Teks Berjalan

Selamat Datang di Blog abuyasin.com Selamat Datang di Blog abuyasin.com

Rabu, 27 Agustus 2025



Diamnya Sang Bijak dan Kebisingan Sang Dangkal: Perspektif Filsafat dan Psikologi Islam

“Orang-orang bijak tahu bahwa kebisingan tidak berarti apa-apa. Kebodohan justru berteriak paling keras.”
George Bernard Shaw

Kutipan George Bernard Shaw ini menggambarkan fenomena universal yang terus berulang sepanjang sejarah manusia. Dalam setiap zaman, kita menyaksikan bagaimana mereka yang dangkal pemahaman justru paling keras bersuara, sementara para bijak sering kali memilih diam. Jika di masa Shaw fenomena ini masih berupa refleksi sosial, kini di era digital ia menjadi sebuah realitas global yang mengkhawatirkan.

Panggung Kebisingan dan Diamnya Sang Bijak

Dalam filsafat, suara dianggap sebagai bentuk manifestasi rasionalitas. Socrates, Plato, hingga Al-Farabi memandang bahwa berbicara adalah cermin dari isi pikiran. Namun, paradoks yang muncul adalah: semakin dalam pengetahuan seseorang, semakin besar pula kerendahhatian intelektualnya. Inilah yang membuat para bijak sering memilih diam.

Sebaliknya, mereka yang miskin substansi sering merasa perlu untuk berteriak lebih keras agar mendapat pengakuan. Dalam filsafat klasik, fenomena ini dikenal sebagai sophistry, yakni seni retorika kosong yang menipu, tanpa substansi kebenaran. Para sofis di zaman Yunani kuno telah membuktikan bahwa suara lantang tanpa kebenaran bisa menguasai massa.

Dalam perspektif Islam, fenomena ini diabadikan dalam firman Allah:

“Dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka (orang-orang beriman), mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.”
(QS. Al-Furqan: 63)

Ayat ini menunjukkan sikap bijak: tidak terpancing oleh kebisingan orang-orang yang dangkal, melainkan menjaga martabat diri dengan kesabaran dan ketenangan. Namun, jika semua orang bijak memilih diam total, maka panggung publik akan dikuasai oleh kebodohan yang berulang-ulang disuarakan.

Psikologi Islam: Mengapa yang Dangkal Lebih Lantang?

Dari sisi psikologi Islam, terdapat fenomena yang disebut ghurur (tipu daya diri). Orang yang miskin pengetahuan sering kali terjebak dalam ilusi kehebatan diri. Mereka yakin bahwa pendapatnya benar hanya karena ia berani menyuarakannya. Kondisi ini selaras dengan apa yang dalam psikologi modern disebut sebagai Dunning-Kruger Effect: semakin rendah kompetensi seseorang, semakin tinggi rasa percaya dirinya.

Sementara itu, orang yang berilmu sejati justru diliputi rasa tawadhu’ (rendah hati). Ia selalu menyadari keterbatasan pengetahuan dirinya. Imam Syafi’i berkata:

“Semakin aku bertambah ilmu, semakin aku tahu betapa bodohnya diriku.”

Sikap inilah yang membuat para bijak enggan mengumbar kata. Mereka menimbang dengan hati-hati, karena sadar bahwa ucapan bukan hanya sekadar bunyi, melainkan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah:

“Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu hadir.”
(QS. Qaf: 18)

Dengan demikian, kebisingan orang dangkal dan diamnya sang bijak bukan hanya fenomena sosial, melainkan cerminan kondisi psikologis yang berbeda.

Diam sebagai Kebajikan, Suara sebagai Tanggung Jawab

Dalam filsafat Islam, diam adalah bagian dari kebijaksanaan. Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menegaskan bahwa diam lebih aman daripada banyak bicara, sebab setiap kata bisa menjadi jebakan dosa. Namun, beliau juga memperingatkan bahwa diam tidak selalu benar. Ketika kebatilan merajalela, maka diam justru menjadi kelemahan moral.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman.”
(HR. Muslim)

Hadis ini menegaskan bahwa suara memiliki peran moral. Jika para bijak memilih diam di tengah kebisingan yang menyesatkan, maka masyarakat akan kehilangan arah, dan kebenaran akan terkubur oleh narasi yang dangkal.

Risiko Demokrasi Kebodohan

Filsafat politik modern mengenal istilah demokrasi kebodohan, ketika suara terbanyak bukan lagi cerminan kebenaran, melainkan hasil dari propaganda kosong. Dalam kondisi seperti ini, kebenaran sering kalah oleh popularitas.

Islam mengingatkan bahaya ini:

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.”
(QS. Al-An’am: 116)

Ayat ini menjadi alarm bahwa kebenaran tidak ditentukan oleh siapa yang paling lantang atau paling banyak, melainkan siapa yang berpegang pada ilmu dan petunjuk.

Jalan Tengah: Suara Bijak di Tengah Kebisingan

Tantangan kita bukan hanya menjaga agar para bijak tidak terjebak dalam diam total, tetapi juga memastikan bahwa suara mereka terdengar di tengah kebisingan. Islam menawarkan prinsip qaulan ma’rufan, qaulan balighan, dan qaulan layyinan: berkata dengan baik, efektif, dan lembut.

Psikologi Islam menekankan pentingnya hikmah dalam komunikasi: menyampaikan kebenaran dengan cara yang menyentuh hati, bukan sekadar memenangkan perdebatan. Inilah yang membedakan suara bijak dari teriakan kosong: ia tidak hanya terdengar, tetapi juga memberi arah dan menenangkan jiwa.

Penutup: Membunyikan Diam, Meredam Bising

George Bernard Shaw mengingatkan kita bahwa kebodohan sering kali berteriak paling keras. Namun, filsafat dan psikologi Islam mengajarkan bahwa kebijaksanaan tidak boleh selamanya bersembunyi dalam diam.

Diam tetaplah kebajikan ketika ia menjaga diri dari kesia-siaan. Tetapi, ketika kebodohan merajalela, suara bijak adalah mercusuar yang menyelamatkan peradaban. Para bijak tidak perlu berteriak, tetapi mereka wajib bersuara—jernih, tegas, dan penuh hikmah.

Dengan begitu, panggung publik tidak lagi dikuasai oleh kebisingan dangkal, melainkan menjadi ruang bagi kedalaman makna, kejernihan nalar, dan cahaya kebenaran.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar