Teks Berjalan

Selamat Datang di Blog abuyasin.com Selamat Datang di Blog abuyasin.com

Kamis, 28 Agustus 2025

 


Mengajarkan Anak Bagaimana Berpikir: Perspektif Parenting Psikologi dan Psikologi Islam

Inti pendidikan bukanlah menjejalkan isi kepala anak dengan dogma atau hafalan, melainkan membimbing mereka agar mampu berpikir secara kritis, mandiri, dan kreatif. Mengajarkan apa yang harus dipikirkan hanya akan melahirkan generasi penurut yang bergantung pada otoritas luar, tanpa daya untuk menimbang benar dan salah secara mandiri. Sebaliknya, mengajarkan bagaimana berpikir membekali anak dengan keterampilan intelektual untuk mengevaluasi informasi, mempertanyakan asumsi, serta menemukan solusi atas masalah yang mereka hadapi. Inilah yang membedakan pendidikan sejati dari sekadar indoktrinasi.

Pendidikan Modern dan Tantangan Hafalan Semata

Jika kita perhatikan sistem pendidikan modern, sering kali masih ada kecenderungan untuk menilai keberhasilan anak hanya dari kemampuan menghafal dan mengulang informasi. Anak yang bisa menjawab soal dengan tepat dianggap cerdas, sementara yang berpikir di luar kebiasaan malah dicap menyimpang. Padahal, dunia yang terus berubah membutuhkan manusia yang mampu beradaptasi dengan situasi baru, bukan sekadar mengulang apa yang sudah ada. Dengan kata lain, dunia hari ini menuntut kreativitas lebih daripada kepatuhan semata.

Pendidikan yang tidak mengajarkan cara berpikir hanya akan melahirkan manusia yang rapuh menghadapi kompleksitas zaman. Anak-anak seperti itu mungkin unggul di ruang ujian, tetapi mudah terseret arus dalam kehidupan nyata karena tidak terbiasa berpikir mandiri.

Parenting dan Psikologi Perkembangan

Dalam kacamata psikologi perkembangan, anak-anak memiliki tahap-tahap kognitif yang perlu didukung dengan pola asuh (parenting) yang tepat. Menurut Jean Piaget, anak-anak tidak sekadar menerima informasi, melainkan aktif membangun pengetahuannya melalui pengalaman. Artinya, peran orang tua bukanlah “pengisi gelas kosong,” melainkan fasilitator yang menstimulasi daya pikir kritis, imajinasi, dan rasa ingin tahu.

Psikolog modern juga menekankan pentingnya autonomy support parenting yaitu pola asuh yang memberi ruang anak untuk membuat pilihan, mengemukakan pendapat, dan bertanggung jawab atas tindakannya. Pola ini terbukti menumbuhkan kemandirian, rasa percaya diri, serta kemampuan problem solving yang kuat pada anak.

Perspektif Islam: Pendidikan sebagai Tazkiyatun Nafs dan Tarbiyah Fikr

Dalam Islam, pendidikan bukan hanya tentang transfer ilmu, tetapi juga tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) dan tarbiyah fikr (pendidikan akal). Al-Qur’an berulang kali mengajak manusia untuk tafakkur (berpikir), tadabbur (merenungi), dan ta’aqqul (menggunakan akal). Allah ﷻ berfirman:

“Maka apakah mereka tidak mentadabburi Al-Qur’an? Kalau sekiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, pastilah mereka menemukan pertentangan yang banyak di dalamnya.”
(QS. An-Nisa: 82)

Ayat ini menegaskan bahwa pendidikan Islami menuntun anak untuk berpikir kritis dan tidak menerima sesuatu secara buta, bahkan dalam memahami wahyu.

Rasulullah ﷺ juga bersabda:

“Sesungguhnya kelebihan orang alim atas ahli ibadah adalah seperti kelebihan bulan atas seluruh bintang.”
(HR. Abu Dawud)

Ilmu yang dimaksud bukan sekadar hafalan, melainkan pemahaman mendalam yang lahir dari proses berpikir dan perenungan.

Selain itu, dalam sebuah hadis Nabi ﷺ mendoakan:

“Ya Allah, berikanlah aku ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik, dan amal yang diterima.”
(HR. Ibn Majah)

Doa ini mengajarkan bahwa ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang dipahami, direnungkan, dan diamalkan bukan sekadar dihafal.

Anak yang Terlatih Berpikir: Mandiri, Kritis, dan Humanis

Mengajarkan anak bagaimana berpikir berarti melatih mereka untuk bertanggung jawab terhadap pilihan dan tindakannya. Dengan kemampuan berpikir kritis, anak belajar memahami konsekuensi, mempertimbangkan berbagai sudut pandang, dan mengambil keputusan yang bijak. Ini juga menumbuhkan kemandirian, sebab mereka tidak lagi bergantung pada instruksi atau otoritas eksternal untuk menentukan jalan hidupnya.

Seorang anak yang terbiasa berpikir akan tumbuh menjadi pribadi yang lebih percaya diri, tahan banting, dan mampu memimpin dirinya sendiri di tengah kerumunan opini yang saling bertabrakan. Dalam Islam, hal ini sangat sejalan dengan konsep taklif (tanggung jawab individu), di mana setiap muslim bertanggung jawab atas amal perbuatannya di hadapan Allah.

Aspek Moral dan Empati

Lebih jauh, pandangan ini juga menyentuh aspek moral. Anak-anak yang diajarkan apa yang harus dipikirkan bisa mudah terjebak dalam pola pikir sempit yang membatasi ruang empati. Sebaliknya, anak-anak yang diajarkan bagaimana berpikir lebih terbuka untuk memahami perbedaan, menghargai keberagaman, dan mencari kebenaran dengan rendah hati.

Al-Qur’an mengajarkan bahwa berpikir yang benar melahirkan akhlak mulia:

“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwa itu, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.”
(QS. Asy-Syams: 9-10)

Menyucikan jiwa tidak mungkin tanpa berpikir, menimbang, dan mengendalikan hawa nafsu.

Peran Orang Tua sebagai Murabbi

Pada akhirnya, tugas utama pendidik baik orang tua maupun guru bukanlah sekadar mencetak anak-anak agar seragam sesuai standar, melainkan membuka jalan bagi mereka untuk menemukan cara berpikirnya sendiri. Seperti menyalakan obor, pendidikan harus memberi cahaya agar anak-anak bisa menelusuri jalannya dengan terang, bukan menyerahkan peta kaku yang membatasi gerak.

Dalam Islam, orang tua adalah murabbi (pendidik sekaligus penuntun jiwa). Rasulullah ﷺ bersabda:

“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini mengingatkan bahwa pola asuh dan metode pendidikan sangat menentukan kualitas cara berpikir anak.

Penutup

Di tengah banjir informasi dan opini pada era digital, keterampilan berpikir kritis adalah senjata terbaik agar anak-anak tidak terseret arus, tetapi mampu berdiri tegak sebagai pribadi yang merdeka. Dari perspektif psikologi, ini membentuk anak yang mandiri, percaya diri, dan resilien. Dari perspektif Islam, ini melahirkan insan yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berakhlak mulia, terbuka, dan selalu menyandarkan pikirannya pada nilai-nilai wahyu.

Maka, pendidikan sejati adalah sinergi antara akal yang kritis dan hati yang bersih dua pilar yang menjadikan anak bukan hanya manusia cerdas, tetapi juga manusia yang bertakwa.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar