Teks Berjalan

Selamat Datang di Blog abuyasin.com Selamat Datang di Blog abuyasin.com

Senin, 29 Desember 2025

Ketika Ambisi Membutakan Hati

 


Ketika Ambisi Membutakan Hati: Menyelamatkan Diri dari Jeratan Ego yang Rapuh

Dalam perjalanan hidup, memiliki tujuan adalah sebuah keharusan. Namun, ada garis tipis yang memisahkan antara visi yang mulia dan ambisi yang tidak terkendali.

Seringkali, ambisi yang liar membuat seseorang rela mengesampingkan moralitas. Bagi mereka, tujuan pribadi adalah segalanya, sehingga kesalahan dianggap sebagai "langkah yang perlu" dan orang lain hanyalah batu loncatan—atau batu sandungan. Namun, di balik topeng ketegasan itu, tersimpan jiwa yang rapuh.

Berikut adalah renungan mendalam mengenai bahaya egoisme dan bagaimana Islam memandunya kembali menuju cahaya.

1. Ilusi Pembenaran Diri: "Aku Tidak Salah, Aku Hanya Berjuang"

Ciri utama dari ambisi yang tidak terkendali adalah hilangnya objektivitas. Seseorang mulai memandang dunia hanya dari kacamata kepentingannya sendiri. Ketika melakukan kesalahan atau kerusakan, ia tidak merasa bersalah. Sebaliknya, ia menciptakan narasi bahwa tindakannya adalah sebuah kebaikan atau kebutuhan mendesak.

Al-Qur'an dengan sangat tajam memotret perilaku manipulatif ini:

"Dan apabila dikatakan kepada mereka: 'Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi,' mereka menjawab: 'Sesungguhnya kami hanyalah orang-orang yang berbuat kebaikan.'" (QS. Al-Baqarah: 11)

Ayat ini menyindir mereka yang merasa dirinya "pahlawan" dalam cerita yang mereka karang sendiri, padahal realitanya mereka sedang menghancurkan tatanan moral di sekitarnya.

2. Bahaya Menuruti Hawa Nafsu

Mengapa seseorang bisa sampai pada titik menghalalkan segala cara? Jawabannya adalah karena kebenaran telah dipaksa tunduk pada hawa nafsu (keinginan diri).

Mereka menolak fakta dan kritik karena fakta tersebut tidak sesuai dengan keinginan mereka. Padahal, Allah SWT memperingatkan bahwa jika kebenaran harus selalu mengikuti keinginan manusia, maka hancurlah tatanan kehidupan ini:

"Dan sekiranya kebenaran mengikuti hawa nafsu mereka, tentulah rusaklah langit dan bumi dan semua yang ada di dalamnya..." (QS. Al-Mu'minun: 71)

Ambisi yang memaksakan kehendak tanpa mempedulikan aturan main dan hak orang lain adalah resep utama menuju kehancuran, baik bagi dirinya maupun lingkungannya.

3. Ego yang Rapuh dan Penolakan terhadap Kritik

Ironisnya, orang yang tampak paling keras kepala dan egois seringkali adalah orang yang memiliki jiwa paling rapuh.

Mereka membangun citra diri yang sempurna (perfeksionis palsu). Mengakui kesalahan bagi mereka sama dengan mengakui kelemahan, dan itu adalah hal yang menakutkan. Karena itu, mereka sangat bergantung pada pujian eksternal. Kritik—sekecil apa pun—dianggap sebagai serangan personal yang harus dibalas, bukan bahan evaluasi.

Sikap ini disebut sebagai Ananiyah (egoisme) atau kezaliman terhadap diri sendiri dan orang lain. Rasulullah SAW memperingatkan efek jangka panjang dari sikap ini:

"Kezaliman (termasuk egoisme yang merugikan orang lain) akan menjadi kegelapan-kegelapan di hari kiamat." (HR. Bukhari & Muslim)

Kegelapan ini bermula di dunia—gelap dari menerima nasihat, gelap dari melihat kebenaran—dan berujung pada kegelapan nasib di akhirat.

4. Empati: Obat Penawar Egoisme

Bagaimana cara menyembuhkan penyakit hati ini? Islam menawarkan Empati dan Itsar (mendahulukan orang lain).

Egoisme berteriak "Aku", sedangkan Iman berbisik "Kita". Kesuksesan sejati dalam Islam tidak diraih dengan menginjak orang lain, tetapi dengan mengangkat derajat sesama. Kemampuan menempatkan diri di posisi orang lain bukan hanya soft skill, melainkan indikator kesempurnaan iman.

Rasulullah SAW bersabda:

"Tidaklah sempurna iman seseorang di antara kalian, hingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri." (HR. Bukhari & Muslim)

Lebih jauh lagi, Allah memuji kaum Anshar yang memiliki sifat Itsar, yakni mengutamakan orang lain meski dirinya sendiri sedang kesulitan:

"...dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan..." (QS. Al-Hasyr: 9)

Refleksi (Muhasabah)

Mari kita bertanya pada diri sendiri hari ini:

  1. Apakah kita mengejar tujuan dengan cara yang benar, atau kita sering membenarkan cara yang salah demi tujuan tersebut?

  2. Ketika dikritik, apakah kita sibuk membela diri (defensif) atau sibuk memperbaiki diri?

  3. Apakah keberadaan kita memberi manfaat bagi orang lain, atau orang lain justru merasa terancam dengan ambisi kita?

Ingatlah pesan Rasulullah SAW:

"Barangsiapa memiliki kesalahan pada saudaranya baik mengenai kehormatannya atau sesuatu yang lain, maka hendaklah ia meminta maaf hari ini, sebelum datang hari di mana tidak ada lagi Dinar dan Dirham (Hari Kiamat)..." (HR. Bukhari)

Semoga kita terhindar dari ambisi yang menjebak dan ego yang membinasakan. Jadilah pribadi yang besar bukan karena pujian, tapi karena kerendahan hati mengakui kesalahan dan kemuliaan akhlak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar