Teks Berjalan

Selamat Datang di Blog abuyasin.com Selamat Datang di Blog abuyasin.com

Jumat, 08 Agustus 2025



Perspektif Spiritual (Islam): Dampak Dendam pada Berkah dan Rahmat Ilahi

Dalam Islam, konsep rezeki sangatlah luas, tidak hanya terbatas pada harta benda. Rezeki mencakup ketenangan batin, kesehatan, ilmu yang bermanfaat, keluarga yang harmonis, dan kemudahan dalam segala urusan. Dendam, sebagai salah satu penyakit hati yang paling berbahaya, secara langsung merusak semua elemen rezeki tersebut.

Dendam dan Terhalangnya Rahmat Allah

Dendam adalah perwujudan dari ego dan keengganan untuk memaafkan, padahal Al-Qur’an dan hadis berulang kali menyerukan kita untuk memaafkan.

Firman Allah dalam QS. An-Nur: 22: “Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Ayat ini secara eksplisit mengaitkan tindakan memaafkan sesama dengan permohonan ampunan dari Allah. Ketika kita menolak memaafkan, seolah-olah kita juga menolak rahmat dan ampunan-Nya. Hati yang tertutup oleh dendam akan sulit menerima nur (cahaya) dan rahmat dari Allah.

Dampaknya, doa-doa yang dipanjatkan tidak lagi khusyuk karena hati dipenuhi kebencian, sedekah yang diberikan tidak tulus karena motivasi yang salah, dan ibadah terasa hampa. Semua ini berpotensi menghalangi turunnya berkah yang menjadi pilar utama kelancaran rezeki.

Memaafkan sebagai Pintu Keberkahan

Sebaliknya, tindakan memaafkan justru membuka pintu-pintu keberkahan. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Tidaklah harta berkurang karena sedekah, dan Allah tidak menambah kepada seorang hamba yang memaafkan kecuali kemuliaan.” (HR. Muslim)

Hadis ini menegaskan bahwa memaafkan adalah jalan untuk mendapatkan kemuliaan (rezeki non-materi) dari Allah. Kemuliaan ini bisa berupa rasa damai, dihormati oleh orang lain, atau bahkan kelapangan hati yang tak ternilai harganya. Ketika hati bersih dari dendam, rezeki akan mengalir dengan sendirinya, bukan hanya dalam bentuk materi, tapi juga dalam bentuk ketenangan batin.

 

2. Perspektif Psikologis: Dendam sebagai Penguras Energi Produktif

Secara psikologis, dendam bukanlah emosi yang statis; ia adalah proses mental yang terus-menerus memakan energi.

Siklus Negatif Dendam

Ketika seseorang menyimpan dendam, pikirannya akan terus-menerus memutar ulang kejadian menyakitkan di masa lalu. Ini memicu respons stres yang kronis dalam tubuh. Stres kronis ini melepaskan hormon seperti kortisol yang dapat merusak sel-sel otak, mengganggu fungsi kognitif, dan menurunkan daya tahan tubuh.

Akibatnya:

  • Kreativitas dan Produktivitas Menurun: Energi mental yang seharusnya digunakan untuk berpikir kreatif, mencari solusi, atau merencanakan masa depan, terpakai habis untuk memelihara kebencian. Ini membuat seseorang sulit fokus pada pekerjaan atau peluang baru.
  • Kesehatan Terganggu: Stres kronis akibat dendam bisa memicu penyakit fisik seperti hipertensi, masalah pencernaan, hingga depresi. Tubuh yang sakit-sakitan secara langsung akan mengganggu aktivitas mencari rezeki.
  • Pengambilan Keputusan Buruk: Pikiran yang keruh karena dendam cenderung membuat seseorang melihat dunia dengan penuh prasangka. Mereka lebih mudah curiga, sulit mempercayai orang lain, dan sering mengambil keputusan berdasarkan emosi, bukan logika. Ini membuat mereka melewatkan peluang kerja sama yang menguntungkan.

Memaafkan sebagai Bentuk Pembebasan Diri

Melepaskan dendam bukan berarti melupakan atau membenarkan kesalahan orang lain, melainkan sebuah tindakan pembebasan diri. Dengan memaafkan, seseorang secara sadar memilih untuk tidak lagi terikat pada masa lalu yang menyakitkan. Ini membebaskan energi mental dan emosional, sehingga bisa digunakan untuk hal-hal yang lebih produktif dan positif.

 

3. Perspektif Sosial dan Ekonomi: Kerugian Akibat Jaringan Sosial yang Rusak

Dalam dunia modern, rezeki seringkali datang melalui jejaring sosial atau silaturahmi. Dendam adalah musuh utama dari jejaring sosial ini.

Dendam dan Putusnya Silaturahmi

Orang yang menyimpan dendam cenderung menarik diri dan memutuskan hubungan dengan orang lain, termasuk keluarga, teman, atau kolega. Padahal, Rasulullah ﷺ bersabda:

“Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi.” (HR. Bukhari & Muslim)

Hadis ini menunjukkan bahwa silaturahmi bukan hanya anjuran agama, melainkan kunci untuk membuka pintu rezeki dan keberkahan. Ketika kita memutus hubungan, kita juga memutus potensi rezeki yang bisa datang melalui hubungan tersebut, seperti informasi pekerjaan, tawaran bisnis, atau bantuan dari orang lain.

Reputasi dan Kepercayaan yang Hilang

Selain itu, orang yang dikenal sebagai pendendam akan memiliki reputasi yang buruk. Mereka dianggap sulit diajak bekerja sama, tidak loyal, dan cenderung memendam masalah. Dalam dunia bisnis dan profesional, reputasi dan kepercayaan adalah mata uang yang sangat berharga. Sulit bagi seseorang yang tidak dipercaya untuk mendapatkan proyek besar atau kesempatan berharga.

 

Kesimpulan: Dendam, Karat yang Menghalangi Aliran Rezeki

Dendam bisa diibaratkan seperti karat yang perlahan-lahan mengikis kekuatan mental, spiritual, dan sosial seseorang. Ia membuat hati tumpul, pikiran berat bergerak, dan jaringan sosial rapuh.

Pada akhirnya, rezeki akan seret, bukan karena Allah tidak mau memberi, tapi karena kita sendiri yang secara tidak sadar menutup pintu-pintu rezeki dengan racun dendam. Melepaskan dendam bukan sekadar kewajiban agama atau anjuran psikologis, melainkan sebuah investasi jangka panjang untuk keberkahan hidup, kelapangan rezeki, dan kedamaian batin. Dengan memaafkan, kita membebaskan diri dan membuka lebar-lebar pintu rezeki yang selama ini kita kunci rapat.

 



Berhenti Menyenangkan Semua Orang: Menjadi Versi Terbaik Dirimu dalam Pandangan Islam

Di era digital saat ini, di mana opini mengalir deras melalui media sosial dan ruang publik, banyak orang terjebak dalam perangkap “ingin disukai semua orang.” Dorongan ini membuat sebagian besar individu kehilangan arah hidupnya, sebab mereka lebih sibuk membentuk citra demi validasi daripada mengembangkan kepribadian yang sejati. Padahal, Islam tidak pernah mengajarkan kita untuk hidup demi tepuk tangan orang lain, melainkan untuk mencari ridha Allah semata.

Keinginan untuk menyenangkan semua orang sering kali berakar dari kebutuhan mendasar manusia: ingin diterima, diakui, dan dihargai. Psikologi menyebut ini sebagai need for approval. Namun, jika kebutuhan ini berlebihan, ia dapat berubah menjadi beban mental yang menguras energi dan mengikis identitas diri.

Islam telah lama mengajarkan prinsip yang selaras dengan kesehatan mental modern: fokus pada ridha Allah, bukan validasi manusia. Dengan menggabungkan perspektif ini, kita akan menemukan bahwa ajaran agama dan temuan psikologi sebenarnya berjalan seiring.

1. Menyenangkan Semua Orang Adalah Mustahil

Keinginan untuk menyenangkan semua pihak adalah beban mental yang sangat berat, bahkan mustahil dicapai. Rasulullah ﷺ, manusia terbaik pilihan Allah, pun tidak luput dari celaan. Allah berfirman:

"Maka bersabarlah kamu terhadap apa yang mereka katakan, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam(nya)."
(QS. Qaf: 39)

Ayat ini mengingatkan bahwa celaan adalah bagian dari perjalanan hidup, dan solusi terbaik bukanlah berusaha menghapus semua kritik, melainkan menjaga hati agar tetap fokus kepada Allah.

2. Hidup Bukan untuk Tepuk Tangan Palsu

Dalam psikologi modern, pencarian validasi eksternal berlebihan dapat menyebabkan ketergantungan emosional dan menurunkan rasa percaya diri. Islam pun mengingatkan bahaya ini. Rasulullah ﷺ bersabda:

"Barang siapa yang mencari ridha Allah walaupun manusia marah, maka Allah akan meridhainya dan menjadikan manusia ridha kepadanya. Dan barang siapa mencari ridha manusia walaupun Allah murka, maka Allah akan murka kepadanya dan menjadikan manusia murka kepadanya."
(HR. Ibnu Hibban)

Hadis ini menjadi landasan bahwa fokus kita bukan pada applause manusia, tetapi pada ridha Allah.

3. Kebaikan Pun Bisa Dipelintir

Realitas zaman sekarang menunjukkan bahwa bahkan kebaikan sering kali disalahartikan atau dipelintir. Imam Asy-Syafi’i pernah berkata:

"Ridha semua orang adalah tujuan yang tidak dapat dicapai. Maka, carilah ridha yang lebih mulia, yaitu ridha Allah."

Maka jangan heran jika perbuatan baik tetap menuai kritik. Bukan berarti kita berhenti berbuat baik, tetapi jangan sampai kita merubah kebenaran demi kenyamanan publik.

4. Prinsip Psikologi Islam: Fokus pada Versi Terbaik Dirimu

Dalam konsep psikologi Islam, kebahagiaan sejati (sa’adah) lahir ketika seseorang hidup sesuai nilai-nilai kebenaran yang ditetapkan Allah, bukan dari pujian atau pengakuan orang. Al-Qur’an menegaskan:

"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia; dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi."
(QS. Al-Qashash: 77)

Ayat ini mengajarkan keseimbangan: berbuat baik tetap perlu, tetapi bukan demi validasi, melainkan demi kebaikan yang hakiki.

 

5. Jangan Menjadi “Topeng di Setiap Wajah”

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah pernah mengatakan:

"Barang siapa yang memperbaiki hubungan dengan Allah, maka Allah akan memperbaiki hubungannya dengan manusia. Dan barang siapa yang memperbaiki yang tersembunyi dari dirinya, maka Allah akan memperbaiki yang tampak dari dirinya."

Pesan ini sangat relevan: fokuslah membangun kualitas diri di hadapan Allah, bukan sekadar membangun citra di hadapan manusia.

6. Strategi Praktis Menurut Psikologi Islam

Agar kita tidak terjebak dalam perangkap ingin menyenangkan semua orang, ada beberapa langkah yang bisa diambil:

  1. Perkuat tujuan hidup dengan niat ibadah dalam setiap aktivitas (QS. Adz-Dzariyat: 56).
  2. Latih keteguhan hati dengan membaca dan mentadabburi ayat-ayat tentang kesabaran dan istiqamah.
  3. Batasi konsumsi opini negatif yang tidak membangun, baik di dunia nyata maupun di media sosial.
  4. Terapkan prinsip ikhlas: lakukan kebaikan karena Allah, bukan demi pujian.
  5. Terima kenyataan bahwa tidak semua orang akan setuju dengan pilihan kita, bahkan jika itu benar.

 

Kesimpulan

Berhenti berharap bisa menyenangkan semua orang adalah bentuk kebijaksanaan. Dalam Islam, tujuan hidup bukanlah mengumpulkan validasi, melainkan menjadi hamba Allah yang terbaik versinya. Kritik, fitnah, atau pujian hanyalah ujian. Selama langkah kita berada di atas kebenaran, maka ridha Allah adalah pencapaian tertinggi.

Seperti kata Hasan al-Bashri rahimahullah:

"Jangan terlalu memedulikan pujian manusia, karena engkau lebih tahu tentang dirimu daripada mereka; dan jangan terlalu mempedulikan celaan mereka, karena engkau lebih tahu tentang dosamu daripada mereka."

Maka, hiduplah bukan untuk semua rasa, melainkan untuk menjadi versi terbaik dirimu yang sejati, di hadapan Allah yang Maha Menilai.

 



Terbang Tinggi, Melampaui Pujian dan Celaan: Sebuah Perjalanan Menggapai Rida Ilahi

Dalam kehidupan ini, kita sering terjebak dalam pusaran opini manusia. Diam dibilang pasif, bergerak maju dituduh agresif; menempuh jalan berbeda dianggap aneh, mengikuti arus dianggap tidak punya pendirian. Kita seakan berada di dalam arena yang penuh sorotan, di mana setiap langkah menjadi bahan penilaian. Padahal, dalam perspektif Islam, kehidupan bukanlah sebuah panggung yang membutuhkan tepuk tangan penonton. Nilai sejati seseorang terletak pada hubungannya dengan Allah, bukan pada seberapa banyak ia mendapatkan pengakuan dari manusia.

Kita perlu menyadari bahwa pujian dan celaan hanyalah ujian, bukan ukuran nilai diri kita yang sebenarnya. Kedua-duanya bersifat fana, berubah-ubah, dan sering kali bergantung pada persepsi yang terbatas, bahkan bias, dari manusia. Jika hidup diatur oleh penilaian manusia, maka kita akan menjadi tawanan pandangan mereka. Namun jika hidup diarahkan untuk mencari rida Allah, maka kita akan meraih kebebasan batin yang tak ternilai.

 

1. Pujian dan Celaan: Dua Ujian yang Sama-sama Menantang

Pujian dan celaan adalah dua sisi mata uang yang sama: ujian dari Allah.
Pujian dapat menjerumuskan pada riya’ (pamer), ujub (bangga diri), dan kesombongan, sementara celaan menguji kesabaran, keteguhan hati, dan keikhlasan. Allah telah mengingatkan dalam QS. Al-Kahf: 28:

"Dan bersabarlah kamu bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan senja hari dengan mengharap keridaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia..."

Ayat ini menegaskan pentingnya menjaga fokus pada keridaan Allah, bukan pada penilaian dunia. Pujian hari ini bisa berubah menjadi cercaan besok. Karena itu, landasan amal harus teguh: mencari rida Allah semata.

Rasulullah ﷺ pun menghadapi berbagai bentuk cemooh dan pujian. Beliau tetap istiqamah, karena tujuannya bukan popularitas, melainkan menyampaikan risalah. Dalam hadis riwayat At-Tirmidzi, beliau bersabda:

"Barang siapa mencari rida Allah walaupun manusia murka, maka Allah akan rida kepadanya dan akan membuat manusia rida kepadanya..."

Hadis ini mengajarkan bahwa fokus pada rida Allah akan membawa kita pada ketenangan batin, sekaligus menuntun manusia pada sikap yang lebih baik kepada kita—meski mungkin tidak seketika.

 

2. Kritik: Bahan Bakar untuk Terbang Lebih Tinggi

Banyak orang berhenti melangkah karena takut dikritik. Padahal, kritik adalah bukti bahwa kita bergerak. Allah mengingatkan dalam QS. Al-Ankabut: 2-3 bahwa iman akan selalu diuji, termasuk melalui penolakan, cemooh, bahkan fitnah.

Kritik yang datang bisa kita sikapi sebagai “bahan bakar” untuk memperbaiki niat, menajamkan kemampuan, dan menumbuhkan kesabaran. Imam Al-Ghazali berkata:

"Janganlah engkau tertipu oleh pujian mereka, dan jangan bersedih dengan celaan mereka. Engkau lebih mengetahui hakikat dirimu daripada mereka."

Sikap ini mengajarkan self-awareness kesadaran diri yang jernih bahwa nilai kita di hadapan Allah jauh lebih penting daripada citra yang dibentuk oleh penilaian manusia.

 

3. Menjadi Nyata di Hadapan Allah, Bukan Sempurna di Mata Manusia

Kita sering terjebak dalam standar kesempurnaan yang dibuat oleh manusia. Padahal, kesempurnaan di mata mereka adalah ilusi yang terus bergerak. Rasulullah ﷺ bersabda:

"Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, akan tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian." (HR. Muslim)

Hadis ini menuntun kita untuk menjadi autentik jujur pada diri sendiri, mengakui kelemahan, dan terus berusaha memperbaiki diri. Imam Syafi’i juga menegaskan:

"Keridaan semua manusia adalah tujuan yang tidak akan tercapai, maka cukuplah bagimu keridaan Tuhan manusia."

Menjadi nyata di hadapan Allah berarti menjalani hidup dengan keikhlasan, tanpa berpura-pura, tanpa terjebak dalam topeng sosial yang dibuat demi menghindari penilaian buruk.

 

4. Ikhlas: Kebaikan Tanpa Tepuk Tangan

Ikhlas adalah inti dari semua amal saleh. Ia adalah kebebasan sejati dari belenggu penilaian manusia. Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa amal yang ikhlas adalah amal yang tidak terpengaruh oleh pujian atau celaan. Bahkan jika dunia tidak tahu, Allah tahu.

Kebaikan yang disembunyikan lebih dekat pada keikhlasan, karena menghindarkan kita dari rasa ingin dipuji. Sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Insan: 9:

"Sesungguhnya kami memberi makan kepadamu hanyalah untuk mengharap keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih."

Ayat ini adalah cermin dari jiwa yang merdeka melakukan kebaikan tanpa terikat pada respons manusia.

5. Perspektif Psikologis: Mengelola Pengaruh Pujian dan Celaan

Dari sisi psikologi, hidup dengan orientasi pada penilaian orang lain disebut external locus of control kita merasa nilai diri ditentukan dari luar. Akibatnya, kebahagiaan menjadi rapuh.
Sebaliknya, Islam mengajarkan internal locus of control yang sejati: meletakkan standar hidup pada syariat Allah dan rida-Nya. Inilah yang membentuk resiliensi spiritual kemampuan bangkit dari tekanan karena hati terhubung dengan Allah.

 

6. Filosofi Hidup Melampaui Pujian dan Celaan

Secara filosofis, pujian dan celaan hanyalah gema dari opini yang subjektif. Filsuf Muslim Al-Farabi menyebut kebahagiaan sejati sebagai kebahagiaan yang tidak tergantung pada faktor eksternal, melainkan pada kesempurnaan jiwa dalam mengenal dan menaati Allah.
Maka, terbang tinggi di jalan rida Ilahi berarti melampaui pasang surut opini manusia menjadi seperti burung yang terbang di atas awan, tak terganggu riuh rendah di bawah.

Hidup yang diarahkan pada rida Allah adalah hidup yang bebas dari belenggu pujian dan celaan. Kritik menjadi bahan bakar, pujian menjadi ujian, dan setiap langkah menjadi bagian dari perjalanan menuju Dia.Pada akhirnya, kita akan sadar bahwa satu senyum keridaan Allah jauh lebih berharga daripada sejuta tepuk tangan manusia.

Kisah-Kisah Inspiratif: Terbang Tinggi Melampaui Pujian dan Celaan

1. Nabi Nuh AS: Seribu Tahun Bersabar di Tengah Cemoohan

Nabi Nuh AS adalah simbol kesabaran menghadapi celaan yang tiada henti. Selama 950 tahun berdakwah (QS. Al-Ankabut: 14), beliau tidak hanya diabaikan, tetapi juga diejek dan dituduh gila. Bahkan kaumnya menutup telinga mereka agar tidak mendengar dakwahnya.
Namun, Nuh AS tetap melangkah, karena tujuannya bukan mendapatkan persetujuan kaumnya, melainkan melaksanakan perintah Allah. Inilah puncak keikhlasan , tetap menjalankan misi meski hasilnya tidak terlihat secara duniawi.

Pelajaran: Kritik dan penolakan bukanlah tanda kegagalan, tapi bisa jadi tanda bahwa kita sedang berada di jalur yang benar di mata Allah.

2. Nabi Muhammad ﷺ: Dicaci, Dilempari, tetapi Tetap Mendoakan

Rasulullah ﷺ sering dicaci sebagai penyihir, pendusta, bahkan orang gila. Ketika beliau berdakwah di Thaif, bukan hanya ditolak, tetapi juga dilempari batu hingga berdarah. Dalam kondisi itu, malaikat Jibril datang menawarkan untuk menghancurkan penduduk Thaif, namun Rasulullah ﷺ justru berdoa:

"Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Beliau mengajarkan bahwa tujuan hidup bukan membalas cercaan dengan kemarahan, tetapi menjawabnya dengan rahmat, selama itu sejalan dengan kebenaran.

Pelajaran: Jika kita mampu menahan diri dari membalas keburukan dengan keburukan, kita telah melampaui jebakan ego yang sering memenjarakan manusia.

3. Umar bin Khattab RA: Kritik Sebagai Alarm Kebaikan

Suatu hari, Umar bin Khattab RA yang dikenal tegas, sedang menyampaikan khutbah. Tiba-tiba seorang wanita memprotes pendapatnya tentang mahar. Umar langsung menerima koreksi itu, sambil berkata di hadapan banyak orang:

"Wanita itu benar, dan Umar salah."

Umar RA tidak takut kehilangan wibawa di mata manusia, karena yang ia cari adalah kebenaran di mata Allah.

Pelajaran: Orang yang hatinya tertambat pada rida Allah akan menerima kritik dengan lapang dada, bahkan jika itu datang di depan umum.

4. Imam Ahmad bin Hanbal: Dicambuk demi Kebenaran

Ketika fitnah “Khalq al-Qur’an” (paham bahwa Al-Qur’an makhluk) melanda, Imam Ahmad bin Hanbal menolak untuk mengakuinya, meski penguasa saat itu memaksa. Ia dipenjara, dicambuk berkali-kali, namun tetap bertahan. Setelah fitnah mereda, beliau tidak membalas dendam pada para penganiayanya.

Pelajaran: Kadang mempertahankan kebenaran berarti siap menerima cercaan dan penderitaan. Namun, penderitaan itu sepadan jika hasil akhirnya adalah rida Allah.

 

5. Rabi’ah al-Adawiyah: Cinta Ilahi di Atas Segalanya

Seorang sufi perempuan agung, Rabi’ah al-Adawiyah, pernah berkata:

"Aku beribadah kepada Allah bukan karena takut neraka atau berharap surga, tetapi karena aku mencintai-Nya."

Baginya, pujian atau celaan manusia tidak relevan, karena tujuannya hanya satu: Allah. Cinta seperti ini membebaskan hati dari semua penilaian eksternal.

Pelajaran: Jika hati sudah terpaut kepada Allah, dunia dan segala komentarnya tidak lagi mengikat kita.

 

Strategi Praktis untuk Melampaui Pujian dan Celaan

  1. Teguhkan Niat Setiap Hari
    Awali hari dengan doa dan niat bahwa semua aktivitas ditujukan hanya untuk Allah. Niat yang kuat akan menjadi kompas di tengah badai opini.
  2. Latih Diri Menghadapi Penolakan
    Jadikan kritik sebagai bahan evaluasi, bukan alasan berhenti. Pisahkan antara masukan yang membangun dan celaan yang bersifat pribadi.
  3. Perbanyak Amal Tersembunyi
    Lakukan kebaikan yang tidak diketahui orang lain. Ini akan melatih hati agar tidak bergantung pada pengakuan.
  4. Bergaul dengan Orang yang Menarik ke Akhirat
    Pilih lingkungan yang mendorong kita mencari rida Allah, bukan sekadar status sosial.
  5. Mengingat Kematian
    Pujian dan celaan akan hilang ketika kita meninggalkan dunia ini. Yang tersisa hanyalah catatan amal di sisi Allah.

Langkah untuk Terbang Tinggi

Hidup yang diarahkan hanya kepada rida Allah akan membebaskan kita dari jebakan opini manusia. Kita akan mampu melangkah ringan, karena beban penilaian sosial tidak lagi mengikat. Pujian menjadi ujian, celaan menjadi penguat, dan setiap langkah menjadi sayap yang membawa kita lebih dekat kepada-Nya.

Kamis, 07 Agustus 2025



Meraih Ketinggian Sejati: Menakar Cahaya Diri dari Sumber Ilahi

Di dunia yang serba kompetitif ini, ada sebagian orang yang merasa harus menjatuhkan orang lain agar dirinya tampak lebih tinggi. Mereka merendahkan, mencemooh, bahkan menjelek-jelekkan sesama, seolah-olah kehebatan mereka bisa tumbuh di atas reruntuhan harga diri orang lain. Padahal, ini bukan tanda kekuatan melainkan jeritan jiwa yang belum selesai dengan dirinya sendiri.

Merendahkan orang lain tidak akan pernah membuatmu lebih tinggi. Itu hanya trik murahan dari hati yang kosong akan nilai sejati. Jika kamu benar-benar ingin naik level dalam hidup, maka naiklah karena kemampuanmu sendiri karena usahamu, kejujuranmu, dan konsistensimu. Bukan karena puing-puing reputasi orang lain yang kamu injak.

Rasulullah ﷺ bersabda:

"Barangsiapa yang merendahkan seorang muslim (tanpa hak), maka Allah akan merendahkannya."
(HR. Ahmad)

Islam mengajarkan kita untuk menjadi pribadi yang kuat kuat dalam iman, dalam akhlak, dalam karya tanpa harus menyingkirkan orang lain secara licik. Menjadi versi terbaik dari dirimu tidak membutuhkan persaingan yang kotor, apalagi menyebar kebencian.

Karena cahaya sejati tidak butuh membakar orang lain untuk bisa bersinar. Ia bersinar dari dalam dari ketulusan, kerja keras, dan keberanian untuk terus belajar dan bertumbuh, tanpa menjatuhkan siapapun.

Jadi, jika kamu ingin dikenal, dikenalilah karena kebaikanmu. Jika kamu ingin tinggi, tinggilah karena prestasimu. Dan jika kamu ingin menjadi cahaya, pancarkanlah terangmu tanpa menggelapkan orang lain.

 

Penyakit Hati: Akar dari Kebutuhan Merendahkan Orang Lain

Tindakan merendahkan orang lain, mencemooh, atau menyebarkan aibnya adalah manifestasi dari penyakit hati, yang akarnya adalah hasad (dengki). Hasad adalah perasaan tidak suka melihat kenikmatan yang Allah berikan kepada orang lain, dan berkeinginan agar kenikmatan itu hilang. Penyakit ini sangat berbahaya, bahkan Rasulullah ﷺ pernah bersabda:

"Jauhilah oleh kalian hasad (dengki), karena hasad itu akan memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar." (HR. Abu Daud)

Hadis ini menggambarkan betapa hasad tidak hanya merusak hubungan antarmanusia, tetapi juga menghanguskan pahala amal ibadah kita. Seseorang yang dengki akan sibuk memikirkan orang lain, mencari-cari kekurangannya, dan merendahkannya, sehingga ia lupa untuk memperbaiki diri sendiri.

Allah Swt. juga mengingatkan kita dalam firman-Nya:

"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena boleh jadi) mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena boleh jadi) wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok)." (QS. Al-Hujurat: 11)

Ayat ini dengan tegas melarang kita merendahkan atau meremehkan orang lain. Mengapa? Karena hanya Allah yang Maha Mengetahui kedudukan seseorang. Bisa jadi, orang yang kita remehkan memiliki derajat yang lebih mulia di sisi Allah karena ketakwaan, keikhlasan, atau amalan rahasianya.

 

Membangun Ketinggian Diri dengan Bimbingan Syariat

Lalu, bagaimana cara meraih ketinggian dan kehormatan diri yang sejati? Islam mengajarkan bahwa kehormatan itu datang dari Allah, bukan dari pengakuan manusia yang sementara. Berikut adalah beberapa prinsip yang bisa kita pegang:

  1. Fokus pada Takwa, Bukan pada Kedudukan Manusia Ketinggian sejati diukur dari ketakwaan, bukan popularitas atau jabatan. Allah Swt. berfirman:

"Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa." (QS. Al-Hujurat: 13)

Oleh karena itu, alih-alih sibuk menjatuhkan orang lain, fokuslah untuk memperbaiki hubungan kita dengan Allah. Dengan memperkuat takwa, kita akan menemukan kehormatan yang tidak bisa direnggut oleh siapa pun.

  1. Menebarkan Kebaikan, Bukan Kebencian Rasulullah ﷺ bersabda: "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya." (HR. Ahmad)

Kutipan ini mengajarkan kita bahwa kehormatan dan keagungan sejati diperoleh dengan memberi manfaat, bukan dengan merugikan. Ketika kita membantu, mendukung, atau bahkan sekadar mendoakan kebaikan bagi orang lain, sesungguhnya kita sedang membangun "cahaya" yang akan menerangi jalan kita sendiri.

  1. Menghargai Orang Lain Adalah Cermin Menghargai Diri Sendiri Imam Ghazali, seorang ulama besar, pernah mengatakan bahwa "salah satu tanda kesempurnaan akal adalah kemampuan untuk menghargai orang lain." Dengan menghargai orang lain, kita menunjukkan bahwa diri kita memiliki keluasan hati dan pikiran. Sebaliknya, orang yang terus-menerus merendahkan orang lain menunjukkan bahwa ia sedang berjuang dengan kelemahan di dalam dirinya sendiri.

Cahaya Sejati Datang dari Hati yang Bersih

Cahaya sejati tidak perlu membakar orang lain untuk bisa bersinar. Ia bersumber dari hati yang bersih, yang dipenuhi dengan takwa, keikhlasan, dan kasih sayang. Cahaya ini memancar dari dalam, menerangi jalan, dan membawa keberkahan bagi diri sendiri serta lingkungan sekitarnya.

Jadi, jika kamu ingin dikenal, kenalilah karena kebaikanmu. Jika kamu ingin tinggi, tinggilah karena prestasimu yang jujur dan tulus. Dan jika kamu ingin menjadi cahaya, pancarkanlah terangmu tanpa menggelapkan orang lain, karena hakikatnya, dengan menerangi orang lain, kita juga sedang menerangi jalan kita sendiri.