Ilmu: Warisan yang Abadi, Harta: Titipan yang Fana
Dalam kehidupan, manusia sering
mengejar tiga hal: kegembiraan, kemuliaan, dan ketenaran. Namun, sumber dari
ketiga hal itu menentukan apakah ia akan kekal atau sirna. Jika bersumber dari ilmu, maka ia akan abadi. Tetapi jika bersumber dari harta, maka ia hanya sementara.
Kegembiraan karena ilmu tidak akan pernah pudar, karena
ilmu adalah cahaya yang menerangi hati dan pikiran. Imam Asy-Syafi’i berkata:
"Ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak
diberikan kepada orang yang bermaksiat."
Ketika
kita memahami sesuatu, mengajarkannya, dan bermanfaat bagi orang lain,
kegembiraan itu akan terus hidup meski tubuh kita telah tiada. Setiap orang
yang mendapat manfaat dari ilmu kita adalah rantai pahala yang tak terputus,
sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
"Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali
tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang
mendoakannya."
(HR. Muslim)
Kemuliaan karena ilmu akan lestari. Harta dapat membuat
seseorang dihormati, tetapi seringkali hormat itu bersifat basa-basi. Sementara
kemuliaan dari ilmu lahir dari pengakuan tulus atas manfaat yang ia berikan
kepada umat. Lihatlah nama-nama ulama besar Imam Bukhari, Imam Nawawi, Ibnu
Sina kemuliaan mereka bertahan ratusan tahun, bukan karena kekayaan, tetapi
karena ilmu yang mereka wariskan.
Ketenaran karena ilmu akan kekal. Ketenaran karena harta
biasanya memudar seiring berkurangnya harta itu sendiri. Tetapi ketenaran
karena ilmu akan terus disebut, dikaji, dan menjadi rujukan lintas zaman.
Kegembiraan karena Ilmu:
Cahaya yang Tak Pernah Padam
Kegembiraan yang lahir dari
ilmu jauh melampaui euforia sesaat yang ditawarkan oleh harta. Membeli barang
baru mungkin membuat kita bahagia, tetapi perasaan itu cepat memudar.
Sebaliknya, saat kita memahami sebuah konsep yang rumit, menemukan solusi untuk
sebuah masalah, atau mengajarkan sesuatu yang bermanfaat kepada orang lain, ada
rasa kepuasan yang mendalam dan abadi. Ini adalah kegembiraan yang berasal dari
kebermanfaatan.
Imam Asy-Syafi’i pernah
berkata, "Ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak diberikan kepada
orang yang bermaksiat." Kutipan ini mengingatkan kita bahwa ilmu bukan
sekadar akumulasi fakta, tetapi sebuah pencerahan spiritual. Ia adalah cahaya
yang menuntun hati dan pikiran, menghindarkan kita dari kegelapan kebodohan dan
maksiat. Saat ilmu itu kita bagikan dan bermanfaat bagi orang lain, ia akan
terus hidup bahkan setelah kita tiada.
Sesuai sabda Nabi ﷺ,
"Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga
perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang
mendoakannya." (HR. Muslim). Ilmu yang bermanfaat adalah salah satu dari
tiga amalan yang pahalanya terus mengalir. Setiap orang yang mendapat manfaat
dari ilmu kita, setiap gagasan yang tumbuh darinya, adalah rantai pahala yang
tak terputus.
Kemuliaan yang Lestari:
Pengakuan Tulus, Bukan Basa-Basi
Kemuliaan yang bersumber
dari harta seringkali hanyalah topeng. Orang-orang menghormati si kaya karena
kekayaannya, bukan karena karakternya. Hormat ini bersifat transaksional dan
akan hilang begitu harta itu habis. Ini adalah kemuliaan yang rapuh, mudah
hancur oleh keangkuhan dan kesombongan.
Lain halnya dengan
kemuliaan yang lahir dari ilmu. Kemuliaan ini berasal dari pengakuan tulus atas
manfaat yang diberikan oleh seorang berilmu kepada umat. Kita mengenang
nama-nama besar seperti Imam Bukhari, Imam Nawawi, dan Ibnu
Sina—bukan karena kekayaan mereka, melainkan karena warisan ilmu yang
mereka tinggalkan. Karya-karya mereka, yang ditulis ratusan tahun lalu, masih
dipelajari dan menjadi rujukan hingga kini. Kemuliaan mereka abadi karena ilmu
mereka memberikan kontribusi nyata bagi peradaban.
Harta: Titipan yang Penuh
Tanggung Jawab
Tentu, tidak ada yang salah
dengan memiliki harta. Dalam Islam, harta yang diperoleh secara halal dan
dikelola dengan bijak dapat menjadi jalan menuju surga. Namun, pandangan kita
terhadap harta haruslah tepat: ia adalah titipan dari Allah.
Allah mengingatkan kita
dalam Al-Qur'an, "Janganlah sekali-kali kamu kagum pada harta dan
anak-anak mereka. Sesungguhnya Allah bermaksud dengan itu hendak menyiksa
mereka dalam kehidupan dunia dan agar nyawa mereka melayang, sedangkan mereka
dalam keadaan kafir." (QS. At-Taubah: 55). Ayat ini memperingatkan kita
bahwa keterikatan yang berlebihan pada harta dapat menjadi sumber kesengsaraan.
Mencintai harta secara membabi buta akan membuat kita lalai, serakah, dan takut
kehilangannya, yang pada akhirnya membawa azab di dunia dan akhirat.
Kegembiraan yang cepat
sirna, kemuliaan yang rapuh, dan ketenaran yang memudar adalah konsekuensi dari
menjadikan harta sebagai tujuan utama. Sementara orang kaya yang dielu-elukan
hari ini mungkin namanya dilupakan esok, orang berilmu akan terus dikenang dan
disebut sepanjang masa.
Jadikan Harta Sebagai
Pelayan Ilmu
Perkataan Imam Ali bin Abi
Thalib merangkum esensi perbandingan ini dengan sempurna: "Ilmu lebih baik
daripada harta. Ilmu akan menjagamu, sedangkan engkau yang harus menjaga harta.
Ilmu bertambah jika diamalkan, sedangkan harta akan berkurang jika
dibelanjakan."
Maka, sudah saatnya kita
mengubah fokus. Kejar dan peliharalah ilmu. Jadikan harta sebagai pelayan ilmu,
bukan tuannya. Gunakan harta untuk mendukung pencarian dan penyebaran ilmu.
Dengan demikian, harta yang fana dapat menjadi wasilah untuk meraih ilmu yang
abadi. Karena pada akhirnya, yang kita bawa mati bukanlah tumpukan kekayaan,
melainkan amal dan warisan ilmu yang kita tinggalkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar