkal: Perspektif Filsafat dan Psikologi Islam

“Orang-orang bijak tahu bahwa kebisingan tidak berarti apa-apa. Kebodohan justru berteriak paling keras.”
George Bernard Shaw

Kutipan George Bernard Shaw ini menggambarkan fenomena universal yang terus berulang sepanjang sejarah manusia. Dalam setiap zaman, kita menyaksikan bagaimana mereka yang dangkal pemahaman justru paling keras bersuara, sementara para bijak sering kali memilih diam. Jika di masa Shaw fenomena ini masih berupa refleksi sosial, kini di era digital ia menjadi sebuah realitas global yang mengkhawatirkan.

Panggung Kebisingan dan Diamnya Sang Bijak

Dalam filsafat, suara dianggap sebagai bentuk manifestasi rasionalitas. Socrates, Plato, hingga Al-Farabi memandang bahwa berbicara adalah cermin dari isi pikiran. Namun, paradoks yang muncul adalah: semakin dalam pengetahuan seseorang, semakin besar pula kerendahhatian intelektualnya. Inilah yang membuat para bijak sering memilih diam.

Sebaliknya, mereka yang miskin substansi sering merasa perlu untuk berteriak lebih keras agar mendapat pengakuan. Dalam filsafat klasik, fenomena ini dikenal sebagai sophistry, yakni seni retorika kosong yang menipu, tanpa substansi kebenaran. Para sofis di zaman Yunani kuno telah membuktikan bahwa suara lantang tanpa kebenaran bisa menguasai massa.

Dalam perspektif Islam, fenomena ini diabadikan dalam firman Allah:

“Dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka (orang-orang beriman), mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.”
(QS. Al-Furqan: 63)

Ayat ini menunjukkan sikap bijak: tidak terpancing oleh kebisingan orang-orang yang dangkal, melainkan menjaga martabat diri dengan kesabaran dan ketenangan. Namun, jika semua orang bijak memilih diam total, maka panggung publik akan dikuasai oleh kebodohan yang berulang-ulang disuarakan.

Psikologi Islam: Mengapa yang Dangkal Lebih Lantang?

Dari sisi psikologi Islam, terdapat fenomena yang disebut ghurur (tipu daya diri). Orang yang miskin pengetahuan sering kali terjebak dalam ilusi kehebatan diri. Mereka yakin bahwa pendapatnya benar hanya karena ia berani menyuarakannya. Kondisi ini selaras dengan apa yang dalam psikologi modern disebut sebagai Dunning-Kruger Effect: semakin rendah kompetensi seseorang, semakin tinggi rasa percaya dirinya.

Sementara itu, orang yang berilmu sejati justru diliputi rasa tawadhu’ (rendah hati). Ia selalu menyadari keterbatasan pengetahuan dirinya. Imam Syafi’i berkata:

“Semakin aku bertambah ilmu, semakin aku tahu betapa bodohnya diriku.”

Sikap inilah yang membuat para bijak enggan mengumbar kata. Mereka menimbang dengan hati-hati, karena sadar bahwa ucapan bukan hanya sekadar bunyi, melainkan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah:

“Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu hadir.”
(QS. Qaf: 18)

Dengan demikian, kebisingan orang dangkal dan diamnya sang bijak bukan hanya fenomena sosial, melainkan cerminan kondisi psikologis yang berbeda.

Diam sebagai Kebajikan, Suara sebagai Tanggung Jawab

Dalam filsafat Islam, diam adalah bagian dari kebijaksanaan. Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menegaskan bahwa diam lebih aman daripada banyak bicara, sebab setiap kata bisa menjadi jebakan dosa. Namun, beliau juga memperingatkan bahwa diam tidak selalu benar. Ketika kebatilan merajalela, maka diam justru menjadi kelemahan moral.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman.”
(HR. Muslim)

Hadis ini menegaskan bahwa suara memiliki peran moral. Jika para bijak memilih diam di tengah kebisingan yang menyesatkan, maka masyarakat akan kehilangan arah, dan kebenaran akan terkubur oleh narasi yang dangkal.

Risiko Demokrasi Kebodohan

Filsafat politik modern mengenal istilah demokrasi kebodohan, ketika suara terbanyak bukan lagi cerminan kebenaran, melainkan hasil dari propaganda kosong. Dalam kondisi seperti ini, kebenaran sering kalah oleh popularitas.

Islam mengingatkan bahaya ini:

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.”
(QS. Al-An’am: 116)

Ayat ini menjadi alarm bahwa kebenaran tidak ditentukan oleh siapa yang paling lantang atau paling banyak, melainkan siapa yang berpegang pada ilmu dan petunjuk.

Jalan Tengah: Suara Bijak di Tengah Kebisingan

Tantangan kita bukan hanya menjaga agar para bijak tidak terjebak dalam diam total, tetapi juga memastikan bahwa suara mereka terdengar di tengah kebisingan. Islam menawarkan prinsip qaulan ma’rufan, qaulan balighan, dan qaulan layyinan: berkata dengan baik, efektif, dan lembut.

Psikologi Islam menekankan pentingnya hikmah dalam komunikasi: menyampaikan kebenaran dengan cara yang menyentuh hati, bukan sekadar memenangkan perdebatan. Inilah yang membedakan suara bijak dari teriakan kosong: ia tidak hanya terdengar, tetapi juga memberi arah dan menenangkan jiwa.

Penutup: Membunyikan Diam, Meredam Bising

George Bernard Shaw mengingatkan kita bahwa kebodohan sering kali berteriak paling keras. Namun, filsafat dan psikologi Islam mengajarkan bahwa kebijaksanaan tidak boleh selamanya bersembunyi dalam diam.

Diam tetaplah kebajikan ketika ia menjaga diri dari kesia-siaan. Tetapi, ketika kebodohan merajalela, suara bijak adalah mercusuar yang menyelamatkan peradaban. Para bijak tidak perlu berteriak, tetapi mereka wajib bersuara—jernih, tegas, dan penuh hikmah.

Dengan begitu, panggung publik tidak lagi dikuasai oleh kebisingan dangkal, melainkan menjadi ruang bagi kedalaman makna, kejernihan nalar, dan cahaya kebenaran.

 

Rabu, 30 Juli 2025

  


Pentingnya Mempelajari Filsafat: Sebuah Argumentasi Komprehensif

Filsafat, sering kali dianggap sebagai disiplin ilmu yang abstrak dan terpisah dari realitas sehari-hari, sesungguhnya memegang peranan krusial dalam membentuk pemahaman kita tentang dunia dan diri sendiri. Mempelajari filsafat bukan hanya tentang menghafal nama-nama pemikir atau teori-teori kuno, melainkan tentang mengasah kemampuan berpikir kritis, analitis, dan etis yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan modern.

Argumentasi Pro: Mengapa Filsafat Penting untuk Dipelajari

Ada beberapa dalil dan dasar teori kuat yang mendukung pentingnya mempelajari filsafat:

  • Pengembangan Kemampuan Berpikir Kritis dan Analitis: Filsafat melatih kita untuk mempertanyakan asumsi dasar, menganalisis argumen secara logis, dan mengidentifikasi bias atau kekeliruan dalam penalaran. Ini bukan sekadar keterampilan akademik, melainkan fondasi untuk pengambilan keputusan yang rasional dalam berbagai aspek kehidupan, dari masalah pribadi hingga isu-isu global. Sebagaimana dikemukakan oleh René Descartes dengan metode keraguannya, filsafat mendorong kita untuk tidak menerima begitu saja kebenaran yang tampak, melainkan menguji setiap klaim dengan seksama. Kemampuan ini sangat relevan di era informasi yang membanjiri kita dengan berbagai narasi, seringkali tanpa dasar yang kuat.
  • Pembentukan Kerangka Etika dan Moral: Filsafat secara intrinsik berhubungan dengan pertanyaan tentang apa yang benar dan salah, baik dan buruk, adil dan tidak adil. Studi etika dalam filsafat, dari utilitarianisme Jeremy Bentham dan John Stuart Mill hingga deontologi Immanuel Kant, membekali kita dengan alat untuk merenungkan nilai-nilai moral, memahami konsekuensi dari tindakan kita, dan mengembangkan prinsip-prinsip yang memandu perilaku kita. Di tengah kompleksitas tantangan sosial dan teknologi saat ini, seperti etika kecerdasan buatan atau bioetika, kerangka etika yang kuat menjadi semakin vital.
  • Memperluas Perspektif dan Membangun Toleransi: Filsafat memperkenalkan kita pada beragam pandangan dunia, dari berbagai budaya dan era. Dengan mempelajari pemikiran Plato, Aristoteles, Konfusius, hingga pemikir kontemporer, kita belajar untuk melihat masalah dari berbagai sudut pandang. Ini membantu kita memahami bahwa tidak ada satu pun jawaban absolut untuk semua pertanyaan, dan mendorong kita untuk menghargai keberagaman pemikiran. Seperti yang diajarkan oleh sokrates, melalui dialog dan pertanyaan, kita dapat mencapai pemahaman yang lebih mendalam, bahkan jika kita tidak selalu sepakat. Toleransi dan empati adalah produk sampingan dari pemahaman ini, yang sangat dibutuhkan dalam masyarakat multikultural.
  • Pondasi untuk Disiplin Ilmu Lain: Filsafat adalah "ibu dari segala ilmu pengetahuan." Fisika, matematika, sosiologi, psikologi, dan bahkan ilmu komputer, semuanya berakar pada pertanyaan-pertanyaan filosofis. Misalnya, pertanyaan tentang hakikat realitas (metafisika) mendasari fisika, sementara pertanyaan tentang pengetahuan (epistemologi) adalah inti dari sains secara keseluruhan. Mempelajari filsafat membantu kita memahami dasar-dasar konseptual dari disiplin ilmu lain, memungkinkan kita untuk berpikir lebih dalam dan inovatif dalam bidang masing-masing.

Argumentasi Kontra: Filsafat Tidak Perlu Dipelajari

Meskipun argumen di atas menunjukkan pentingnya filsafat, ada juga pandangan yang menganggap filsafat kurang relevan atau bahkan tidak perlu dipelajari, terutama dalam konteks pendidikan modern yang berorientasi pada keterampilan praktis.

  • Kurangnya Relevansi Praktis dan Lapangan Kerja: Salah satu kritik utama terhadap filsafat adalah anggapan bahwa studi ini tidak secara langsung mengarah pada keterampilan yang dapat "dijual" di pasar kerja. Dibandingkan dengan program studi yang menawarkan jalur karier yang jelas seperti teknik, kedokteran, atau keuangan, filsafat sering dianggap terlalu abstrak dan teoritis. Dalihnya adalah bahwa di dunia yang serba cepat dan kompetitif, waktu dan sumber daya sebaiknya dialokasikan untuk mempelajari hal-hal yang memberikan keuntungan ekonomi langsung.
  • Terlalu Abstrak dan Tidak Konkret: Filsafat seringkali membahas konsep-konsep yang sangat abstrak seperti eksistensi, kesadaran, kebenaran, dan keindahan. Bagi sebagian orang, ini terasa terlalu jauh dari kenyataan sehari-hari dan tidak memberikan solusi konkret untuk masalah praktis. Kritik ini berpendapat bahwa fokus pada spekulasi metafisik atau etika teoretis dapat mengalihkan perhatian dari masalah-masalah mendesak yang membutuhkan tindakan langsung. Positivisme logis, misalnya, menolak pertanyaan-pertanyaan metafisika sebagai tidak bermakna karena tidak dapat diverifikasi secara empiris.
  • "Jawaban" yang Tidak Pasti: Berbeda dengan ilmu pengetahuan alam yang seringkali menghasilkan kesimpulan yang dapat diverifikasi atau dibuktikan, filsafat jarang menawarkan "jawaban" pasti atau definitif. Ini bisa membuat frustasi bagi mereka yang mencari kejelasan dan kepastian. Filsafat lebih sering menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban, yang bagi sebagian orang, dianggap sebagai pemborosan waktu dan energi.
  • Mengutamakan Spesialisasi: Dalam masyarakat modern, ada kecenderungan kuat menuju spesialisasi. Banyak yang berpendapat bahwa untuk menjadi ahli dalam suatu bidang, seseorang harus fokus pada bidang tersebut secara mendalam, daripada menyebar fokus pada studi yang luas seperti filsafat. Argumentasinya adalah bahwa di dunia yang semakin kompleks, keahlian mendalam dalam satu area lebih dihargai daripada pengetahuan yang luas namun dangkal.

Mempertajam Kedua Pendapat

Meskipun argumen kontra memiliki poin yang valid, perlu dipertajam bahwa kurangnya relevansi praktis seringkali merupakan kesalahpahaman. Keterampilan yang diasah oleh filsafat seperti pemikiran kritis, analisis logis, penalaran etis, dan komunikasi persuasif  adalah keterampilan lunak (soft skills) yang sangat dicari di berbagai industri. Misalnya, seorang lulusan filsafat mungkin tidak memiliki keterampilan koding seperti ilmuwan komputer, tetapi ia memiliki kemampuan untuk menganalisis dilema etika dalam pengembangan AI atau merancang argumen yang koheren untuk kebijakan publik. Banyak pemimpin perusahaan dan inovator, seperti pendiri LinkedIn, Reid Hoffman, dan CEO YouTube, Susan Wojcicki, memiliki latar belakang pendidikan di bidang humaniora, termasuk filsafat, yang menunjukkan bahwa studi ini membekali mereka dengan kerangka berpikir yang kuat untuk menghadapi tantangan kompleks.

Di sisi lain, bagi argumen kontra, penekanan pada spesialisasi memang memiliki dasar yang kuat dalam konteks ekonomi global saat ini. Namun, bahkan dalam spesialisasi, pemahaman filosofis dapat memberikan keuntungan. Seorang ilmuwan, misalnya, yang memiliki pemahaman tentang epistemologi ilmu pengetahuan akan lebih mampu mengevaluasi batasan-batasan metodenya sendiri dan menghindari bias. Seorang pengacara yang memahami etika hukum akan menjadi praktisi yang lebih baik dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, filsafat tidak harus menjadi pilihan eksklusif, melainkan dapat menjadi pelengkap yang berharga bagi disiplin ilmu lainnya, memperkaya pemahaman dan kinerja dalam bidang spesifik.

Kesimpulan

Pada akhirnya, perdebatan tentang pentingnya mempelajari filsafat mencerminkan ketegangan antara nilai-nilai instrumental (kegunaan praktis dan ekonomi) dan nilai-nilai intrinsik (pengembangan intelektual dan etika). Sementara filsafat mungkin tidak selalu menawarkan jalur karier yang langsung terlihat, ia memberikan landasan intelektual dan etika yang tak ternilai harganya untuk menavigasi kompleksitas kehidupan. Dengan mengasah kemampuan berpikir kritis, membentuk kerangka moral, memperluas perspektif, dan memahami dasar-dasar konseptual, filsafat membekali individu untuk menjadi warga negara yang lebih bijaksana, profesional yang lebih bertanggung jawab, dan manusia yang lebih utuh.

 

Rabu, 11 Juni 2025

Ketika Media social dan Algoritma Jadi Majikan, Akal Sehat Bisa Hilang: Saatnya Kembali ke Al-Qur’an dan Hadis

 



Algoritma Jadi Majikan, Akal Sehat Bisa Hilang: Saatnya Kembali ke Al-Qur’an dan Hadis

Scroll bukan riset, viral bukan valid. Ini bukan soal nyinyir, tapi soal sadar. Ketika algoritma dijadikan majikan, akal sehat bisa hilang tanpa jejak. Al-Qur’an dan Hadis hadir bukan untuk menyenangkan, tapi untuk menyadarkan.

Di era digital, kita hidup dalam arus informasi yang tiada henti. Jari-jari tak henti scroll, mata terpaku pada layar, dan pikiran tenggelam dalam banjir konten viral. Banyak yang mengira itu bentuk melek informasi, padahal bisa jadi kita justru kehilangan kesadaran akan kebenaran.

 

1. Ketika Algoritma Menjadi Majikan

Media sosial dirancang untuk mempertahankan perhatian. Algoritma bekerja seperti majikan tak terlihat yang mengatur apa yang kita lihat, pikirkan, bahkan rasakan. Dalam buku The Shallows karya Nicholas Carr, disebutkan bahwa paparan informasi cepat dan dangkal membuat manusia kehilangan kemampuan berpikir mendalam.

Inilah yang disebut dalam psikologi Islam sebagai ghaflah (kelalaian) keadaan hati yang lalai dari mengingat Allah dan kebenaran. Allah SWT berfirman:

 

"Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri."

(QS. Al-Hasyr: 19)

Ketika kita terlalu tunduk pada algoritma, kita bukan hanya lupa pada Allah, tapi juga lupa pada identitas dan misi hidup sebagai hamba-Nya.

 

2. Scroll Bukan Riset, Viral Bukan Valid

Salah satu ilusi zaman ini adalah menganggap informasi yang viral pasti benar. Padahal, Islam mengajarkan prinsip tabayyun klarifikasi dan verifikasi sebelum menyebarkan informasi.

 

"Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti..."

(QS. Al-Hujurat: 6)

Dalam psikologi Islam, ini berkaitan dengan konsep ‘aql (akal) sebagai alat untuk menimbang, bukan sekadar menyerap. Ibn Qayyim Al-Jauziyah mengatakan bahwa akal adalah cahaya dalam hati, dan ia hanya akan bersinar jika disinari wahyu.

Tanpa wahyu, akal hanyalah alat yang bisa disesatkan. Di sinilah pentingnya menyeimbangkan antara informasi dunia digital dengan ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah.

 

3. Al-Qur’an dan Hadis Hadir untuk Menyadarkan, Bukan Menyenangkan

Konten viral sering dibuat untuk menyenangkan, menghibur, dan mencandu. Tapi wahyu justru datang untuk membebaskan manusia dari ilusi. Dalam Surah Taha ayat 124, Allah memperingatkan bahwa siapa yang berpaling dari peringatan-Nya, maka hidupnya akan sempit, meski mungkin dikelilingi cahaya layar dan gelak tawa virtual.

 

"Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit..."

(QS. Taha: 124)

Psikolog Muslim kontemporer seperti Dr. Malik Badri menegaskan bahwa kesehatan jiwa sejati hanya bisa dicapai jika manusia selaras dengan fitrah dan petunjuk wahyu. Ia menyebut bahwa peradaban modern menciptakan krisis jiwa karena melepaskan manusia dari nilai-nilai samawi.

 

4. Saatnya Berhenti Sejenak dan Bertanya: Siapa yang Menuntunku?

Apakah hidup kita dibimbing oleh algoritma, atau oleh Al-Qur’an? Apakah kita lebih sering membaca postingan viral ketimbang ayat suci? Apakah kita lebih mempercayai komentar netizen daripada nasihat Rasulullah?

Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini adalah cermin kesadaran kita. Jika algoritma menjadi guru utama, maka tak heran jika akal sehat pelan-pelan hilang tanpa jejak.

 

Penutup: Kembali kepada Wahyu

Di tengah kebisingan dunia digital, Al-Qur’an dan Hadis adalah suara hening yang menyadarkan. Ia tidak datang untuk menyenangkan ego, tapi menuntun ruh. Ia tidak populer di feed, tapi penuh kekuatan untuk menghidupkan hati.

Sebagaimana dikatakan Al-Ghazali:

 

“Hati manusia adalah cermin. Jika terus-menerus diarahkan ke dunia, ia akan buram. Tapi jika diarahkan ke langit (wahyu), ia akan kembali bening.”

Mari berhenti sejenak dari scroll tanpa arah. Mari kembalikan kendali hidup pada wahyu, bukan algoritma. Karena hidup bukan soal viral, tapi soal nilai. Dan nilai sejati tak ditentukan oleh like dan share, tapi oleh Allah.