Teks Berjalan

Selamat Datang di Blog abuyasin.com Selamat Datang di Blog abuyasin.com

Senin, 11 Agustus 2025



 Semua Manusia Sama di Mata Allah

Sering kali kita merasa minder dan kecil saat berhadapan dengan seseorang yang memiliki status tinggi, jabatan mentereng, atau kekayaan melimpah. Kita melihat mereka seolah-olah sempurna, tak pernah lelah, dan tak pernah goyah. Namun, pernahkah kita berhenti sejenak dan berpikir bahwa di balik semua itu, mereka juga adalah manusia biasa, sama seperti kita? Mereka makan, minum, tidur, dan bahkan memiliki rasa takut serta keraguan.

Pendekatan secara psikologi Islam mengajarkan kita bahwa semua manusia diciptakan setara di hadapan Allah SWT. Allah tidak melihat status sosial, harta, atau jabatan, melainkan ketakwaan dan amal perbuatan kita. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Hujurat ayat 13:

Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.

Ayat ini menegaskan bahwa satu-satunya tolok ukur kemuliaan di mata Allah adalah ketakwaan. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi kita untuk merasa minder atau rendah diri di hadapan siapa pun, karena pada dasarnya, kita semua adalah hamba Allah yang memiliki potensi yang sama untuk menjadi mulia di sisi-Nya.

Pendekatan psikologi umum juga mendukung hal ini. Teori psikologi humanistik, misalnya, menekankan pada martabat dan nilai intrinsik setiap individu. Teori ini mengajarkan bahwa setiap orang memiliki potensi untuk berkembang dan meraih kebahagiaan. Perasaan minder sering kali muncul akibat perbandingan sosial yang tidak sehat, di mana kita membandingkan kelemahan diri kita dengan kelebihan orang lain. Padahal, kita tidak pernah tahu perjuangan, air mata, dan pengorbanan yang telah mereka lalui.

Seorang motivator dunia Barat, Les Brown, pernah berkata, “Someone’s opinion of you does not have to become your reality.” Perkataan ini bisa menjadi pengingat yang kuat bagi kita. Apa pun pendapat orang lain tentang kita, entah itu pujian atau cemoohan, tidak harus menjadi kenyataan yang kita yakini. Realitas kita adalah apa yang kita putuskan untuk kita yakini dan kita bangun sendiri.

Demikian pula, motivator muslim, Ustadz Felix Siauw, sering mengingatkan kita bahwa semua orang punya masalah dan ujiannya masing-masing. Ia menyarankan kita untuk fokus pada perbaikan diri dan mendekatkan diri kepada Allah, bukan sibuk membandingkan diri dengan orang lain. Dengan fokus pada diri sendiri dan tujuan hidup, kita akan menemukan kepercayaan diri yang kokoh, tidak peduli siapa pun yang kita hadapi.

Penting untuk diingat bahwa orang-orang yang sukses dan berstatus tinggi juga pernah merasakan ketakutan dan keraguan. Perbedaannya bukan terletak pada ketiadaan rasa takut, melainkan pada keberanian untuk tetap melangkah meskipun takut. Mereka berani mengambil risiko, berani gagal, dan berani untuk bangkit lagi.

Jadi, ketika kita berhadapan dengan seseorang yang kita anggap "lebih hebat," cobalah untuk mengubah pola pikir kita. Jangan lihat mereka sebagai sosok yang sempurna dan tidak tersentuh. Lihatlah mereka sebagai manusia biasa yang juga pernah berjuang, gagal, dan bangkit. Dengan demikian, kita akan menyadari bahwa kita juga memiliki potensi yang sama untuk menjadi kuat dan sukses.

 

Bangun Kepercayaan Diri dari Dalam

Jadi, apa yang bisa kita lakukan untuk membangun kepercayaan diri yang kokoh?

  1. Fokus pada Diri Sendiri: Berhenti membandingkan diri dengan orang lain. Alihkan energi dan perhatian kita untuk mengembangkan potensi diri dan memperbaiki kekurangan.
  2. Sadari Nilai Diri: Ingatlah bahwa setiap orang memiliki keunikan dan keistimewaan. Tidak perlu menjadi orang lain untuk merasa berharga.
  3. Tingkatkan Ketakwaan: Dekatkan diri kepada Allah SWT, karena dengan begitu, hati kita akan menjadi lebih tenang dan kita akan menyadari bahwa semua yang kita miliki adalah titipan-Nya.
  4. Hadapi Ketakutan: Setiap kali rasa takut muncul, sadari bahwa itu adalah hal yang wajar. Jadikan rasa takut itu sebagai motivasi untuk terus melangkah maju.

Ingatlah, kita semua adalah manusia yang sama. Yang membedakan kita adalah seberapa besar keberanian kita untuk menghadapi hidup dan meraih apa yang kita impikan.

 

Mengikis Minder, Menumbuhkan Kemuliaan

1. Kesetaraan dalam Sejarah Islam

Banyak kisah di masa Rasulullah SAW yang menunjukkan bahwa ukuran kemuliaan hanya pada ketakwaan, bukan status. Salah satunya kisah Bilal bin Rabah RA. Beliau adalah seorang budak hitam yang dibebaskan oleh Abu Bakar RA dan kemudian menjadi muazin pribadi Rasulullah. Dalam masyarakat jahiliyah, budak adalah kasta paling rendah. Namun, Rasulullah mengangkatnya ke posisi mulia, bahkan pernah berkata:

“Aku mendengar suara sandalmu di surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Pesan moralnya jelas: warna kulit, asal usul, dan status ekonomi tidak menghalangi kemuliaan di sisi Allah.

2. Psikologi Kepercayaan Diri dalam Islam

Dalam kerangka psikologi Islam, rasa minder sering muncul dari ghaflah (kelalaian) terhadap potensi diri yang Allah berikan. Menurut Prof. Malik Badri dalam Contemplation: An Islamic Psychospiritual Study, kepercayaan diri yang sehat dalam Islam lahir dari kesadaran bahwa diri adalah amanah Allah yang harus dimaksimalkan, bukan dibandingkan secara destruktif dengan orang lain.

3. Dukungan dari Psikologi Barat

Psikologi positif yang dikembangkan Martin Seligman menekankan konsep signature strengths kekuatan unik yang dimiliki setiap orang. Seligman menemukan bahwa orang yang menggunakan kekuatan uniknya untuk tujuan yang bermakna akan memiliki harga diri lebih tinggi dan hidup lebih bahagia, terlepas dari status sosial.

4. Analogi Cermin

Rasa minder ibarat kita berdiri di depan cermin yang kotor. Kita tidak melihat wajah kita yang sebenarnya, tapi pantulan yang buram. Membersihkan cermin itu adalah tugas kita dengan membangun takwa, memperbaiki akhlak, dan mengasah potensi hingga kita melihat diri sebagaimana Allah memandang kita: makhluk mulia yang diciptakan untuk menjadi khalifah di bumi.

Kisah Inspiratif Penutup

Di masa kekhalifahan Umar bin Khattab RA, ada seorang laki-laki miskin yang selalu hadir di masjid. Suatu hari, Umar melihatnya wafat tanpa banyak orang mengenalnya. Umar menangis dan berkata:

“Sungguh, dunia telah kehilangan seorang yang mulia di sisi Allah, meskipun manusia tidak mengetahuinya.”

Kisah ini mengajarkan bahwa ukuran kemuliaan sejati bukan di media, bukan di papan penghargaan, tapi di sisi Allah yang Maha Mengetahui.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar