Teks Berjalan

Selamat Datang di Blog abuyasin.com Selamat Datang di Blog abuyasin.com

Jumat, 08 Agustus 2025



Berhenti Menyenangkan Semua Orang: Menjadi Versi Terbaik Dirimu dalam Pandangan Islam

Di era digital saat ini, di mana opini mengalir deras melalui media sosial dan ruang publik, banyak orang terjebak dalam perangkap “ingin disukai semua orang.” Dorongan ini membuat sebagian besar individu kehilangan arah hidupnya, sebab mereka lebih sibuk membentuk citra demi validasi daripada mengembangkan kepribadian yang sejati. Padahal, Islam tidak pernah mengajarkan kita untuk hidup demi tepuk tangan orang lain, melainkan untuk mencari ridha Allah semata.

Keinginan untuk menyenangkan semua orang sering kali berakar dari kebutuhan mendasar manusia: ingin diterima, diakui, dan dihargai. Psikologi menyebut ini sebagai need for approval. Namun, jika kebutuhan ini berlebihan, ia dapat berubah menjadi beban mental yang menguras energi dan mengikis identitas diri.

Islam telah lama mengajarkan prinsip yang selaras dengan kesehatan mental modern: fokus pada ridha Allah, bukan validasi manusia. Dengan menggabungkan perspektif ini, kita akan menemukan bahwa ajaran agama dan temuan psikologi sebenarnya berjalan seiring.

1. Menyenangkan Semua Orang Adalah Mustahil

Keinginan untuk menyenangkan semua pihak adalah beban mental yang sangat berat, bahkan mustahil dicapai. Rasulullah ﷺ, manusia terbaik pilihan Allah, pun tidak luput dari celaan. Allah berfirman:

"Maka bersabarlah kamu terhadap apa yang mereka katakan, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam(nya)."
(QS. Qaf: 39)

Ayat ini mengingatkan bahwa celaan adalah bagian dari perjalanan hidup, dan solusi terbaik bukanlah berusaha menghapus semua kritik, melainkan menjaga hati agar tetap fokus kepada Allah.

2. Hidup Bukan untuk Tepuk Tangan Palsu

Dalam psikologi modern, pencarian validasi eksternal berlebihan dapat menyebabkan ketergantungan emosional dan menurunkan rasa percaya diri. Islam pun mengingatkan bahaya ini. Rasulullah ﷺ bersabda:

"Barang siapa yang mencari ridha Allah walaupun manusia marah, maka Allah akan meridhainya dan menjadikan manusia ridha kepadanya. Dan barang siapa mencari ridha manusia walaupun Allah murka, maka Allah akan murka kepadanya dan menjadikan manusia murka kepadanya."
(HR. Ibnu Hibban)

Hadis ini menjadi landasan bahwa fokus kita bukan pada applause manusia, tetapi pada ridha Allah.

3. Kebaikan Pun Bisa Dipelintir

Realitas zaman sekarang menunjukkan bahwa bahkan kebaikan sering kali disalahartikan atau dipelintir. Imam Asy-Syafi’i pernah berkata:

"Ridha semua orang adalah tujuan yang tidak dapat dicapai. Maka, carilah ridha yang lebih mulia, yaitu ridha Allah."

Maka jangan heran jika perbuatan baik tetap menuai kritik. Bukan berarti kita berhenti berbuat baik, tetapi jangan sampai kita merubah kebenaran demi kenyamanan publik.

4. Prinsip Psikologi Islam: Fokus pada Versi Terbaik Dirimu

Dalam konsep psikologi Islam, kebahagiaan sejati (sa’adah) lahir ketika seseorang hidup sesuai nilai-nilai kebenaran yang ditetapkan Allah, bukan dari pujian atau pengakuan orang. Al-Qur’an menegaskan:

"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia; dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi."
(QS. Al-Qashash: 77)

Ayat ini mengajarkan keseimbangan: berbuat baik tetap perlu, tetapi bukan demi validasi, melainkan demi kebaikan yang hakiki.

 

5. Jangan Menjadi “Topeng di Setiap Wajah”

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah pernah mengatakan:

"Barang siapa yang memperbaiki hubungan dengan Allah, maka Allah akan memperbaiki hubungannya dengan manusia. Dan barang siapa yang memperbaiki yang tersembunyi dari dirinya, maka Allah akan memperbaiki yang tampak dari dirinya."

Pesan ini sangat relevan: fokuslah membangun kualitas diri di hadapan Allah, bukan sekadar membangun citra di hadapan manusia.

6. Strategi Praktis Menurut Psikologi Islam

Agar kita tidak terjebak dalam perangkap ingin menyenangkan semua orang, ada beberapa langkah yang bisa diambil:

  1. Perkuat tujuan hidup dengan niat ibadah dalam setiap aktivitas (QS. Adz-Dzariyat: 56).
  2. Latih keteguhan hati dengan membaca dan mentadabburi ayat-ayat tentang kesabaran dan istiqamah.
  3. Batasi konsumsi opini negatif yang tidak membangun, baik di dunia nyata maupun di media sosial.
  4. Terapkan prinsip ikhlas: lakukan kebaikan karena Allah, bukan demi pujian.
  5. Terima kenyataan bahwa tidak semua orang akan setuju dengan pilihan kita, bahkan jika itu benar.

 

Kesimpulan

Berhenti berharap bisa menyenangkan semua orang adalah bentuk kebijaksanaan. Dalam Islam, tujuan hidup bukanlah mengumpulkan validasi, melainkan menjadi hamba Allah yang terbaik versinya. Kritik, fitnah, atau pujian hanyalah ujian. Selama langkah kita berada di atas kebenaran, maka ridha Allah adalah pencapaian tertinggi.

Seperti kata Hasan al-Bashri rahimahullah:

"Jangan terlalu memedulikan pujian manusia, karena engkau lebih tahu tentang dirimu daripada mereka; dan jangan terlalu mempedulikan celaan mereka, karena engkau lebih tahu tentang dosamu daripada mereka."

Maka, hiduplah bukan untuk semua rasa, melainkan untuk menjadi versi terbaik dirimu yang sejati, di hadapan Allah yang Maha Menilai.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar