Semua Manusia Sama di Mata Allah
Sering kali kita merasa
minder dan kecil saat berhadapan dengan seseorang yang memiliki status tinggi,
jabatan mentereng, atau kekayaan melimpah. Kita melihat mereka seolah-olah
sempurna, tak pernah lelah, dan tak pernah goyah. Namun, pernahkah kita berhenti
sejenak dan berpikir bahwa di balik semua itu, mereka juga adalah manusia
biasa, sama seperti kita? Mereka makan, minum, tidur, dan bahkan memiliki rasa
takut serta keraguan.
Pendekatan secara psikologi
Islam mengajarkan kita bahwa semua
manusia diciptakan setara di hadapan Allah SWT. Allah tidak melihat
status sosial, harta, atau jabatan, melainkan ketakwaan dan amal perbuatan kita. Sebagaimana firman Allah SWT
dalam surat Al-Hujurat ayat 13:
“Wahai manusia! Sungguh,
Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan,
kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling
mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling
bertakwa di antara kamu. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.”
Ayat ini menegaskan bahwa
satu-satunya tolok ukur kemuliaan di mata Allah adalah ketakwaan. Oleh karena
itu, tidak ada alasan bagi kita untuk merasa minder atau rendah diri di hadapan
siapa pun, karena pada dasarnya, kita semua adalah hamba Allah yang memiliki
potensi yang sama untuk menjadi mulia di sisi-Nya.
Pendekatan psikologi umum
juga mendukung hal ini. Teori psikologi humanistik, misalnya, menekankan pada martabat dan nilai intrinsik setiap individu.
Teori ini mengajarkan bahwa setiap orang memiliki potensi untuk berkembang dan
meraih kebahagiaan. Perasaan minder sering kali muncul akibat perbandingan sosial yang tidak sehat,
di mana kita membandingkan kelemahan diri kita dengan kelebihan orang lain.
Padahal, kita tidak pernah tahu perjuangan, air mata, dan pengorbanan yang
telah mereka lalui.
Seorang motivator dunia
Barat, Les Brown, pernah
berkata, “Someone’s opinion of you does not have to become your reality.”
Perkataan ini bisa menjadi pengingat yang kuat bagi kita. Apa pun pendapat orang
lain tentang kita, entah itu pujian atau cemoohan, tidak harus menjadi
kenyataan yang kita yakini. Realitas kita adalah apa yang kita putuskan untuk
kita yakini dan kita bangun sendiri.
Demikian pula, motivator
muslim, Ustadz Felix Siauw,
sering mengingatkan kita bahwa semua
orang punya masalah dan ujiannya masing-masing. Ia menyarankan kita
untuk fokus pada perbaikan diri dan mendekatkan diri kepada Allah, bukan sibuk
membandingkan diri dengan orang lain. Dengan fokus pada diri sendiri dan tujuan
hidup, kita akan menemukan kepercayaan diri yang kokoh, tidak peduli siapa pun
yang kita hadapi.
Penting untuk diingat bahwa
orang-orang yang sukses dan berstatus tinggi juga pernah merasakan ketakutan
dan keraguan. Perbedaannya bukan terletak pada ketiadaan rasa takut, melainkan
pada keberanian untuk tetap melangkah
meskipun takut. Mereka berani mengambil risiko, berani gagal, dan berani
untuk bangkit lagi.
Jadi, ketika kita
berhadapan dengan seseorang yang kita anggap "lebih hebat," cobalah
untuk mengubah pola pikir kita. Jangan lihat mereka sebagai sosok yang sempurna
dan tidak tersentuh. Lihatlah mereka sebagai manusia biasa yang juga pernah berjuang, gagal, dan bangkit.
Dengan demikian, kita akan menyadari bahwa kita juga memiliki potensi yang sama
untuk menjadi kuat dan sukses.
Bangun Kepercayaan Diri
dari Dalam
Jadi, apa yang bisa kita lakukan untuk membangun kepercayaan diri yang
kokoh?
- Fokus pada Diri Sendiri: Berhenti membandingkan diri dengan orang
lain. Alihkan energi dan perhatian kita untuk mengembangkan potensi diri
dan memperbaiki kekurangan.
- Sadari Nilai Diri: Ingatlah bahwa setiap orang memiliki
keunikan dan keistimewaan. Tidak perlu menjadi orang lain untuk merasa
berharga.
- Tingkatkan Ketakwaan: Dekatkan diri kepada Allah SWT, karena
dengan begitu, hati kita akan menjadi lebih tenang dan kita akan menyadari
bahwa semua yang kita miliki adalah titipan-Nya.
- Hadapi Ketakutan: Setiap kali rasa takut muncul, sadari bahwa
itu adalah hal yang wajar. Jadikan rasa takut itu sebagai motivasi untuk
terus melangkah maju.
Ingatlah, kita semua adalah manusia yang
sama. Yang membedakan kita adalah seberapa besar keberanian kita untuk
menghadapi hidup dan meraih apa yang kita impikan.
Mengikis
Minder, Menumbuhkan Kemuliaan
1. Kesetaraan dalam Sejarah Islam
Banyak kisah di masa
Rasulullah SAW yang menunjukkan bahwa ukuran kemuliaan hanya pada ketakwaan,
bukan status. Salah satunya kisah Bilal bin
Rabah RA. Beliau adalah seorang budak hitam yang dibebaskan oleh Abu
Bakar RA dan kemudian menjadi muazin pribadi Rasulullah. Dalam masyarakat
jahiliyah, budak adalah kasta paling rendah. Namun, Rasulullah mengangkatnya ke
posisi mulia, bahkan pernah berkata:
“Aku mendengar suara sandalmu di surga.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Pesan moralnya jelas:
warna kulit, asal usul, dan status ekonomi tidak menghalangi kemuliaan di sisi
Allah.
2. Psikologi Kepercayaan Diri dalam Islam
Dalam kerangka psikologi Islam, rasa minder sering muncul
dari ghaflah (kelalaian)
terhadap potensi diri yang Allah berikan. Menurut Prof. Malik Badri dalam Contemplation: An Islamic Psychospiritual Study, kepercayaan
diri yang sehat dalam Islam lahir dari kesadaran bahwa diri adalah amanah Allah yang harus dimaksimalkan, bukan
dibandingkan secara destruktif dengan orang lain.
3. Dukungan dari Psikologi Barat
Psikologi positif
yang dikembangkan Martin Seligman
menekankan konsep signature strengths kekuatan
unik yang dimiliki setiap orang. Seligman menemukan bahwa orang yang
menggunakan kekuatan uniknya untuk tujuan yang bermakna akan memiliki harga
diri lebih tinggi dan hidup lebih bahagia, terlepas dari status sosial.
4. Analogi Cermin
Rasa minder ibarat
kita berdiri di depan cermin yang kotor. Kita tidak melihat wajah kita yang
sebenarnya, tapi pantulan yang buram. Membersihkan cermin itu adalah tugas kita
dengan membangun takwa, memperbaiki akhlak, dan mengasah potensi hingga kita
melihat diri sebagaimana Allah memandang kita: makhluk mulia yang diciptakan
untuk menjadi khalifah di bumi.
Kisah Inspiratif Penutup
Di masa kekhalifahan
Umar bin Khattab RA, ada seorang laki-laki miskin yang selalu hadir di masjid.
Suatu hari, Umar melihatnya wafat tanpa banyak orang mengenalnya. Umar menangis
dan berkata:
“Sungguh, dunia telah kehilangan seorang yang mulia di sisi
Allah, meskipun manusia tidak mengetahuinya.”
Kisah ini mengajarkan
bahwa ukuran kemuliaan sejati bukan di media, bukan di papan penghargaan, tapi
di sisi Allah yang Maha Mengetahui.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar