Teks Berjalan

Selamat Datang di Blog abuyasin.com Selamat Datang di Blog abuyasin.com
Tampilkan postingan dengan label Perspektif Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Perspektif Islam. Tampilkan semua postingan

Senin, 29 Desember 2025

Ketika Ambisi Membutakan Hati

 


Ketika Ambisi Membutakan Hati: Menyelamatkan Diri dari Jeratan Ego yang Rapuh

Dalam perjalanan hidup, memiliki tujuan adalah sebuah keharusan. Namun, ada garis tipis yang memisahkan antara visi yang mulia dan ambisi yang tidak terkendali.

Seringkali, ambisi yang liar membuat seseorang rela mengesampingkan moralitas. Bagi mereka, tujuan pribadi adalah segalanya, sehingga kesalahan dianggap sebagai "langkah yang perlu" dan orang lain hanyalah batu loncatan—atau batu sandungan. Namun, di balik topeng ketegasan itu, tersimpan jiwa yang rapuh.

Berikut adalah renungan mendalam mengenai bahaya egoisme dan bagaimana Islam memandunya kembali menuju cahaya.

1. Ilusi Pembenaran Diri: "Aku Tidak Salah, Aku Hanya Berjuang"

Ciri utama dari ambisi yang tidak terkendali adalah hilangnya objektivitas. Seseorang mulai memandang dunia hanya dari kacamata kepentingannya sendiri. Ketika melakukan kesalahan atau kerusakan, ia tidak merasa bersalah. Sebaliknya, ia menciptakan narasi bahwa tindakannya adalah sebuah kebaikan atau kebutuhan mendesak.

Al-Qur'an dengan sangat tajam memotret perilaku manipulatif ini:

"Dan apabila dikatakan kepada mereka: 'Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi,' mereka menjawab: 'Sesungguhnya kami hanyalah orang-orang yang berbuat kebaikan.'" (QS. Al-Baqarah: 11)

Ayat ini menyindir mereka yang merasa dirinya "pahlawan" dalam cerita yang mereka karang sendiri, padahal realitanya mereka sedang menghancurkan tatanan moral di sekitarnya.

2. Bahaya Menuruti Hawa Nafsu

Mengapa seseorang bisa sampai pada titik menghalalkan segala cara? Jawabannya adalah karena kebenaran telah dipaksa tunduk pada hawa nafsu (keinginan diri).

Mereka menolak fakta dan kritik karena fakta tersebut tidak sesuai dengan keinginan mereka. Padahal, Allah SWT memperingatkan bahwa jika kebenaran harus selalu mengikuti keinginan manusia, maka hancurlah tatanan kehidupan ini:

"Dan sekiranya kebenaran mengikuti hawa nafsu mereka, tentulah rusaklah langit dan bumi dan semua yang ada di dalamnya..." (QS. Al-Mu'minun: 71)

Ambisi yang memaksakan kehendak tanpa mempedulikan aturan main dan hak orang lain adalah resep utama menuju kehancuran, baik bagi dirinya maupun lingkungannya.

3. Ego yang Rapuh dan Penolakan terhadap Kritik

Ironisnya, orang yang tampak paling keras kepala dan egois seringkali adalah orang yang memiliki jiwa paling rapuh.

Mereka membangun citra diri yang sempurna (perfeksionis palsu). Mengakui kesalahan bagi mereka sama dengan mengakui kelemahan, dan itu adalah hal yang menakutkan. Karena itu, mereka sangat bergantung pada pujian eksternal. Kritik—sekecil apa pun—dianggap sebagai serangan personal yang harus dibalas, bukan bahan evaluasi.

Sikap ini disebut sebagai Ananiyah (egoisme) atau kezaliman terhadap diri sendiri dan orang lain. Rasulullah SAW memperingatkan efek jangka panjang dari sikap ini:

"Kezaliman (termasuk egoisme yang merugikan orang lain) akan menjadi kegelapan-kegelapan di hari kiamat." (HR. Bukhari & Muslim)

Kegelapan ini bermula di dunia—gelap dari menerima nasihat, gelap dari melihat kebenaran—dan berujung pada kegelapan nasib di akhirat.

4. Empati: Obat Penawar Egoisme

Bagaimana cara menyembuhkan penyakit hati ini? Islam menawarkan Empati dan Itsar (mendahulukan orang lain).

Egoisme berteriak "Aku", sedangkan Iman berbisik "Kita". Kesuksesan sejati dalam Islam tidak diraih dengan menginjak orang lain, tetapi dengan mengangkat derajat sesama. Kemampuan menempatkan diri di posisi orang lain bukan hanya soft skill, melainkan indikator kesempurnaan iman.

Rasulullah SAW bersabda:

"Tidaklah sempurna iman seseorang di antara kalian, hingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri." (HR. Bukhari & Muslim)

Lebih jauh lagi, Allah memuji kaum Anshar yang memiliki sifat Itsar, yakni mengutamakan orang lain meski dirinya sendiri sedang kesulitan:

"...dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan..." (QS. Al-Hasyr: 9)

Refleksi (Muhasabah)

Mari kita bertanya pada diri sendiri hari ini:

  1. Apakah kita mengejar tujuan dengan cara yang benar, atau kita sering membenarkan cara yang salah demi tujuan tersebut?

  2. Ketika dikritik, apakah kita sibuk membela diri (defensif) atau sibuk memperbaiki diri?

  3. Apakah keberadaan kita memberi manfaat bagi orang lain, atau orang lain justru merasa terancam dengan ambisi kita?

Ingatlah pesan Rasulullah SAW:

"Barangsiapa memiliki kesalahan pada saudaranya baik mengenai kehormatannya atau sesuatu yang lain, maka hendaklah ia meminta maaf hari ini, sebelum datang hari di mana tidak ada lagi Dinar dan Dirham (Hari Kiamat)..." (HR. Bukhari)

Semoga kita terhindar dari ambisi yang menjebak dan ego yang membinasakan. Jadilah pribadi yang besar bukan karena pujian, tapi karena kerendahan hati mengakui kesalahan dan kemuliaan akhlak.

Senin, 22 Desember 2025

nvestasi Properti Terbaik: Membangun Rumah di Surga Hanya dengan 12 Rakaat

 


Investasi Properti Terbaik: Membangun Rumah di Surga Hanya dengan 12 Rakaat

Di dunia ini, memiliki rumah impian adalah cita-cita hampir semua orang. Kita rela bekerja keras bertahun-tahun, menabung, bahkan mencicil puluhan tahun demi sebuah hunian yang nyaman. Namun, semegah apa pun rumah di dunia, ia bersifat sementara. Bisa rusak, bisa hancur, dan pasti akan kita tinggalkan saat kita wafat.

Tahukah Anda, bahwa Allah SWT menawarkan sebuah "properti" yang jauh lebih mewah, kekal, dan indah di surga? Menariknya, "mata uang" untuk membelinya bukanlah miliaran rupiah, melainkan kedisiplinan kita menjaga 12 rakaat shalat sunnah setiap hari.

Inilah keutamaan dahsyat dari Shalat Sunnah Rawatib.

Apa Itu Shalat Sunnah Rawatib?

Shalat Sunnah Rawatib adalah shalat sunnah yang dikerjakan mengiringi shalat fardhu (lima waktu), baik yang dilakukan sebelumnya (Qobliyah) maupun sesudahnya (Ba'diyah).

Shalat ini ibarat "pagar" yang melindungi shalat wajib. Jika shalat wajib adalah bangunan utamanya, maka rawatib adalah taman indah yang mengelilinginya.

Janji Rasulullah: Sebuah Rumah di Surga

Ada banyak jenis shalat sunnah, namun ada satu paket khusus yang jika dijaga (rutin dikerjakan), Allah menjanjikan hadiah spesifik berupa bangunan di surga.

Dari Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha (Istri Rasulullah SAW), ia berkata:

"Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: ‘Barangsiapa yang mengerjakan shalat 12 rakaat (sunnah rawatib) sehari semalam, akan dibangunkan baginya sebuah rumah di surga.’" (HR. Muslim)

Hadits ini bukan sekadar motivasi kosong. Ini adalah janji pasti dari lisan manusia yang paling mulia. Bayangkan, dengan meluangkan waktu total sekitar 20-30 menit sehari untuk 12 rakaat ini, kita sedang menumpuk bata demi bata untuk istana abadi kita kelak.

 

Rincian 12 Rakaat Rawatib

Lalu, kapan saja pelaksanaan 12 rakaat yang dimaksud dalam hadits tersebut? Para ulama merincinya sebagai berikut (termasuk dalam kategori Sunnah Muakkad atau yang sangat ditekankan):

  1. 2 Rakaat Sebelum Subuh (Qobliyah Subuh)
    • Keutamaan: Lebih baik dari dunia dan seisinya.
  2. 4 Rakaat Sebelum Dzuhur (Qobliyah Dzuhur)
    • Caranya: Bisa dikerjakan 2 rakaat salam, lalu 2 rakaat salam.
  3. 2 Rakaat Setelah Dzuhur (Ba'diyah Dzuhur)
  4. 2 Rakaat Setelah Maghrib (Ba'diyah Maghrib)
  5. 2 Rakaat Setelah Isya (Ba'diyah Isya)

Total = 12 Rakaat.

 

Mengapa Shalat Rawatib Sangat Penting?

Selain hadiah rumah di surga, shalat rawatib memiliki fungsi krusial lainnya:

1. Penambal Kekurangan Shalat Wajib

Sadarkah kita, saat shalat fardhu seringkali pikiran kita melayang (tidak khusyuk)? Atau mungkin bacaan kita kurang sempurna? Di hari kiamat, shalat sunnah inilah yang akan digunakan Allah untuk menambal kekurangan pada shalat wajib kita agar menjadi sempurna.

2. Sarana Mendekatkan Diri kepada Allah

Dalam hadits Qudsi, Allah berfirman bahwa hamba-Nya akan senantiasa mendekatkan diri dengan amalan sunnah hingga Allah mencintainya. Jika Allah sudah cinta, maka doa akan mudah dikabulkan dan hidup akan dibimbing.

 

Tips Agar Istiqomah Menjaga 12 Rakaat

Memulai itu mudah, yang berat adalah istiqomah. Berikut tipsnya:

  • Mulai Bertahap: Jika 12 rakaat terasa berat, mulailah dengan Qobliyah Subuh (2 rakaat) yang keutamaannya sangat besar. Setelah terbiasa, tambah perlahan.
  • Datang ke Masjid Lebih Awal: Bagi laki-laki, datanglah sebelum adzan atau tepat saat adzan agar sempat mengerjakan Qobliyah.
  • Ingat "Rumah Impian": Setiap kali rasa malas datang, bayangkan rumah indah di surga yang sedang Anda bangun. Apakah Anda rela pembangunannya mangkrak hanya karena rasa malas sesaat?

 

Penutup

Sahabat, dunia ini adalah tempat kita menanam, dan akhirat adalah tempat memanen. Jangan biarkan hari berlalu hanya dengan shalat wajib saja jika kita mampu melakukan lebih.

Mari kita mulai "proyek pembangunan" rumah kita di surga mulai hari ini. Jaga 12 rakaat rawatib, dan raihlah tetangga terbaik di surga kelak, yakni para Nabi dan orang-orang shalih.

Wallahu a'lam bish-shawabi.

Selasa, 11 November 2025

Pahala Tanpa Batas

 



Konsep "Pahala Tanpa Batas" Bagi Orang yang Sabar (QS. Az-Zumar: 10)

Ayat suci QS. Az-Zumar: 10, "Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas," mengandung janji luar biasa yang membedakan ganjaran kesabaran dari amalan-amalan kebaikan lainnya. Konsep "pahala tanpa batas" (ajrun ghaira ma'dud) merujuk pada tiga dimensi utama kemuliaan pahala di sisi Allah SWT: kuantitas yang melimpah, kualitas yang tak terbayangkan, dan ketiadaan batasan penghitungan.

1. Kuantitas yang Melampaui Perhitungan

Dalam Islam, kebanyakan amal kebaikan memiliki perhitungan pahala yang jelas, seperti satu kebaikan dibalas sepuluh kali lipat, atau tujuh ratus kali lipat. Namun, kesabaran dikecualikan dari formula matematis ini. Pahala yang dijanjikan melimpah ruah hingga mustahil dihitung.

Perumpamaan: Timbangan Emas dan Air Laut

Bayangkan setiap amal kebaikan lainnya (seperti salat, puasa, sedekah) adalah emas batangan yang diukur dengan presisi di timbangan. Kita tahu pasti berapa berat dan nilainya.

Sebaliknya, pahala bagi orang yang sabar diibaratkan sebagai air di lautan. Kita tidak dapat mengukur volume air laut dengan timbangan biasa; jumlahnya terlalu masif dan luas. Demikian pula, pahala kesabaran tidak diukur dengan satuan, tetapi diberikan secara utuh dan melimpah, memenuhi kebutuhan hamba-Nya di akhirat tanpa ada kekurangan sedikit pun. Kuantitasnya melebihi apa yang dapat dibayangkan oleh akal manusia.

2. Kualitas yang Tak Terbayangkan (Ganjaran Khusus)

"Tanpa batas" juga menunjukkan bahwa ganjaran kesabaran mencakup kenikmatan-kenikmatan khusus yang disediakan Allah di Surga yang tidak diberikan kepada amalan lain.

Perumpamaan: Pintu Surga Khusus (Bâb ar-Rayyân)

Kita tahu bahwa puasa memiliki pintu Surga khusus bernama Bâb ar-Rayyân. Namun, kesabaran adalah inti dari hampir semua ibadah: puasa adalah sabar menahan lapar, jihad adalah sabar menghadapi kesulitan, dan salat adalah sabar menjalankan kewajiban.

Oleh karena itu, kesabaran membawa kepada ganjaran yang tertinggi dan paling murni. Para ulama menafsirkan bahwa ganjaran ini termasuk kebahagiaan abadi, kedekatan dengan Allah, dan diampuninya semua dosa. Pahala ini adalah jaminan kemuliaan yang diberikan langsung oleh Allah tanpa perantara atau batasan, karena kesabaran adalah sifat Ilahi yang merupakan ujian terberat bagi seorang hamba.

3. Kesabaran Sebagai Penyempurna Iman

Kesabaran adalah fondasi bagi keimanan. Ia merupakan perwujudan dari ketaatan seorang hamba, baik dalam menghadapi musibah (sabar atas ketetapan Allah), menjalankan perintah (sabar dalam ketaatan), maupun menjauhi larangan (sabar menahan hawa nafsu).

Karena kesabaran mencakup spektrum luas perjuangan spiritual, pahalanya pun mencerminkan cakupan tersebut ia menutupi kekurangan dalam amal-amal lain dan menyempurnakan keimanan secara keseluruhan. Ketika seorang hamba bersabar, seolah-olah dia telah mengumpulkan semua jenis kebaikan di dalam satu wadah.

Intinya, janji "pahala tanpa batas" bagi orang yang sabar adalah penghargaan tertinggi dari Allah, yang menyatakan bahwa bagi hamba-Nya yang mampu menahan diri, bertahan dalam ketaatan, dan menerima takdir dengan hati yang ridha, ganjaran di akhirat akan diberikan secara eksponensial, jauh melampaui segala perhitungan yang pernah ada.

 

Kesabaran dan Ketenangan

 

 




Kesabaran dan Ketenangan: Strategi Holistik Menghadapi Abad Modern Berdasarkan QS. Al-Baqarah: 153

Ayat suci Al-Qur'an, QS. Al-Baqarah: 153, memberikan panduan spiritual yang mendalam, "Mohonlah pertolongan dengan sabar dan salat; sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." Ayat ini bukan sekadar perintah ritualistik, melainkan sebuah peta jalan yang terintegrasi bagi umat manusia untuk menghadapi kesulitan. Dalam konteks kehidupan modern yang ditandai dengan tekanan tiada henti, budaya serba cepat (hustle culture), dan banjir informasi, mengintegrasikan kesabaran spiritual (sabar) dan disiplin ibadah (salat) menjadi strategi yang paling efektif dan holistik untuk mencapai ketahanan batin dan ketenangan sejati.

Pertama, Sabar di Tengah Budaya Instan. Dalam era yang mengagungkan kepuasan instan dan hasil cepat, sabar adalah mata uang spiritual yang paling berharga. Sabar bukan berarti kepasifan atau menyerah pada keadaan, melainkan kemampuan untuk menahan diri, mengendalikan emosi, dan terus berusaha secara konsisten tanpa tergesa-gesa atau berputus asa. Di tengah hiruk pikuk pekerjaan, tantangan ekonomi, atau gejolak emosional, kesabaran memungkinkan seseorang mengambil langkah mundur, membuat keputusan strategis, dan memandang masalah dari perspektif jangka panjang. Ia adalah perlindungan mental dari burnout dan kecemasan, memberikan waktu yang diperlukan jiwa untuk memproses dan merencanakan respons, bukan hanya reaksi.

Kedua, Salat sebagai Jangkar Spiritual di Lautan Distraksi. Jika sabar adalah mesin yang menjaga perahu tetap bergerak maju, maka salat adalah jangkar yang menahan perahu dari terombang-ambing badai. Lima kali sehari, salat memaksa individu untuk melepaskan diri dari layar digital, jadwal yang padat, dan tuntutan duniawi. Praktik ibadah ini berfungsi sebagai titik setel ulang (reset point) mental dan spiritual, memulihkan fokus pada hubungan vertikal dengan Sang Pencipta. Dalam keadaan suci (wudu) dan gerakan terstruktur yang khusyuk, salat mengalihkan energi dari kepanikan horizontal duniawi menuju ketenangan vertikal Illahi. Ia mengingatkan bahwa segala daya dan upaya harus disandarkan kepada Allah, memberikan dosis ketenangan (sakīnah) yang sangat dibutuhkan jiwa modern yang terfragmentasi.

Integrasi antara keduanya, seperti yang ditunjukkan oleh ayat tersebut, menciptakan sistem pertahanan diri yang tangguh. Salat memberikan kekuatan dan keyakinan (tawakkal) yang diperlukan, memastikan bahwa perjuangan (sabar) tidak dilakukan sendirian, melainkan disertai oleh bantuan Allah. Sebaliknya, disiplin yang diajarkan oleh salat—ketepatan waktu, fokus, dan penghormatan—memperkuat karakter yang diperlukan untuk bersabar dalam menghadapi ujian kehidupan. Ketika seseorang merasa hampir menyerah pada tekanan (ketidakpastian karir, konflik keluarga, atau masalah kesehatan), ia kembali kepada salat untuk mengisi ulang reservoir kesabarannya. Janji penutup ayat, "sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar," adalah jaminan tertinggi bahwa kesulitan yang dihadapi tidaklah sia-sia, dan pertolongan selalu dekat bagi mereka yang memegang teguh kedua prinsip ini.

Kesimpulannya, QS. Al-Baqarah: 153 mengajarkan bahwa sabar dan salat bukanlah pilihan, melainkan satu kesatuan yang tidak terpisahkan untuk meraih kemenangan spiritual dan praktikal. Dengan menjadikan salat sebagai sumber energi spiritual dan sabar sebagai manifestasi praktisnya di dunia nyata, individu Muslim dapat menavigasi kompleksitas hidup modern dengan ketenangan, daya tahan, dan kepastian bahwa mereka berada dalam jaminan pendampingan Ilahi. Strategi ini mengubah tantangan hidup modern dari hambatan menjadi peluang pertumbuhan spiritual yang terarah.

 

Senin, 22 September 2025





Syukur: Kunci Ketentraman Hati dan Pintu Rezeki

Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern yang serba cepat dan kompetitif, banyak orang merasa hidupnya kurang. Kurang harta, kurang waktu, kurang penghargaan, atau bahkan merasa kurang dicintai. Perasaan kurang ini perlahan-lahan menggerogoti rasa bahagia dan membawa manusia pada ketidakpuasan yang berkepanjangan. Padahal, jika kita mau sejenak berhenti dan merenung, kita akan menyadari betapa banyak nikmat yang telah Allah berikan dalam kehidupan kita. Rumah yang nyaman, keluarga yang rukun, udara yang segar, tubuh yang sehat, dan iman yang masih terjaga — semua adalah nikmat yang luar biasa besar.

Namun, tidak semua orang mampu melihat dan merasakan nikmat-nikmat itu. Mengapa? Karena hati yang dipenuhi keluh kesah seringkali menutupi pandangan terhadap karunia Allah. Inilah pentingnya bersyukur, sebuah amalan hati dan lisan yang sering kali terlupakan, namun sejatinya adalah kunci ketentraman hidup dan pembuka pintu rezeki.

Makna Syukur dalam Islam

Secara bahasa, syukur berarti memuji atas kebaikan yang diterima. Dalam konteks syariat, syukur adalah pengakuan terhadap nikmat yang diberikan Allah dengan cara menggunakan nikmat tersebut dalam hal-hal yang diridhai-Nya. Bersyukur tidak hanya diucapkan lewat lisan, tapi juga tercermin dalam perbuatan dan sikap hidup.

Allah berfirman dalam Al-Qur'an:

"Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: 'Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.'"
(QS. Ibrahim: 7)

Ayat ini menjadi motivasi yang sangat kuat: syukur adalah jalan menuju pertambahan nikmat. Bahkan, sebaliknya, kufur nikmat bisa mendatangkan azab. Dengan bersyukur, bukan hanya hati kita menjadi tenang, tapi juga Allah akan tambahkan kenikmatan yang lain.

Syukur dalam As-Sunnah

Nabi Muhammad ﷺ adalah contoh terbaik dalam hal bersyukur. Dalam sebuah hadits dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, diceritakan bahwa Rasulullah ﷺ shalat malam hingga kakinya bengkak. Ketika Aisyah bertanya, “Mengapa engkau melakukan ini padahal dosamu telah diampuni, baik yang lalu maupun yang akan datang?” Nabi ﷺ menjawab:

"Apakah aku tidak boleh menjadi hamba yang bersyukur?"
(HR. Bukhari dan Muslim)

Subhanallah, Rasulullah yang sudah dijamin surga dan ampunan saja masih berusaha menjadi hamba yang bersyukur. Bagaimana dengan kita yang penuh kekurangan dan dosa?

Mengapa Kita Harus Bersyukur?

1.     Syukur Membawa Ketenangan Jiwa
Rasa syukur akan membuat hati menjadi lapang dan tidak mudah iri terhadap apa yang dimiliki orang lain. Seorang yang bersyukur akan lebih fokus pada apa yang ia punya, bukan pada apa yang ia tidak punya. Ini adalah modal utama dalam meraih kebahagiaan hakiki.

2.     Syukur Menumbuhkan Optimisme
Dengan bersyukur, seseorang akan menyadari bahwa hidupnya telah diberkahi, sehingga ia tidak mudah putus asa dan tetap bersemangat menjalani hidup, meski dalam kondisi sulit.

3.     Syukur Menjaga Nikmat Tetap Bertahan
Nikmat yang tidak disyukuri bisa saja dicabut. Sebaliknya, nikmat yang disyukuri akan dijaga bahkan ditambah oleh Allah.

4.     Syukur Adalah Ciri Orang Beriman
Dalam Islam, iman dan syukur adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Rasulullah ﷺ bersabda:

"Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya seluruh urusannya adalah kebaikan baginya. Jika ia mendapat kesenangan, ia bersyukur dan itu baik baginya. Jika ia tertimpa kesusahan, ia bersabar dan itu pun baik baginya."
(HR. Muslim)

Artinya, dalam setiap keadaan   senang maupun susah  seorang mukmin selalu berada dalam kebaikan, selama ia bersyukur dan bersabar.

Bagaimana Cara Bersyukur?

1.     Dengan Hati
Mengakui bahwa semua yang kita miliki berasal dari Allah. Tidak sombong, tidak merasa ini hasil kerja keras sendiri, tetapi menyandarkan segalanya kepada kehendak dan rahmat Allah.

2.     Dengan Lisan
Mengucapkan “Alhamdulillah” dalam setiap keadaan. Selain itu, membiasakan berbicara positif dan mendoakan kebaikan bagi orang lain juga bentuk syukur.

3.     Dengan Perbuatan
Menggunakan nikmat yang diberikan Allah untuk kebaikan. Misalnya, tubuh yang sehat digunakan untuk ibadah, harta digunakan untuk membantu sesama, waktu luang digunakan untuk belajar atau berkarya.

Belajar Melihat Sisi Baik

Terkadang, kita terlalu sibuk melihat kehidupan orang lain yang “terlihat” lebih bahagia, lebih kaya, lebih sukses. Kita lupa bahwa apa yang tampak di luar belum tentu mencerminkan kenyataan. Bisa jadi, di balik senyum orang lain, tersembunyi ujian yang berat. Maka, belajar bersyukur juga berarti belajar melihat ke bawah, bukan ke atas.

Rasulullah ﷺ bersabda:

"Lihatlah kepada orang yang berada di bawah kalian (dalam hal dunia), dan jangan melihat kepada yang di atas kalian, agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan kepadamu."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Ini adalah resep kebahagiaan yang sangat dalam. Saat kita membandingkan ke atas, kita akan selalu merasa kurang. Tapi saat kita melihat ke bawah, kita akan merasa cukup dan penuh syukur.

Latihan Syukur Harian

Untuk membantu menumbuhkan rasa syukur, kamu bisa melakukan latihan sederhana setiap hari:

  • Tulislah 3 hal yang kamu syukuri hari ini.
    Misalnya: masih diberi kesehatan, punya sahabat yang baik, atau bisa makan makanan favorit.
  • Luangkan waktu 5 menit untuk merenung sebelum tidur.
    Pikirkan kembali kejadian hari ini dan cari sisi baiknya, sekecil apapun itu.
  • Sampaikan terima kasih kepada orang-orang terdekatmu.
    Ini adalah bentuk nyata syukur sosial yang bisa mempererat hubungan.

Penutup: Nikmat Tuhan Manakah yang Kamu Dustakan?

Allah mengulang ayat dalam Surah Ar-Rahman sebanyak 31 kali:

"Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?"
(QS. Ar-Rahman)

Ini bukan sekadar pertanyaan retoris, tapi tamparan halus bagi kita semua untuk merenung. Sudahkah kita benar-benar bersyukur atas semua yang telah kita miliki?

Syukur bukan tentang memiliki segalanya, tapi tentang menghargai apa yang ada dan mempercayai bahwa Allah selalu memberi yang terbaik. Jangan menunggu semuanya sempurna baru bersyukur. Justru dengan bersyukur, hidup kita akan terasa sempurna.

 

Jumat, 12 September 2025

 


“Pro dan Kontra Filsafat dari Masa ke Masa: Jejak, Kritik, dan Relevansi bagi Umat Islam”

Filsafat sejak awal kehadirannya dalam peradaban Islam telah menjadi medan perdebatan yang tak pernah sepi. Kehadiran karya-karya Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada abad ke-8 hingga ke-9 M membuka babak baru bagi dunia Islam. Tokoh-tokoh seperti al-Kindi, al-Farabi, dan Ibn Sina mencoba meramu pemikiran rasional Yunani dengan ajaran wahyu Islam, sehingga melahirkan tradisi intelektual yang kaya dan beragam. Di satu sisi, filsafat dipandang sebagai alat yang mampu memperkuat akal, mempertajam logika, dan membantu umat Islam menjawab tantangan intelektual pada zamannya. Namun, di sisi lain, filsafat juga menimbulkan keraguan, bahkan kecaman keras dari sebagian ulama, karena dianggap berpotensi menyalahi prinsip akidah Islam dan mendahulukan akal di atas wahyu.

Perdebatan ini melahirkan dinamika panjang dalam sejarah Islam, dari masa klasik hingga era modern. Sebagian ulama, seperti Al-Ghazali, menegaskan pentingnya membatasi filsafat agar tidak menjerumuskan umat dalam kesesatan, sementara tokoh lain seperti Ibn Rushd melihat filsafat sebagai jalan untuk memahami wahyu secara lebih mendalam. Bahkan hingga hari ini, diskursus mengenai posisi filsafat dalam Islam terus berlanjut. Ada yang menekankan manfaatnya bagi pendidikan, sains, dan dialog lintas peradaban, namun tidak sedikit pula yang menyoroti bahayanya jika dipelajari tanpa landasan iman yang kokoh. Pertarungan gagasan inilah yang membuat filsafat menjadi tema yang selalu aktual dan menarik untuk dikaji secara seimbang, baik dari sisi pendukung maupun penentangnya.

  • Filsafat (falasifah, falsafa) dalam dunia Islam berkembang pesat sejak abad ke-8–9 M, ketika karya-karya Yunani (Aristoteles, Plato, Neoplatonik) diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan muslim intelektual seperti al-Kindi, al-Farabi, dan Ibnu Sina mencoba mengharmoniskan antara akal Yunani dan wahyu Islam.
  • Tetapi tak lama kemudian muncul pula kritik dari kalangan teolog (ahli kalam) dan ulama terhadap aspek-aspek filsafat yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam menurut mereka.

Pandangan yang Membolehkan atau Mendukung Filsafat

Berikut beberapa argumen dan tokoh yang mendukung keberadaan filsafat dalam Islam:

  1. Kaum Mu’tazilah
    • Kelompok ini menekankan peran akal dalam memahami agama. Mereka menggunakan argumentasi rasional untuk membela doktrin Islam terhadap kritik maupun persoalan teologis. Journal 3 UIN Alauddin
    • Bagi mereka, akal bukanlah musuh wahyu, melainkan alat untuk memperjelas dan mempertahankan ajaran agama. Ejournal UNIDA Gontor+1
  2. Tokoh Filsuf Muslim Besar
    • Al-Farabi, Ibnu Sina dan lainnya sering dianggap sebagai yang berhasil membawa filsafat ke dalam wacana Islam, terutama dalam metafisika, etika, dan logika, serta dalam usaha memahami sifat Tuhan dan alam.
    • Ibn Rushd (Averroes) adalah tokoh yang secara eksplisit membela filsafat. Karyanya The Incoherence of the Incoherence (Tahāfut al-Tahāfut) merupakan jawaban atas kritik Al-Ghazali, dan ia menyatakan bahwa tidak ada pertentangan antara agama dan filsafat jika filsafat ditempatkan pada porsinya yang benar. ejurnal.staimaarif.ac.id+2Ejournal UNIDA Gontor+2
  3. Manfaat Studi Filsafat
  4. Pembatasan, bukan Penghapusan
    • Banyak pendukung filsafat bukanlah pendukung tanpa syarat; mereka mengakui bahwa filsafat harus dipandu oleh wahyu dan tetap berada dalam koridor akidah Islam. Akal boleh digunakan, tapi tidak boleh menggantikan wahyu dalam hal-hal gaib (hakikat Tuhan, hari akhir, dll). Ejournal UNIDA Gontor+1

 

Pandangan yang Menolak atau Membatasi Filsafat

Berikut argumen-argumen dan tokoh yang mengkritik filsafat, membatasi penggunaannya, atau menolak aspek-aspek tertentu.

  1. Al-Ghazali
    • Karyanya Tahafut al-Falasifah (The Incoherence of the Philosophers) (± 1095 M) sangat terkenal sebagai kritik terhadap filsuf seperti al-Farabi dan Ibnu Sina, terutama terhadap doktrin-doktrin metafisika yang dianggap bertentangan dengan Islam. Wikipedia+2Jurnal Ar-Raniry+2
    • Beberapa hal yang dikritik oleh Al-Ghazali antara lain: kekekalan alam (bahwa alam itu “qadim”, tidak diciptakan secara temporer), pengetahuan Tuhan terhadap hal-hal khusus (partikular), dan kebangkitan jasmani (bahwa hanya jiwa yang kebangkitan, bukan badan). Journal 3 UIN Alauddin+3jurnal.iaibafa.ac.id+3Ejournal UNIDA Gontor+3
    • Bukan seluruh filsafat dia tolak, tetapi metafisika yang menyimpang dianggap perlu dikritik agar tidak mengganggu akidah. Ejournal UNIDA Gontor+1
  2. Kaum Tradisional dan Salaf
    • Ada kelompok ulama yang lebih menyukai pendekatan yang sangat hati-hati terhadap penggunaan akal, terutama dalam hal-hal yang berkaitan dengan sifat Tuhan dan hal-hal gaib, dengan takut bahwa filsafat dapat menjerumuskan kepada penyimpangan dari wahyu.
    • Mereka sering menolak penggunaan filsafat Yunani secara bebas, terutama apabila memuat unsur-unsur yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
  3. Argumen Umum Penolakan / Batasan
    • Risiko bertentangan dengan wahyu: bila filsafat mengklaim sesuatu yang secara jelas ditegaskan dalam Al-Qur’an atau Hadis, bisa terjadi konflik.
    • Karena filsafat bersifat spekulatif: tidak semua ide filsafat dapat dibuktikan secara empiris maupun diturunkan melalui wahyu, sehingga bisa menjadi sumber keraguan jika tak hati-hati.
    • Kepenyalahgunaan: kadang filsafat digunakan untuk membela penafsiran yang liberal atau menolak aspek keagamaan yang dianggap tak rasional oleh sebagian orang.

Tokoh-Sentral dalam Debat Ini

  1. Al-Ghazali (1058-1111 M)
    • Kritik tajam terhadap filosof. Tetapi dia sendiri mengakui manfaat ilmu yang bersifat matematis dan logika, selama tidak keluar dari batas wahyu. Jurnal Ar-Raniry+2Ejournal UNIDA Gontor+2
    • Dia bukan menolak akal secara keseluruhan itu kekeliruan pemahaman umum melainkan menolak klaim filsafat bahwa akal filsafat bisa menggantikan wahyu dalam penentuan kebenaran teologis. Ejournal UNIDA Gontor+1
  2. Ibn Rushd (Averroes, 1126-1198 M)
    • Sangat mendukung bahwa ada harmoni antara agama dan filsafat. Dia menulis untuk menunjukkan bahwa metodologi filsafat (terutama Aristotelian) bisa bekerja dalam kerangka Islam. ejurnal.staimaarif.ac.id+1
  3. Kaum Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah
    • Mu’tazilah lebih terbuka terhadap akal dan rasionalisme dalam banyak hal. Asy’ariyah dan Maturidiyah meskipun lebih konservatif, tetap menggunakan rasionalitas untuk mempertahankan akidah dan menjawab tantangan eksternal. Journal 3 UIN Alauddin+1
  4. Pemikir Kontemporer
    • Orang seperti Muhammad Iqbal, Syed Muhammad Naquib al-Attas dan lain-lain, yang berusaha mengintegrasikan filsafat dan pendidikan Islam modern. Ejournal UNIDA Gontor

Refleksi

  • Filsafat dalam Islam tidak bisa dianggap hitam-putih: bukan hanya ‘boleh’ atau ‘haram’, tetapi lebih pada bagaimana, di mana, dan oleh siapa filsafat itu dikaji dan dipraktikkan.
  • Yang penting adalah menjaga agar filsafat tidak menggantikan wahyu dan akidah, tapi menjadi alat bantu yang memperkaya, bukan melemahkan iman.
  • Bagi mereka yang kurang mendalam dalam ilmu agama, belajar filsafat harus dilakukan dengan hati-hati dan bimbingan yang baik agar tidak salah kaprah.
  • Filsafat tetap sangat relevan hari ini: untuk pendidikan, dialog budaya, memahami ide-ide modern, sains, etika, hak asasi manusia, dan lain-lain.