Ruang Kuliah Bukan Satu-Satunya Sumber Pengetahuan: Menemukan Makna Pendidikan Sejati
Banyak orang masih
beranggapan bahwa pendidikan tinggi identik dengan ruang kuliah, silabus, dan
perkuliahan formal. Padahal, ruang kuliah sejatinya hanyalah titik awal dari
perjalanan intelektual seseorang, bukan tujuan akhir. Seperti pepatah,
"kelas adalah peta, bukan wilayah itu sendiri." Ruang kuliah hanya
memberikan kerangka dasar, sedangkan pemahaman sejati justru lahir dari
pengalaman yang lebih luas: membaca buku di luar silabus, berdiskusi lintas
perspektif, terlibat dalam organisasi, hingga terjun langsung ke masyarakat.
Pengetahuan:
10% dari Kuliah, 90% dari Kehidupan Nyata
Ruang kuliah mungkin hanya
menyumbang sekitar 10% dari pengetahuan, karena apa yang diajarkan dosen
sering kali terbatas pada teori, konsep, atau studi kasus yang sudah
terstruktur. Namun, 90% lainnya harus dicari di luar ruang kuliah,
melalui interaksi dengan dunia nyata.
Buku di luar bacaan wajib
membuka cakrawala baru yang tidak selalu sempat dibahas di kelas. Diskusi
lintas pemikiran melatih mahasiswa untuk beradu argumen dengan sehat,
memperkaya perspektif, dan memahami keragaman sudut pandang. Organisasi
mahasiswa melatih kepemimpinan, manajemen konflik, serta kemampuan bekerja
sama. Terjun langsung ke masyarakat mempertemukan mahasiswa dengan realitas:
kemiskinan, ketidakadilan, sekaligus potensi besar rakyat yang sering tak
tersentuh.
Dalam titik inilah, ilmu
berhenti menjadi "hafalan kering" dan menjelma menjadi kesadaran
kritis.
Kritik
terhadap Rutinitas Akademik Formal
Tidak sedikit mahasiswa
yang merasa cukup dengan rutinitas akademik formal: hadir di kelas, mengerjakan
tugas, lalu berharap pada nilai ujian. Padahal, jika hanya mengandalkan
rutinitas itu, ilmu sering kali menjadi kaku, kering, dan kehilangan relevansinya
dengan kehidupan nyata.
Misalnya, apakah ekonomi
hanya berhenti pada grafik dan rumus pertumbuhan? Ataukah ekonomi juga berarti
memahami penderitaan rakyat kecil, pedagang kaki lima yang digusur, atau petani
yang terjebak harga pupuk mahal? Apakah hukum hanya sekadar teks undang-undang
yang dihafalkan? Atau justru harus dihidupi sebagai perjuangan menegakkan
keadilan di tengah masyarakat?
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini hanya bisa
terjawab bila mahasiswa berani keluar dari zona nyaman ruang kuliah.
Pendidikan
Sejati: Membentuk Kesadaran Kritis
Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan
Nasional, pernah mengatakan:
"Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran,
serta jasmani anak-anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup mereka, selaras
dengan dunianya."
Pernyataan ini menegaskan bahwa pendidikan
bukan hanya soal transfer ilmu, melainkan soal pembentukan manusia seutuhnya.
Paulo Freire, tokoh
pendidikan asal Brasil, dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed juga
menekankan bahwa pendidikan sejati adalah pendidikan yang membebaskan. Ia
menolak model pendidikan "gaya bank" (banking education), di mana
dosen hanya "menabungkan" pengetahuan ke dalam diri mahasiswa yang
dianggap sebagai "rekening kosong." Sebaliknya, pendidikan harus
dialogis, kritis, dan membuat peserta didik sadar akan realitas sosialnya.
Dengan demikian, membaca
buku di luar silabus, berdiskusi lintas pemikiran, serta berinteraksi langsung
dengan rakyat bukan sekadar aktivitas tambahan. Itu adalah bagian dari pendidikan
sejati, yaitu pendidikan yang membentuk kesadaran kritis dan empati.
Teori
Bertemu Praktik
Seorang mahasiswa bisa saja
sangat fasih menjelaskan teori-teori sosial di ruang kelas. Namun, apakah teori
itu relevan ketika dihadapkan pada realitas di lapangan?
Contohnya, teori
pembangunan ekonomi yang indah di atas kertas mungkin menyebutkan pentingnya
industrialisasi. Namun ketika mahasiswa terjun ke desa, mereka bisa melihat
bahwa industrialisasi yang tidak berpihak justru memiskinkan petani karena
tanahnya tergusur. Teori hukum bisa menjelaskan asas keadilan, tetapi
pengalaman nyata memperlihatkan bahwa hukum sering kali tajam ke bawah dan
tumpul ke atas.
Dengan terjun ke luar,
teori menemukan wajahnya yang sesungguhnya. Ilmu menjadi hidup, dinamis, dan
berakar pada realitas.
Peran
Buku, Diskusi, dan Organisasi
- Buku
Membaca buku di luar silabus adalah jalan menuju kebebasan berpikir. Buku bukan hanya menambah informasi, tetapi juga membuka jendela terhadap pemikiran-pemikiran baru. Dari buku, mahasiswa belajar sejarah panjang perjuangan manusia, ide-ide besar filsafat, hingga strategi praktis menghadapi persoalan hidup. - Diskusi
Diskusi lintas pemikiran melatih mahasiswa untuk tidak merasa benar sendiri. Diskusi adalah wadah untuk mendengar, menyanggah, dan mencari titik temu. Di sini mahasiswa belajar keterampilan argumentasi, logika, sekaligus empati intelektual. - Organisasi
Berorganisasi bukan sekadar soal mengisi CV, melainkan laboratorium sosial. Di dalamnya, mahasiswa belajar kepemimpinan, manajemen konflik, serta seni menggerakkan orang lain. Tidak sedikit pemimpin besar lahir dari pengalaman berorganisasi di masa kuliahnya. - Terjun ke Masyarakat
Interaksi langsung dengan rakyat adalah ujian paling nyata bagi intelektual. Dari sinilah lahir kesadaran bahwa ilmu bukan hanya milik kampus, tetapi juga alat perjuangan untuk kehidupan yang lebih adil.
Intelektual
Sejati vs. Lulusan Berijazah
Ada perbedaan mendasar antara sekadar lulusan
berijazah dan intelektual sejati.
- Lulusan berijazah merasa cukup dengan gelar. Ia puas dengan
rutinitas akademik formal.
- Intelektual sejati berani keluar dari zona nyaman, mencari ilmu
di luar kelas, dan menguji pengetahuan dengan kenyataan.
Gelar bisa diperoleh dari ruang kuliah,
tetapi kebijaksanaan hanya bisa lahir dari keberanian untuk keluar, belajar
dari kenyataan, dan berjuang bersama rakyat.
Pendidikan
Sebagai Jalan Perjuangan
Pendidikan sejati harus dilihat sebagai jalan
perjuangan. Mahasiswa bukan hanya calon pekerja, tetapi calon pemimpin bangsa.
Mereka memikul tanggung jawab untuk menggunakan ilmunya demi kemaslahatan
banyak orang.
Seperti kata Pramoedya Ananta Toer:
"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia
akan hilang dari masyarakat dan sejarah."
Ungkapan ini bisa diperluas: orang boleh
kuliah setinggi apapun, tetapi selama ia tidak menghubungkan ilmunya dengan
kehidupan nyata masyarakat, maka ilmunya akan kering, tak bermakna.
Penutup
Ruang kuliah memang
penting, tetapi hanya titik awal. Pendidikan sejati lahir dari keberanian untuk
keluar, membaca lebih banyak, berdiskusi lebih luas, berorganisasi lebih aktif,
dan menyatu dengan denyut nadi masyarakat.
Dengan cara itu, ilmu tidak
berhenti pada teori, tetapi menemukan makna konkret dalam kenyataan sosial.
Dari sana lahirlah intelektual sejati, bukan sekadar lulusan berijazah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar