Mengajarkan
Anak Bagaimana Berpikir: Perspektif Parenting Psikologi dan Psikologi Islam
Inti pendidikan bukanlah
menjejalkan isi kepala anak dengan dogma atau hafalan, melainkan membimbing
mereka agar mampu berpikir secara kritis, mandiri, dan kreatif. Mengajarkan apa
yang harus dipikirkan hanya akan melahirkan generasi penurut yang bergantung
pada otoritas luar, tanpa daya untuk menimbang benar dan salah secara mandiri.
Sebaliknya, mengajarkan bagaimana berpikir membekali anak dengan
keterampilan intelektual untuk mengevaluasi informasi, mempertanyakan asumsi,
serta menemukan solusi atas masalah yang mereka hadapi. Inilah yang membedakan
pendidikan sejati dari sekadar indoktrinasi.
Pendidikan Modern dan
Tantangan Hafalan Semata
Jika kita perhatikan sistem
pendidikan modern, sering kali masih ada kecenderungan untuk menilai
keberhasilan anak hanya dari kemampuan menghafal dan mengulang informasi. Anak
yang bisa menjawab soal dengan tepat dianggap cerdas, sementara yang berpikir
di luar kebiasaan malah dicap menyimpang. Padahal, dunia yang terus berubah
membutuhkan manusia yang mampu beradaptasi dengan situasi baru, bukan sekadar
mengulang apa yang sudah ada. Dengan kata lain, dunia hari ini menuntut
kreativitas lebih daripada kepatuhan semata.
Pendidikan yang tidak
mengajarkan cara berpikir hanya akan melahirkan manusia yang rapuh menghadapi
kompleksitas zaman. Anak-anak seperti itu mungkin unggul di ruang ujian, tetapi
mudah terseret arus dalam kehidupan nyata karena tidak terbiasa berpikir
mandiri.
Parenting dan Psikologi
Perkembangan
Dalam kacamata psikologi
perkembangan, anak-anak memiliki tahap-tahap kognitif yang perlu didukung
dengan pola asuh (parenting) yang tepat. Menurut Jean Piaget, anak-anak tidak
sekadar menerima informasi, melainkan aktif membangun pengetahuannya melalui
pengalaman. Artinya, peran orang tua bukanlah “pengisi gelas kosong,” melainkan
fasilitator yang menstimulasi daya pikir kritis, imajinasi, dan rasa ingin
tahu.
Psikolog modern juga
menekankan pentingnya autonomy support parenting yaitu pola asuh yang
memberi ruang anak untuk membuat pilihan, mengemukakan pendapat, dan
bertanggung jawab atas tindakannya. Pola ini terbukti menumbuhkan kemandirian,
rasa percaya diri, serta kemampuan problem solving yang kuat pada anak.
Perspektif Islam:
Pendidikan sebagai Tazkiyatun Nafs dan Tarbiyah Fikr
Dalam Islam, pendidikan bukan hanya tentang transfer ilmu, tetapi juga tazkiyatun
nafs (penyucian jiwa) dan tarbiyah fikr (pendidikan akal). Al-Qur’an
berulang kali mengajak manusia untuk tafakkur (berpikir), tadabbur
(merenungi), dan ta’aqqul (menggunakan akal). Allah ﷻ berfirman:
“Maka apakah mereka tidak mentadabburi Al-Qur’an? Kalau sekiranya
Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, pastilah mereka menemukan pertentangan
yang banyak di dalamnya.”
(QS. An-Nisa: 82)
Ayat ini menegaskan bahwa pendidikan Islami menuntun anak untuk berpikir
kritis dan tidak menerima sesuatu secara buta, bahkan dalam memahami wahyu.
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
“Sesungguhnya kelebihan orang alim atas ahli ibadah adalah seperti
kelebihan bulan atas seluruh bintang.”
(HR. Abu Dawud)
Ilmu yang dimaksud bukan sekadar hafalan, melainkan pemahaman mendalam
yang lahir dari proses berpikir dan perenungan.
Selain itu, dalam sebuah hadis Nabi ﷺ mendoakan:
“Ya Allah, berikanlah aku ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik, dan
amal yang diterima.”
(HR. Ibn Majah)
Doa ini mengajarkan bahwa ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang
dipahami, direnungkan, dan diamalkan bukan sekadar dihafal.
Anak yang Terlatih
Berpikir: Mandiri, Kritis, dan Humanis
Mengajarkan anak bagaimana
berpikir berarti melatih mereka untuk bertanggung jawab terhadap pilihan dan
tindakannya. Dengan kemampuan berpikir kritis, anak belajar memahami
konsekuensi, mempertimbangkan berbagai sudut pandang, dan mengambil keputusan
yang bijak. Ini juga menumbuhkan kemandirian, sebab mereka tidak lagi bergantung
pada instruksi atau otoritas eksternal untuk menentukan jalan hidupnya.
Seorang anak yang terbiasa
berpikir akan tumbuh menjadi pribadi yang lebih percaya diri, tahan banting,
dan mampu memimpin dirinya sendiri di tengah kerumunan opini yang saling bertabrakan.
Dalam Islam, hal ini sangat sejalan dengan konsep taklif (tanggung jawab
individu), di mana setiap muslim bertanggung jawab atas amal perbuatannya di
hadapan Allah.
Aspek Moral dan Empati
Lebih jauh, pandangan ini
juga menyentuh aspek moral. Anak-anak yang diajarkan apa yang harus
dipikirkan bisa mudah terjebak dalam pola pikir sempit yang membatasi ruang
empati. Sebaliknya, anak-anak yang diajarkan bagaimana berpikir lebih
terbuka untuk memahami perbedaan, menghargai keberagaman, dan mencari kebenaran
dengan rendah hati.
Al-Qur’an mengajarkan bahwa berpikir yang benar melahirkan akhlak mulia:
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwa itu, dan sungguh merugi
orang yang mengotorinya.”
(QS. Asy-Syams: 9-10)
Menyucikan jiwa tidak mungkin tanpa berpikir, menimbang, dan
mengendalikan hawa nafsu.
Peran Orang Tua sebagai
Murabbi
Pada akhirnya, tugas utama
pendidik baik orang tua maupun guru bukanlah sekadar mencetak anak-anak agar
seragam sesuai standar, melainkan membuka jalan bagi mereka untuk menemukan
cara berpikirnya sendiri. Seperti menyalakan obor, pendidikan harus memberi
cahaya agar anak-anak bisa menelusuri jalannya dengan terang, bukan menyerahkan
peta kaku yang membatasi gerak.
Dalam Islam, orang tua adalah murabbi (pendidik sekaligus
penuntun jiwa). Rasulullah ﷺ bersabda:
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka orang tuanyalah yang
menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini mengingatkan bahwa pola asuh dan metode pendidikan sangat
menentukan kualitas cara berpikir anak.
Penutup
Di tengah banjir informasi
dan opini pada era digital, keterampilan berpikir kritis adalah senjata terbaik
agar anak-anak tidak terseret arus, tetapi mampu berdiri tegak sebagai pribadi
yang merdeka. Dari perspektif psikologi, ini membentuk anak yang mandiri,
percaya diri, dan resilien. Dari perspektif Islam, ini melahirkan insan yang
tidak hanya cerdas, tetapi juga berakhlak mulia, terbuka, dan selalu
menyandarkan pikirannya pada nilai-nilai wahyu.
Maka, pendidikan sejati adalah
sinergi antara akal yang kritis dan hati yang bersih dua pilar
yang menjadikan anak bukan hanya manusia cerdas, tetapi juga manusia yang
bertakwa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar