Diamnya Sang Bijak dan Kebisingan Sang Dangkal: Perspektif Filsafat dan Psikologi Islam
“Orang-orang bijak tahu bahwa kebisingan
tidak berarti apa-apa. Kebodohan justru berteriak paling keras.”
George Bernard Shaw
Kutipan George Bernard Shaw
ini menggambarkan fenomena universal yang terus berulang sepanjang sejarah
manusia. Dalam setiap zaman, kita menyaksikan bagaimana mereka yang dangkal
pemahaman justru paling keras bersuara, sementara para bijak sering kali memilih
diam. Jika di masa Shaw fenomena ini masih berupa refleksi sosial, kini di era
digital ia menjadi sebuah realitas global yang mengkhawatirkan.
Panggung
Kebisingan dan Diamnya Sang Bijak
Dalam filsafat, suara
dianggap sebagai bentuk manifestasi rasionalitas. Socrates, Plato, hingga
Al-Farabi memandang bahwa berbicara adalah cermin dari isi pikiran. Namun,
paradoks yang muncul adalah: semakin dalam pengetahuan seseorang, semakin besar
pula kerendahhatian intelektualnya. Inilah yang membuat para bijak sering
memilih diam.
Sebaliknya, mereka yang
miskin substansi sering merasa perlu untuk berteriak lebih keras agar mendapat
pengakuan. Dalam filsafat klasik, fenomena ini dikenal sebagai sophistry, yakni seni retorika kosong
yang menipu, tanpa substansi kebenaran. Para sofis di zaman Yunani kuno telah
membuktikan bahwa suara lantang tanpa kebenaran bisa menguasai massa.
Dalam perspektif Islam, fenomena ini
diabadikan dalam firman Allah:
“Dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka
(orang-orang beriman), mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung)
keselamatan.”
(QS. Al-Furqan: 63)
Ayat ini menunjukkan sikap
bijak: tidak terpancing oleh kebisingan orang-orang yang dangkal, melainkan
menjaga martabat diri dengan kesabaran dan ketenangan. Namun, jika semua orang
bijak memilih diam total, maka panggung publik akan dikuasai oleh kebodohan
yang berulang-ulang disuarakan.
Psikologi
Islam: Mengapa yang Dangkal Lebih Lantang?
Dari sisi psikologi Islam,
terdapat fenomena yang disebut ghurur
(tipu daya diri). Orang yang miskin pengetahuan sering kali terjebak dalam
ilusi kehebatan diri. Mereka yakin bahwa pendapatnya benar hanya karena ia
berani menyuarakannya. Kondisi ini selaras dengan apa yang dalam psikologi
modern disebut sebagai Dunning-Kruger
Effect: semakin rendah kompetensi seseorang, semakin tinggi rasa percaya
dirinya.
Sementara itu, orang yang
berilmu sejati justru diliputi rasa tawadhu’
(rendah hati). Ia selalu menyadari keterbatasan pengetahuan dirinya. Imam
Syafi’i berkata:
“Semakin
aku bertambah ilmu, semakin aku tahu betapa bodohnya diriku.”
Sikap inilah yang membuat
para bijak enggan mengumbar kata. Mereka menimbang dengan hati-hati, karena
sadar bahwa ucapan bukan hanya sekadar bunyi, melainkan akan dimintai
pertanggungjawaban di hadapan Allah:
“Tidak ada suatu kata yang diucapkannya
melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu hadir.”
(QS. Qaf: 18)
Dengan demikian, kebisingan orang dangkal dan
diamnya sang bijak bukan hanya fenomena sosial, melainkan cerminan kondisi
psikologis yang berbeda.
Diam
sebagai Kebajikan, Suara sebagai Tanggung Jawab
Dalam filsafat Islam, diam adalah bagian dari kebijaksanaan.
Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menegaskan bahwa diam lebih aman
daripada banyak bicara, sebab setiap kata bisa menjadi jebakan dosa. Namun,
beliau juga memperingatkan bahwa diam tidak selalu benar. Ketika kebatilan
merajalela, maka diam justru menjadi kelemahan moral.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barang siapa di antara kalian melihat
kemungkaran, maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Jika tidak mampu,
maka dengan lisannya. Dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itu adalah
selemah-lemah iman.”
(HR. Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa suara memiliki
peran moral. Jika para bijak memilih diam di tengah kebisingan yang
menyesatkan, maka masyarakat akan kehilangan arah, dan kebenaran akan terkubur
oleh narasi yang dangkal.
Risiko
Demokrasi Kebodohan
Filsafat politik modern mengenal istilah demokrasi kebodohan, ketika suara
terbanyak bukan lagi cerminan kebenaran, melainkan hasil dari propaganda kosong.
Dalam kondisi seperti ini, kebenaran sering kalah oleh popularitas.
Islam mengingatkan bahaya ini:
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang di
muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.”
(QS. Al-An’am: 116)
Ayat ini menjadi alarm bahwa kebenaran tidak
ditentukan oleh siapa yang paling lantang atau paling banyak, melainkan siapa
yang berpegang pada ilmu dan petunjuk.
Jalan
Tengah: Suara Bijak di Tengah Kebisingan
Tantangan kita bukan hanya
menjaga agar para bijak tidak terjebak dalam diam total, tetapi juga memastikan
bahwa suara mereka terdengar di tengah kebisingan. Islam menawarkan prinsip qaulan ma’rufan, qaulan balighan, dan qaulan
layyinan: berkata dengan baik, efektif, dan lembut.
Psikologi Islam menekankan
pentingnya hikmah dalam komunikasi:
menyampaikan kebenaran dengan cara yang menyentuh hati, bukan sekadar
memenangkan perdebatan. Inilah yang membedakan suara bijak dari teriakan
kosong: ia tidak hanya terdengar, tetapi juga memberi arah dan menenangkan
jiwa.
Penutup:
Membunyikan Diam, Meredam Bising
George Bernard Shaw
mengingatkan kita bahwa kebodohan sering kali berteriak paling keras. Namun,
filsafat dan psikologi Islam mengajarkan bahwa kebijaksanaan tidak boleh
selamanya bersembunyi dalam diam.
Diam tetaplah kebajikan
ketika ia menjaga diri dari kesia-siaan. Tetapi, ketika kebodohan merajalela,
suara bijak adalah mercusuar yang menyelamatkan peradaban. Para bijak tidak
perlu berteriak, tetapi mereka wajib bersuara—jernih, tegas, dan penuh hikmah.
Dengan begitu, panggung
publik tidak lagi dikuasai oleh kebisingan dangkal, melainkan menjadi ruang
bagi kedalaman makna, kejernihan nalar, dan cahaya kebenaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar