Teks Berjalan

Selamat Datang di Blog abuyasin.com Selamat Datang di Blog abuyasin.com

Senin, 11 Agustus 2025



Ilmu: Warisan yang Abadi, Harta: Titipan yang Fana

Dalam kehidupan, manusia sering mengejar tiga hal: kegembiraan, kemuliaan, dan ketenaran. Namun, sumber dari ketiga hal itu menentukan apakah ia akan kekal atau sirna. Jika bersumber dari ilmu, maka ia akan abadi. Tetapi jika bersumber dari harta, maka ia hanya sementara.

Kegembiraan karena ilmu tidak akan pernah pudar, karena ilmu adalah cahaya yang menerangi hati dan pikiran. Imam Asy-Syafi’i berkata:

"Ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak diberikan kepada orang yang bermaksiat."

Ketika kita memahami sesuatu, mengajarkannya, dan bermanfaat bagi orang lain, kegembiraan itu akan terus hidup meski tubuh kita telah tiada. Setiap orang yang mendapat manfaat dari ilmu kita adalah rantai pahala yang tak terputus, sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

"Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya."
(HR. Muslim)

Kemuliaan karena ilmu akan lestari. Harta dapat membuat seseorang dihormati, tetapi seringkali hormat itu bersifat basa-basi. Sementara kemuliaan dari ilmu lahir dari pengakuan tulus atas manfaat yang ia berikan kepada umat. Lihatlah nama-nama ulama besar Imam Bukhari, Imam Nawawi, Ibnu Sina kemuliaan mereka bertahan ratusan tahun, bukan karena kekayaan, tetapi karena ilmu yang mereka wariskan.

Ketenaran karena ilmu akan kekal. Ketenaran karena harta biasanya memudar seiring berkurangnya harta itu sendiri. Tetapi ketenaran karena ilmu akan terus disebut, dikaji, dan menjadi rujukan lintas zaman.

 

Kegembiraan karena Ilmu: Cahaya yang Tak Pernah Padam

Kegembiraan yang lahir dari ilmu jauh melampaui euforia sesaat yang ditawarkan oleh harta. Membeli barang baru mungkin membuat kita bahagia, tetapi perasaan itu cepat memudar. Sebaliknya, saat kita memahami sebuah konsep yang rumit, menemukan solusi untuk sebuah masalah, atau mengajarkan sesuatu yang bermanfaat kepada orang lain, ada rasa kepuasan yang mendalam dan abadi. Ini adalah kegembiraan yang berasal dari kebermanfaatan.

Imam Asy-Syafi’i pernah berkata, "Ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak diberikan kepada orang yang bermaksiat." Kutipan ini mengingatkan kita bahwa ilmu bukan sekadar akumulasi fakta, tetapi sebuah pencerahan spiritual. Ia adalah cahaya yang menuntun hati dan pikiran, menghindarkan kita dari kegelapan kebodohan dan maksiat. Saat ilmu itu kita bagikan dan bermanfaat bagi orang lain, ia akan terus hidup bahkan setelah kita tiada.

Sesuai sabda Nabi ﷺ, "Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya." (HR. Muslim). Ilmu yang bermanfaat adalah salah satu dari tiga amalan yang pahalanya terus mengalir. Setiap orang yang mendapat manfaat dari ilmu kita, setiap gagasan yang tumbuh darinya, adalah rantai pahala yang tak terputus.

 

Kemuliaan yang Lestari: Pengakuan Tulus, Bukan Basa-Basi

Kemuliaan yang bersumber dari harta seringkali hanyalah topeng. Orang-orang menghormati si kaya karena kekayaannya, bukan karena karakternya. Hormat ini bersifat transaksional dan akan hilang begitu harta itu habis. Ini adalah kemuliaan yang rapuh, mudah hancur oleh keangkuhan dan kesombongan.

Lain halnya dengan kemuliaan yang lahir dari ilmu. Kemuliaan ini berasal dari pengakuan tulus atas manfaat yang diberikan oleh seorang berilmu kepada umat. Kita mengenang nama-nama besar seperti Imam Bukhari, Imam Nawawi, dan Ibnu Sina—bukan karena kekayaan mereka, melainkan karena warisan ilmu yang mereka tinggalkan. Karya-karya mereka, yang ditulis ratusan tahun lalu, masih dipelajari dan menjadi rujukan hingga kini. Kemuliaan mereka abadi karena ilmu mereka memberikan kontribusi nyata bagi peradaban.

 

 

Harta: Titipan yang Penuh Tanggung Jawab

Tentu, tidak ada yang salah dengan memiliki harta. Dalam Islam, harta yang diperoleh secara halal dan dikelola dengan bijak dapat menjadi jalan menuju surga. Namun, pandangan kita terhadap harta haruslah tepat: ia adalah titipan dari Allah.

Allah mengingatkan kita dalam Al-Qur'an, "Janganlah sekali-kali kamu kagum pada harta dan anak-anak mereka. Sesungguhnya Allah bermaksud dengan itu hendak menyiksa mereka dalam kehidupan dunia dan agar nyawa mereka melayang, sedangkan mereka dalam keadaan kafir." (QS. At-Taubah: 55). Ayat ini memperingatkan kita bahwa keterikatan yang berlebihan pada harta dapat menjadi sumber kesengsaraan. Mencintai harta secara membabi buta akan membuat kita lalai, serakah, dan takut kehilangannya, yang pada akhirnya membawa azab di dunia dan akhirat.

Kegembiraan yang cepat sirna, kemuliaan yang rapuh, dan ketenaran yang memudar adalah konsekuensi dari menjadikan harta sebagai tujuan utama. Sementara orang kaya yang dielu-elukan hari ini mungkin namanya dilupakan esok, orang berilmu akan terus dikenang dan disebut sepanjang masa.

Jadikan Harta Sebagai Pelayan Ilmu

Perkataan Imam Ali bin Abi Thalib merangkum esensi perbandingan ini dengan sempurna: "Ilmu lebih baik daripada harta. Ilmu akan menjagamu, sedangkan engkau yang harus menjaga harta. Ilmu bertambah jika diamalkan, sedangkan harta akan berkurang jika dibelanjakan."

Maka, sudah saatnya kita mengubah fokus. Kejar dan peliharalah ilmu. Jadikan harta sebagai pelayan ilmu, bukan tuannya. Gunakan harta untuk mendukung pencarian dan penyebaran ilmu. Dengan demikian, harta yang fana dapat menjadi wasilah untuk meraih ilmu yang abadi. Karena pada akhirnya, yang kita bawa mati bukanlah tumpukan kekayaan, melainkan amal dan warisan ilmu yang kita tinggalkan.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar