Berhenti Menyenangkan Semua Orang: Menjadi Versi Terbaik Dirimu dalam Pandangan Islam
Di era digital saat ini, di
mana opini mengalir deras melalui media sosial dan ruang publik, banyak orang
terjebak dalam perangkap “ingin disukai semua orang.” Dorongan ini membuat
sebagian besar individu kehilangan arah hidupnya, sebab mereka lebih sibuk membentuk
citra demi validasi daripada mengembangkan kepribadian yang sejati. Padahal,
Islam tidak pernah mengajarkan kita untuk hidup demi tepuk tangan orang lain,
melainkan untuk mencari ridha Allah semata.
Keinginan untuk
menyenangkan semua orang sering kali berakar dari kebutuhan mendasar manusia:
ingin diterima, diakui, dan dihargai. Psikologi menyebut ini sebagai need
for approval. Namun, jika kebutuhan ini berlebihan, ia dapat berubah
menjadi beban mental yang menguras energi dan mengikis identitas diri.
Islam telah lama
mengajarkan prinsip yang selaras dengan kesehatan mental modern: fokus pada
ridha Allah, bukan validasi manusia. Dengan menggabungkan perspektif ini, kita
akan menemukan bahwa ajaran agama dan temuan psikologi sebenarnya berjalan
seiring.
1. Menyenangkan Semua Orang
Adalah Mustahil
Keinginan untuk
menyenangkan semua pihak adalah beban mental yang sangat berat, bahkan mustahil
dicapai. Rasulullah ﷺ, manusia terbaik pilihan Allah, pun tidak luput dari
celaan. Allah berfirman:
"Maka
bersabarlah kamu terhadap apa yang mereka katakan, dan bertasbihlah dengan
memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam(nya)."
(QS. Qaf: 39)
Ayat ini mengingatkan bahwa
celaan adalah bagian dari perjalanan hidup, dan solusi terbaik bukanlah
berusaha menghapus semua kritik, melainkan menjaga hati agar tetap fokus kepada
Allah.
2. Hidup Bukan untuk Tepuk
Tangan Palsu
Dalam psikologi modern,
pencarian validasi eksternal berlebihan dapat menyebabkan ketergantungan emosional dan menurunkan
rasa percaya diri. Islam pun mengingatkan bahaya ini. Rasulullah ﷺ bersabda:
"Barang
siapa yang mencari ridha Allah walaupun manusia marah, maka Allah akan
meridhainya dan menjadikan manusia ridha kepadanya. Dan barang siapa mencari
ridha manusia walaupun Allah murka, maka Allah akan murka kepadanya dan
menjadikan manusia murka kepadanya."
(HR. Ibnu Hibban)
Hadis ini menjadi landasan
bahwa fokus kita bukan pada applause manusia, tetapi pada ridha Allah.
3. Kebaikan Pun Bisa
Dipelintir
Realitas zaman sekarang
menunjukkan bahwa bahkan kebaikan sering kali disalahartikan atau dipelintir.
Imam Asy-Syafi’i pernah berkata:
"Ridha
semua orang adalah tujuan yang tidak dapat dicapai. Maka, carilah ridha yang
lebih mulia, yaitu ridha Allah."
Maka jangan heran jika
perbuatan baik tetap menuai kritik. Bukan berarti kita berhenti berbuat baik,
tetapi jangan sampai kita merubah kebenaran demi kenyamanan publik.
4. Prinsip Psikologi Islam:
Fokus pada Versi Terbaik Dirimu
Dalam konsep psikologi
Islam, kebahagiaan sejati (sa’adah) lahir ketika seseorang hidup sesuai
nilai-nilai kebenaran yang ditetapkan Allah, bukan dari pujian atau pengakuan
orang. Al-Qur’an menegaskan:
"Dan carilah
pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat,
dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia; dan berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi."
(QS. Al-Qashash: 77)
Ayat ini mengajarkan
keseimbangan: berbuat baik tetap perlu, tetapi bukan demi validasi, melainkan
demi kebaikan yang hakiki.
5. Jangan Menjadi “Topeng
di Setiap Wajah”
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah pernah
mengatakan:
"Barang siapa
yang memperbaiki hubungan dengan Allah, maka Allah akan memperbaiki hubungannya
dengan manusia. Dan barang siapa yang memperbaiki yang tersembunyi dari
dirinya, maka Allah akan memperbaiki yang tampak dari dirinya."
Pesan ini sangat relevan: fokuslah membangun
kualitas diri di hadapan Allah, bukan sekadar membangun citra di hadapan
manusia.
6. Strategi Praktis Menurut
Psikologi Islam
Agar kita tidak terjebak dalam perangkap
ingin menyenangkan semua orang, ada beberapa langkah yang bisa diambil:
- Perkuat tujuan hidup dengan niat ibadah dalam setiap aktivitas (QS.
Adz-Dzariyat: 56).
- Latih keteguhan hati dengan membaca dan mentadabburi ayat-ayat
tentang kesabaran dan istiqamah.
- Batasi konsumsi
opini negatif yang tidak membangun,
baik di dunia nyata maupun di media sosial.
- Terapkan prinsip
ikhlas: lakukan kebaikan
karena Allah, bukan demi pujian.
- Terima kenyataan
bahwa tidak semua orang akan setuju
dengan pilihan kita, bahkan jika itu benar.
Kesimpulan
Berhenti berharap bisa menyenangkan semua
orang adalah bentuk kebijaksanaan. Dalam Islam, tujuan hidup bukanlah
mengumpulkan validasi, melainkan menjadi hamba Allah yang terbaik versinya.
Kritik, fitnah, atau pujian hanyalah ujian. Selama langkah kita berada di atas
kebenaran, maka ridha Allah adalah pencapaian tertinggi.
Seperti kata Hasan al-Bashri rahimahullah:
"Jangan
terlalu memedulikan pujian manusia, karena engkau lebih tahu tentang dirimu
daripada mereka; dan jangan terlalu mempedulikan celaan mereka, karena engkau
lebih tahu tentang dosamu daripada mereka."
Maka, hiduplah bukan untuk semua rasa,
melainkan untuk menjadi versi terbaik dirimu yang sejati, di hadapan Allah yang
Maha Menilai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar