“Madrasah Pertama Seorang Anak adalah Ibunya”
Di balik tumbuhnya pribadi
saleh, cerdas, dan berdaya, hampir selalu ada sosok ibu yang sabarmenyusui,
menimang, mendoakan, dan menanam nilai dari hari ke hari. Ungkapan “madrasah
pertama seorang anak adalah ibunya” bukan sekadar kalimat puitik; ia adalah
peta jalan pendidikan yang diakui wahyu, disuarakan hadis, ditafsirkan para
ulama, dan dibenarkan temuan psikologi modern. Artikel ini mengajak para orang
tua terutama para ibu untuk meneguhkan niat menjadi wanita salehah yang
memimpin “madrasah rumah” dengan visi akhirat dan strategi praktis dunia.
1) Fondasi Ilahiah:
Al-Qur’an dan Hadis tentang Peran Ibu
Al-Qur’an menempatkan keibuan sebagai amanah
agung dan penuh pengorbanan. Allah berfirman:
- “Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar
berbuat baik) kepada kedua orang tuanya; ibunya telah mengandungnya dalam
keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun…” (QS. Luqman: 14).
- “Kami perintahkan manusia berbuat baik kepada
kedua orang tuanya; ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan
melahirkannya dengan susah payah…”
(QS. Al-Ahqaf: 15).
- “…Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya
selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan…” (QS. Al-Baqarah: 233).
Ayat-ayat ini bukan hanya memotret beban
biologis, tetapi mengisyaratkan kapasitas spiritual seorang ibu untuk
menjadi guru kehangatan, adab, dan iman pada fase paling plastis dalam hidup
manusia.
Rasulullah ﷺ menegaskan tanggung jawab
pendidikan keluarga:
- “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap
kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
- “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah;
kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari dan Muslim).
- “Siapa yang paling berhak atas baktiku, wahai
Rasulullah?” Beliau bersabda: “Ibumu,” diulangi tiga kali, “kemudian
ayahmu.” (HR. Bukhari dan
Muslim).
- “Sebaik-baik
kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang
paling baik terhadap keluargaku.” (HR. Tirmidzi).
Dalam kerangka ini, ibu bukan sekadar “pengasuh”, melainkan mursyidah
pembimbing ruhani yang memelihara fitrah anak menuju Allah.
2) Hikmah Ulama: Anak
adalah Amanah, Hati yang Mudah Dibentuk
Para ulama klasik memandang pendidikan anak
sebagai proyek peradaban.
- Al-Ghazali
dalam Ihya’ ‘Ulum ad-Din menggambarkan hati anak bagaikan permata
murni siap dibentuk ke arah apa pun. Bila dibiasakan kebaikan, ia tumbuh
bahagia dunia-akhirat; bila dibiarkan, ia mudah condong pada hawa nafsu.
Ini menekankan urgensi pembiasaan (ta’wid) sejak dini.
- Ibnul Qayyim al-Jauziyyah (antara lain dalam Tuhfatul Maudud)
menulis bahwa kerusakan banyak anak justru bersumber dari kelalaian orang
tua terhadap tarbiyah: menelantarkan adab, membiarkan kebiasaan buruk,
atau memanjakan tanpa arah. Pesannya tegas: tanpa disiplin bernilai,
kasih sayang bisa berubah jadi bumerang.
- Abdullah Nashih ‘Ulwan dalam Tarbiyatul Aulad fil Islam
menegaskan pendidikan anak mencakup aspek iman, akhlak, intelektual,
psikologis, sosial, dan fisik semuanya dimulai dari rumah, dipandu teladan
orang tua.
Inti pesannya konsisten: Anak menyerap
lebih banyak dari apa yang kita lakukan daripada apa yang kita ucapkan.
Keteladanan ibu menjadi kurikulum paling efektif.
3) Psikologi Muslim:
Fitrah, Kelekatan (Attachment), dan Ketenangan Emosi
Psikologi perkembangan modern menemukan hal
yang selaras dengan tarbiyah Islam.
- Fitrah & Regulasi Emosi
Hadis tentang fitrah menunjukkan potensi suci yang menanti penataan. Dari sudut psikologi, bayi belajar co-regulation: emosi ibu yang tenang menenangkan sistem saraf anak. Dzikir, napas panjang, dan mindful parenting berbasis tauhid membantu ibu stabil dan kestabilan itu menular ke anak. - Attachment (kelekatan) yang aman
Kelekatan hangat dan responsive pelukan, tatapan penuh rahmah, konsistensi mencetak anak dengan rasa aman, percaya diri, dan empati. Ini paralel dengan nilai rahmah (QS. Al-Anbiya’: 107) dan lina (kelembutan) yang dicontohkan Nabi ﷺ. Kelekatan bukan memanjakan, melainkan merespons dengan bijak: hadir, namun tetap menanam batas. - Makna & Nilai sebagai “GPS” batin
Pendekatan psikologi muslim menggabungkan makna ilahiah dalam pembentukan akhlak. Visi akhirat membuat kita sabar dalam proses panjang. Tujuan tidak berhenti pada nilai rapor, tetapi taqwa, adab, dan daya juang. Ini yang mengubah rutinitas mengasuh menjadi ibadah bernilai. - Teladan Nabi sebagai protokol komunikasi
Senyum, panggilan lembut, menyapa anak dengan nama terbaik, duduk sejajar ketika menasihati semua itu selaras dengan sunnah. Komunikasi penuh rahmah menumbuhkan self-worth anak dan membuka pintu nasihat.
4) Menjadi Wanita Salehah:
Identitas, Niat, dan Amal Harian
a) Mantapkan Identitas
Wanita salehah bukan mitos, melainkan status
yang diupayakan setiap hari: muslimah yang taat, cerdas, dan bermanfaat.
Nabi ﷺ bersabda: “Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia
adalah wanita salehah.” (HR. Muslim). Identitas ini memberi energi saat
penat melanda.
b) Niat yang Jelas
Niatkan setiap aktivitas rumah tangga sebagai
ibadah: menyusui, memasak, menidurkan, mendengar cerita anak. Niat yang benar
mengangkat kerja domestik menjadi amal jariyah. At-Tahrim: 6
mengingatkan misi: menjaga diri dan keluarga dari api neraka ini proyek
kepemimpinan spiritual.
c) Amal Harian yang
Menguatkan
- Shalat tepat waktu & tilawah: Menjaga charge ruhani ibu.
- Dzikir pagi-petang: Menenangkan sistem emosi, menambah coping.
- Doa khusus untuk anak: Doa Nabi Ibrahim (QS. Ibrahim: 40), doa agar
diberi keturunan penyejuk hati (QS. Al-Furqan: 74).
- Sedekah & istighfar: Membuka pintu rezeki dan kelapangan dada.
- Ilmu:
Jadwal rutin membaca (tafsir ringkas, fikih keluarga, psikologi
perkembangan) agar nasihat ibu semakin evidence-based dan syar’i.
5) Kurikulum “Madrasah
Ibu”: 7 Pilar Praktis
- Tauhid sebagai Poros
Ajarkan kalimat thayyibah, kenalkan Allah sebagai Maha Pengasih bukan sekadar Penguasa yang menakutkan. Dampaknya: anak tumbuh dengan secure attachment kepada Rabb-nya. - Adab mendahului Ilmu
Biasakan salam, izin, tertib makan, menghormati tamu, menunda keinginan. Al-Ghazali menekankan ta’wid (pembiasaan) sebelum penalaran abstrak matang. - Bahasa Cinta & Disiplin Bernilai
Peluk, puji usaha (bukan hanya hasil), dan tetapkan batas jelas. Disiplin tanpa marah berlebih: singkat, konsisten, konsekuen bukan keras, bukan permisif. - Ritual Keluarga Sederhana
Doa bersama sebelum/after kegiatan, tilawah santai, “majlis cerita” sebelum tidur (kisah para nabi dan sahabat). Ingatan emosional dari ritual ini jauh lebih melekat daripada ceramah panjang. - Teladan Literasi
Anak meniru: sediakan waktu family reading. Buku adab, sains, kisah teladan. Minimkan gadget di ruang keluarga; orang tua memegang buku lebih sering daripada ponsel itu dakwah tanpa kata. - Komunikasi Empatik
Dengar hingga tuntas, validasi perasaan (“Ibu paham kamu sedih”), lalu arahkan (“Yuk sama-sama cari solusi yang Allah ridai”). Model ini membangun emosi matang sekaligus kompas moral. - Kolaborasi Ayah-Ibu
Ibu adalah madrasah pertama, tapi ayah adalah kepala sekolah yang meneguhkan visi, nafkah, perlindungan, dan teladan kepemimpinan. QS. Al-Baqarah: 233 juga menegaskan peran ayah dalam dukungan menyusui dan nafkah.
6) Menjawab Tantangan
Zaman: Digital, Toxic Comparison, dan Lelah Mental
- Tekanan Media Sosial
Bandingkan diri dengan wahyu, bukan “highlight” orang lain. Muroja’ah niat: mencari ridha Allah, bukan validasi publik. Kurangi paparan yang memicu insecurity; pilih akun yang edukatif dan menenangkan. - Gadget pada Anak
Tetapkan screen-time sesuai usia, lokasi gawai di area publik rumah, dan screen-free time (subuh, makan, satu jam sebelum tidur). Ganti dengan aktivitas: membaca, seni, tugas rumah ringan, olahraga. - Burnout Ibu
Self-care adalah amanah: tidur cukup, makan seimbang, “me time” yang halal (membaca, menulis jurnal syukur). Mintalah bantuan pasangan/keluarga; ingat, ibu yang utuh lebih mampu mengasuh.
7) Inspirasi dari Para Ibu
Teladan
- Khadijah binti Khuwailid sumber ketenangan Nabi ﷺ, cerdas, dermawan,
menopang dakwah awal. Teladan: mendukung misi suami dan menumbuhkan
ekosistem iman di rumah.
- Asma’ binti Abu Bakar tegar, mandiri, dan pendidik generasi pejuang
(Abdullah bin Zubair). Teladan: ketangguhan & keberanian bernilai.
- Ummu Sulaim mendidik
Anas bin Malik dengan kecerdasan ruhani: mempersembahkan putranya untuk
khidmah kepada Nabi ﷺ, menumbuhkan adab dan cinta sunnah. Teladan: strategi
tarbiyah yang visioner.
Kisah-kisah ini mematahkan stereotip: salehah
itu aktif, berstrategi, berilmu, dan berdampak.
8) Roadmap 30 Hari
“Madrasah Ibu” (Ringkas & Aplikatif)
- Pekan 1 – Menata Diri: perbarui niat, rapikan jadwal ibadah, buat ritual
kecil keluarga (doa bersama 3 menit), dan tulis 3 nilai inti rumah
(tauhid, adab, tanggung jawab).
- Pekan 2 – Lingkungan: tata zona bebas gawai, rak buku keluarga,
poster adab harian; mulai family reading 10 menit setiap malam.
- Pekan 3 – Komunikasi: latihan validasi emosi, gunakan kata
kunci lembut (“Ibu dengar…”, “Coba kita istighfar dulu ya”), terapkan
disiplin konsisten.
- Pekan 4 – Teladan & Evaluasi: pilih satu akhlak inti (jujur atau sabar)
untuk diteladankan intensif, lalu evaluasi ringan setiap malam Jumat: apa
yang baik dipertahankan, apa yang perlu diperbaiki.
Tambahkan jurnal syukur harian dua
baris: satu tentang diri ibu, satu tentang anak. Jurnal ini memperbesar lensa
rahmah dalam keseharian.
9) Doa, Harapan, dan
Komitmen
Tidak ada ibu yang sempurna, tetapi selalu
ada ibu yang bersungguh-sungguh. Allah melihat jerih payah di balik
kantuk, peluh, dan air mata. Bidadari surga tumbuh dari lantai dapur
yang basah, pelukan di tengah malam, dan doa yang tak terdengar publik.
Bacalah doa:
- “Ya Rabb, jadikan aku dan anak cucuku
orang-orang yang tetap melaksanakan shalat.” (QS. Ibrahim: 40).
- “Ya Rabb kami, anugerahkan kepada kami
pasangan-pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati (qurrata
a’yun), dan jadikan kami pemimpin bagi orang-orang bertakwa.” (QS. Al-Furqan: 74).
Jadikan doa sebagai “benang merah” yang
mengikat seluruh proses. Tarbiyah adalah maraton, bukan sprint. Hari ini satu
ayat, besok satu adab; tetes demi tetes mengukir sungai.
10) Anda Sedang Membangun Peradaban
Rumah adalah kampus
pertama, ibu adalah profesor utama, dan cinta adalah kurikulum
inti. Ketika seorang ibu memilih jalan salehah memurnikan niat, memperindah
akhlak, dan memperkuat ilmu ia sebenarnya sedang membangun peradaban dari ruang
tamu. Kelak, jika anak-anak itu tumbuh menjadi pribadi bertauhid, santun, dan
bermanfaat, pahala akan terus mengalir bahkan setelah langkah kita berhenti di
dunia. Itulah madrasah yang tak pernah libur dan tak pernah tutup.
Bergeraklah hari ini kecil
tapi konsisten. Niscaya Allah menumbuhkan dari butir-butir ikhtiar itu
hutan kebaikan yang rindang.