Menyucikan Jiwa di Tengah Derasnya Arus Informasi: Perspektif Tazkiyatun Nafs dan Psikologi Muslim
Di era digital yang serba
cepat ini, kita dibombardir oleh informasi dari segala penjuru. Notifikasi
ponsel tak pernah henti berdering, media sosial menyajikan jutaan konten setiap
detiknya, dan berita-berita terbaru silih berganti. Dalam hiruk pikuk ini, lisan
kita, baik dalam bentuk ucapan langsung maupun ketikan jemari, memiliki
kekuatan yang luar biasa. Sayangnya, tidak jarang lisan ini justru menjadi
pedang bermata dua yang melukai, menyebarkan keburukan, bahkan meruntuhkan
sendi-sendi keimanan.
Pernahkah terbesit dalam
benak kita, betapa besarnya dampak lisan yang tidak terjaga? Sebagaimana
ungkapan yang menyentuh hati, "Demi Allah, tiada ilah selain Dia, di muka
bumi ini yang paling layak dipenjara seumur hidupnya adalah lisan yang tidak
terjaga." Ungkapan ini, meskipun bukan dalam konteks hukum formal, secara
mendalam menggambarkan betapa krusialnya peran lisan dan konsekuensi spiritual
serta sosial yang ditimbulkannya.
Dalam tradisi Islam, konsep
Tazkiyatun Nafs atau penyucian jiwa memegang peranan sentral. Ini adalah
upaya membersihkan hati dari sifat-sifat tercela dan menghiasinya dengan
sifat-sifat terpuji. Lisan, sebagai cerminan hati, sangat dipengaruhi oleh
kondisi batiniah seseorang. Jika hati bersih dan dipenuhi kebaikan, lisan akan
cenderung berkata yang baik. Sebaliknya, hati yang kotor akan memuntahkan
perkataan yang buruk.
Imam Al-Ghazali, salah satu
ulama terbesar dalam sejarah Islam, dalam karyanya Ihya' Ulumiddin,
banyak membahas tentang penyakit-penyakit hati dan cara mengobatinya. Beliau
menjelaskan bahwa sifat-sifat buruk seperti riya' (pamer), hasad (iri dengki),
ujub (kagum pada diri sendiri), dan ghibah (menggunjing), semuanya bermula dari
hati yang sakit dan seringkali termanifestasi melalui lisan. Maka, kunci utama
dalam menjaga lisan adalah dengan senantiasa membersihkan dan menyucikan hati.
Para ulama dan ahli hadis
sepanjang sejarah Islam sangat menekankan pentingnya menjaga lisan. Mereka
memahami betul bahwa lisan adalah gerbang utama bagi kebaikan dan keburukan.
Salah satu hadis Nabi
Muhammad SAW yang paling sering dikutip adalah: "Barang siapa beriman
kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam."
(HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini adalah pondasi utama dalam etika berbicara.
Ia mengajarkan prinsip dasar: jika perkataan kita tidak membawa kebaikan, maka
lebih baik diam. Diam di sini bukanlah pasif, melainkan sebuah bentuk kontrol
diri dan kebijaksanaan.
Imam An-Nawawi, seorang
ahli hadis terkemuka, dalam syarahnya atas hadis ini, menjelaskan bahwa diam
itu sendiri adalah ibadah. Terkadang, diam jauh lebih mulia daripada berbicara
yang tidak bermanfaat. Beliau juga mengingatkan bahwa setiap perkataan akan
dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT.
Selain itu, para ulama juga
memperingatkan tentang bahaya fitnah dan ghibah. Al-Qur'an secara tegas
melarang ghibah, bahkan menyamakannya dengan memakan daging saudaranya yang
sudah mati. Ini menunjukkan betapa menjijikkannya perbuatan tersebut di mata
Allah. Lisan yang gemar bergosip, menyebarkan berita bohong, atau mengadu
domba, sejatinya sedang mengumpulkan dosa-dosa besar yang akan memberatkan
timbangan amal di akhirat kelak.
Pendekatan Psikologi
Muslim: Memahami Mekanisme Batin
Psikologi Muslim adalah
bidang yang mengintegrasikan prinsip-prinsip Islam dengan ilmu psikologi
modern. Dalam konteks menjaga lisan, pendekatan ini menawarkan kerangka kerja
yang komprehensif untuk memahami mengapa seseorang sulit mengendalikan lisannya
dan bagaimana cara mengatasinya.
Dari perspektif psikologi
Muslim, lisan yang tidak terjaga seringkali merupakan gejala dari ketidakseimbangan
batin. Emosi negatif seperti kemarahan, frustrasi, kecemburuan, atau rendah
diri, jika tidak dikelola dengan baik, dapat memicu perkataan yang impulsif dan
merugikan.
Dr. Malik
Badri, salah satu pionir psikologi Muslim
kontemporer, banyak menyoroti bagaimana konsep-konsep Islam seperti tawakkul
(berserah diri kepada Allah), sabr (kesabaran), dan syukur
(bersyukur), berperan penting dalam membangun ketahanan mental dan emosional.
Seseorang yang memiliki tawakkul yang kuat cenderung lebih tenang dan
tidak mudah terpancing untuk berbicara buruk, bahkan dalam situasi provokatif.
Pendekatan psikologi Muslim
juga mendorong kita untuk melakukan muhasabah an-nafs (introspeksi diri)
secara rutin. Dengan menyadari pola-pola pikiran dan emosi kita, kita dapat
mengidentifikasi pemicu-pemicu yang membuat lisan kita tergelincir. Misalnya,
apakah kita cenderung bergosip ketika merasa bosan? Atau marah ketika merasa
diremehkan? Dengan mengenali pemicu ini, kita dapat mengembangkan strategi
untuk meresponsnya dengan lebih bijak, alih-alih membiarkan emosi menguasai
lisan.
Fadilah Amal dan Kesehatan
Spiritual Islami: Buah Lisan yang Terjaga
Menjaga lisan bukan hanya
tentang menghindari dosa, melainkan juga tentang meraih fadilah amal (keutamaan perbuatan baik) yang besar dan mencapai kesehatan spiritual yang prima. Dalam
Islam, setiap perkataan baik adalah sedekah.
Rasulullah SAW bersabda: "Senyummu di hadapan saudaramu adalah
sedekah, dan memerintahkan kepada yang ma’ruf serta melarang dari yang mungkar
adalah sedekah, dan menunjukkan jalan kepada seseorang di jalan adalah sedekah,
dan menyingkirkan batu, duri, dan tulang dari jalan adalah sedekah, dan engkau
menuangkan air dari timbamu ke dalam wadah saudaramu adalah sedekah."
(HR. Tirmidzi). Hadis ini secara eksplisit menyebutkan bahwa perkataan baik,
seperti memerintahkan kebaikan atau memberi petunjuk, adalah bentuk sedekah
yang mendatangkan pahala.
Lisan yang senantiasa
berzikir, mengucapkan salam, memuji Allah, dan mendoakan kebaikan bagi sesama,
akan menjadi sumber pahala yang terus mengalir. Ini adalah investasi spiritual
yang tidak ada habisnya. Sebaliknya, lisan yang kotor akan menguras pahala dan
memberatkan timbangan dosa.
Dari sisi kesehatan
spiritual, menjaga lisan adalah salah satu pilar utama. Jiwa yang sehat adalah
jiwa yang tenang, bersih, dan senantiasa terhubung dengan Allah. Lisan yang
terjaga mencerminkan hati yang tenteram dan pikiran yang jernih. Ketika kita
berbicara baik, kita tidak hanya menyejukkan hati orang lain, tetapi juga
menenangkan jiwa kita sendiri.
Seseorang yang gemar
berkata kotor, berbohong, atau menyebarkan kebencian, akan merasakan
kegelisahan batin dan kekosongan spiritual. Hatinya akan menjadi keras, jauh
dari ketenangan yang dijanjikan oleh iman. Sebaliknya, lisan yang jujur,
santun, dan penuh kasih sayang akan menumbuhkan kedamaian batin, meningkatkan
kepercayaan diri, dan memperkuat hubungan dengan Sang Pencipta. Ini adalah inti
dari kesehatan spiritual: selarasnya hati, lisan, dan perbuatan dengan ajaran
Illahi.
Membangun Lisan yang
Bertakwa: Integrasi Praktis
Untuk membangun lisan yang bertakwa dan terjaga, kita dapat
mengintegrasikan ketiga pendekatan ini dalam kehidupan sehari-hari:
- Prioritaskan
Tazkiyatun Nafs: Jadikan penyucian
hati sebagai prioritas utama. Perbanyak dzikir, membaca Al-Qur'an, qiyamul
lail (salat malam), dan merenungkan kebesaran Allah. Hadiri majelis ilmu
untuk menambah pemahaman agama dan menguatkan iman.
- Teladani Para Ulama
dan Ahli Hadis: Pelajari sirah
(biografi) para ulama dan bagaimana mereka menjaga lisan. Amalkan
hadis-hadis tentang keutamaan menjaga lisan dan bahaya lisan yang tidak
terjaga. Ingatlah selalu bahwa setiap kata yang terucap akan
dipertanggungjawabkan.
- Manfaatkan Pendekatan
Psikologi Muslim: Lakukan introspeksi
diri secara teratur. Identifikasi emosi negatif yang mungkin memicu
perkataan buruk dan pelajari cara mengelolanya. Latih kesabaran (sabr)
dan syukur (syukur) sebagai perisai mental. Jika perlu, cari
bimbingan dari profesional yang memahami psikologi dari perspektif Islam.
- Terapkan Prinsip
"Berpikir Sebelum Berbicara":
Sebelum mengucapkan sesuatu atau mengetik pesan, tanyakan pada diri
sendiri: Apakah perkataan ini benar? Apakah bermanfaat? Apakah akan
menyakiti orang lain? Apakah akan mendekatkan saya kepada Allah?
Lisan adalah anugerah
sekaligus amanah. Kekuatan lisan sangat dahsyat, mampu membangun dan
menghancurkan. Di tengah riuhnya kehidupan modern, tantangan untuk menjaga
lisan semakin besar. Namun, dengan menginternalisasi nilai-nilai Tazkiyatun
Nafs, meneladani ajaran para ulama dan ahli hadis, memanfaatkan wawasan dari
psikologi Muslim, serta memahami fadilah amal dan kesehatan spiritual Islami,
kita dapat melatih diri untuk memiliki lisan yang bertakwa, lisan yang menjadi
sumber kebaikan, bukan kehancuran.
Maka, marilah kita
senantiasa berikhtiar untuk "memenjarakan" lisan yang tidak terjaga,
bukan dengan belenggu besi, melainkan dengan ikatan iman, takwa, dan
kebijaksanaan, demi meraih ridha Allah SWT dan keselamatan di dunia maupun
akhirat.