Keimanan: Fondasi Ketenteraman Jiwa dalam Perspektif Ulama Tazkiyatun Nafs
Setiap insan pasti pernah merasakan gelisah, cemas, dan gundah gulana.
Dunia ini memang ladang ujian dan liku kehidupan yang bisa mengoyak ketenangan
batin. Namun, Islam telah menghadirkan solusi tak tergantikan untuk mengatasi
keresahan tersebut: keimanan kepada
Allah. Lebih dari sekadar dogma, keimanan adalah fondasi utama untuk
mencapai ketenteraman jiwa, sebuah konsep yang telah diuraikan secara mendalam
oleh para ulama ahli tazkiyatun nafs.
1. Keimanan
Menghapus Keresahan: Kedalaman Tauhid dan Dzikrullah
Keimanan bukan sekadar pernyataan lisan, melainkan keyakinan yang
mengakar dalam hati dan dibuktikan dengan amal. Seseorang yang beriman, yakin
bahwa apa pun yang terjadi di dunia ini, semuanya atas kehendak Allah. Ia tidak
dikuasai oleh ketakutan terhadap dunia, karena ia tahu bahwa Allah-lah tempat
bersandar yang sejati.
Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah dalam karyanya Madarij as-Salikin
menjelaskan bahwa keresahan (khalq) pada dasarnya berasal dari kekosongan hati
dari ma'rifatullah (mengenal Allah) dan mahabbatullah (mencintai
Allah). Ketika hati tidak dipenuhi dengan pengenalan dan cinta kepada Sang
Pencipta, ia akan mencari ketenteraman pada selain-Nya, yang pada akhirnya
hanya akan menimbulkan kegelisahan lebih lanjut.
Allah Ta'ala berfirman:
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram
dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi
tenteram.”
(QS. Ar-Ra'd: 28)
Ayat ini menegaskan bahwa hati yang resah akan mendapatkan ketenteraman
melalui dzikrullah bentuk nyata
dari keimanan dan kedekatan dengan Rabb semesta alam. Bagi para ulama tazkiyatun
nafs seperti Imam Al-Ghazali,
dzikrullah bukan hanya sekadar mengulang-ulang kalimat tayyibah,
melainkan kehadiran hati bersama Allah, merasakan pengawasan-Nya, dan mengingat
keagungan-Nya. Ketika seseorang konsisten dalam dzikrullah dengan
kehadiran hati, ia akan menemukan bahwa kegelisahan duniawi mulai memudar,
digantikan oleh rasa aman dan damai yang berasal dari hubungan yang kokoh
dengan Allah.
2. Keimanan
Melenyapkan Kegundahan: Perspektif Taqdir dan Ridha
Rasa gundah biasanya muncul karena kekhawatiran terhadap masa depan,
kehilangan sesuatu yang dicintai, atau beban hidup yang berat. Namun bagi orang
yang beriman, ia akan melihat segala hal dalam perspektif takdir dan hikmah.
Imam An-Nawawi dalam syarahnya atas hadis berikut:
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Semua urusannya adalah baik.
Jika ia diberi kesenangan, ia bersyukur, maka itu baik baginya. Jika ia ditimpa
musibah, ia bersabar, maka itu juga baik baginya.”
(HR. Muslim)
menekankan bahwa hadis ini menunjukkan betapa istimewanya kedudukan
seorang mukmin yang memiliki keyakinan
penuh pada takdir Allah. Seorang mukmin memahami bahwa setiap peristiwa,
baik yang menyenangkan maupun yang menyedihkan, adalah bagian dari ketetapan
Allah yang Maha Bijaksana. Sikap ridha
(menerima dengan lapang dada) atas takdir Allah adalah puncak dari
keimanan yang menghilangkan kegundahan.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa ridha adalah salah satu
maqam (tingkatan spiritual) tertinggi. Ridha berarti jiwa tidak merasakan
penolakan terhadap apa yang Allah takdirkan, bahkan jika itu terasa pahit. Ini bukan
berarti pasrah tanpa berusaha, melainkan menerima hasil akhir setelah
berikhtiar semaksimal mungkin, dengan keyakinan bahwa Allah Maha Tahu apa yang
terbaik bagi hamba-Nya. Inilah kekuatan keimanan: mengubah musibah menjadi
pahala, mengganti kegundahan dengan keteguhan, dan menenangkan jiwa dalam
setiap keadaan.
3. Keimanan adalah
Kesenangan yang Diburu Para Ahli Tauhid: Kekosongan Hati dan Pengisiannya
Bagi para pecinta tauhid — yang senantiasa menjaga kemurnian penghambaan
hanya kepada Allah — keimanan adalah harta terbesar yang selalu diburu. Mereka
bukanlah pemburu dunia, melainkan pemburu cahaya iman.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
“Dalam hati manusia ada kekosongan yang tidak bisa diisi kecuali dengan mencintai
Allah, menghadap kepada-Nya, dan terus mengingat-Nya. Jika hati tidak diisi
dengan hal tersebut, maka ia akan tersiksa dengan hal-hal selain-Nya.”
Pernyataan ini adalah inti dari pemahaman tazkiyatun nafs. Dunia
dengan segala kenikmatan dan gemerlapnya tidak akan pernah mampu memberi
kepuasan hakiki pada hati manusia. Hanya iman dan tauhid murni yang bisa
mengisi kekosongan tersebut dan menghadirkan kebahagiaan sejati. Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, seorang
sufi besar, sering menekankan bahwa fokus utama seorang hamba adalah
membersihkan hati dari keterikatan pada selain Allah. Ketika hati murni dari
syirik (menyekutukan Allah) dan dipenuhi dengan tauhid, barulah ia merasakan
kelezatan iman yang tak tertandingi.
Para ahli tauhid memahami bahwa mengejar kenikmatan dunia adalah seperti
minum air asin, semakin diminum semakin haus. Sementara itu, kelezatan iman
adalah seperti air tawar yang menghilangkan dahaga. Mereka mencari kesenangan
yang abadi, yaitu kedekatan dengan Allah, yang hanya dapat diraih melalui iman
yang kokoh dan tauhid yang murni.
4. Keimanan adalah
Hiburan bagi Ahli Ibadah: Kesenangan Batiniah
Para ahli ibadah menjadikan keimanan sebagai hiburan jiwa. Mereka tidak
bersedih ketika dunia menjauh, karena mereka telah dekat dengan Rabb mereka.
Mereka merasakan kelezatan dalam sujud, kesyahduan dalam dzikir, dan
kebahagiaan dalam amal shalih.
Imam Ibnu Taimiyah pernah berkata:
“Apa yang bisa diperbuat musuh-musuhku terhadapku? Surga dan
kebahagiaanku ada di hatiku. Bila aku dipenjara, itu adalah khalwat bagiku
bersama Tuhanku. Bila aku dibunuh, itu adalah syahadah bagiku. Dan bila aku
diusir, itu adalah rekreasi bagiku.”
Ucapan ini bukan sekadar retorika, tapi lahir dari keimanan yang kokoh
dan mendalam. Hati yang dipenuhi iman tidak mudah goyah oleh keadaan eksternal.
Imam Al-Junayd Al-Baghdadi,
salah satu tokoh sufi terkemuka, mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati bukanlah
pada harta atau jabatan, melainkan pada kemurnian hati dan kedekatan dengan
Allah. Ketika hati telah mencicipi manisnya iman dan ibadah, cobaan duniawi
terasa ringan. Mereka menemukan kenikmatan spiritual yang melebihi segala kenikmatan
dunia, sehingga mereka tidak lagi bergantung pada dunia untuk kebahagiaan
mereka. Bahkan dalam kesulitan, mereka menemukan hiburan dalam mengingat Allah
dan menjalankan perintah-Nya.
5. Jalan Menuju
Ketenteraman: Menghidupkan Iman (Tazkiyatun Nafs Praktis)
Keimanan bukanlah sesuatu yang statis. Ia naik dan turun, tergantung
usaha kita dalam memeliharanya. Para ulama ahli tazkiyatun nafs telah
merumuskan berbagai cara untuk menghidupkan iman agar keresahan dan kegundahan
hilang dari hati.
- Bertauhid secara murni dan menjauhi segala bentuk syirik: Ini adalah fondasi. Imam Muhammad bin Abdul Wahhab
dan para ulama dakwah tauhid sangat menekankan pentingnya membersihkan
diri dari segala bentuk syirik, baik syirik akbar maupun syirik asghar.
Hati yang bersih dari syirik akan dipenuhi cahaya tauhid, yang merupakan
sumber utama ketenangan.
- Menunaikan shalat dengan khusyuk: Shalat adalah mi'rajnya mukmin. Imam Al-Ghazali dalam Minhajul
Abidin menjelaskan khusyuk sebagai kehadiran hati, kesadaran akan
keagungan Allah, dan rasa malu di hadapan-Nya. Shalat yang khusyuk akan
membersihkan jiwa dan menenangkan hati dari hiruk pikuk dunia.
- Berdzikir dan membaca Al-Qur’an setiap hari: Imam Nawawi dalam Al-Adzkar
mengumpulkan berbagai dzikir yang dianjurkan. Dzikrullah adalah
makanan hati. Membaca Al-Qur'an dengan tadabbur (perenungan) akan membawa
petunjuk dan ketenangan. Syaikh
Abdurrahman As-Sa'di sering menganjurkan untuk merenungi makna
ayat-ayat Al-Qur'an agar iman semakin kokoh.
- Bersahabat dengan orang-orang shalih: Lingkungan sangat mempengaruhi iman. Imam Ahmad bin Hanbal sering
menekankan pentingnya mencari teman-teman yang dapat mengingatkan kita
kepada Allah dan ketaatan. Mereka adalah cerminan bagi kita untuk
senantiasa memperbaiki diri.
- Menghadiri majelis ilmu: Majelis ilmu adalah taman-taman surga di
dunia. Imam Malik sering
menganjurkan untuk belajar agama agar pemahaman tentang iman semakin
mendalam. Ilmu akan menguatkan keyakinan dan menghilangkan keraguan yang
sering menjadi sumber kegelisahan.
- Bertawakal kepada Allah dan ridha atas takdir-Nya: Imam Ibnul Qayyim mengulas tuntas
tentang tawakal dalam banyak karyanya. Tawakal adalah menyerahkan segala
urusan kepada Allah setelah berikhtiar semaksimal mungkin, dengan keyakinan
bahwa Allah akan memberikan yang terbaik. Ridha adalah buah dari tawakal.
Seperti yang disebutkan oleh Imam
Al-Ghazali:
“Ketika iman telah memenuhi hati, maka dunia menjadi kecil di hadapanmu
dan akhirat menjadi cita-cita tertinggimu.”
Pernyataan ini menggambarkan transformasi batin yang terjadi ketika iman
menguat. Prioritas hidup seseorang akan bergeser dari kenikmatan dunia yang
fana menuju kebahagiaan abadi di akhirat, yang pada gilirannya membawa
ketenangan dalam menjalani kehidupan dunia.
Penutup: Iman
Adalah Obat Jiwa Universal
Ketika dunia menyesakkan, ketika masalah tak kunjung reda, ketika hati
terasa gundah gulana, maka kembalilah kepada keimanan. Karena iman bukan hanya
teori, tetapi energi spiritual yang mampu membangkitkan harapan, menenangkan
hati, dan menuntun kita ke jalan kebaikan.
Keimanan adalah pelita yang menyinari lorong gelap kehidupan. Ia bukan
sekadar keyakinan, tapi juga kebahagiaan. Maka siapa yang ingin meraih
ketenteraman, milikilah iman, peliharalah ia, dan perkuatlah setiap hari.
"Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik." (QS. An-Nahl: 97)
Ayat ini adalah janji Allah yang pasti. Kehidupan yang baik (hayatan
thayyibah) bukanlah berarti bebas dari ujian, melainkan kehidupan yang
dipenuhi ketenangan batin, kebahagiaan, dan keberkahan, terlepas dari kondisi
eksternal. Ini adalah buah dari iman yang sejati dan amalan saleh yang
menyertainya, sebagaimana yang telah diajarkan dan diamalkan oleh para ulama
ahli tazkiyatun nafs sepanjang sejarah Islam.