Teks Berjalan

Selamat Datang di Blog abuyasin.com Selamat Datang di Blog abuyasin.com

Selasa, 26 Agustus 2025



Hidup adalah Pilihanmu, Maka Jalani dengan Penuh Makna

Dalam setiap tarikan napas, kita selalu dihadapkan pada satu kenyataan besar: hidup adalah pilihan. Setiap langkah yang kita ambil hari ini, sekecil apa pun, adalah benang yang akan membentuk kain kehidupan kita di masa depan.

Ungkapan sederhana, “Life is what you make it, so make it well,” bukan sekadar kalimat motivasi, melainkan filosofi universal yang hidup dalam ajaran para bijak dari Timur hingga Barat, dari filsafat kuno hingga Al-Qur’an dan Hadis.

Kebijaksanaan dari Timur dan Barat

Filsafat Stoik yang digagas Seneca mengajarkan: “It is not what happens to you, but how you react to it that matters.” (Bukan apa yang terjadi padamu, tetapi bagaimana engkau bereaksi terhadapnya yang terpenting). Pesan ini mengajarkan bahwa kendali sejati ada dalam diri, bukan di luar kita.

Stephen R. Covey, penulis The 7 Habits of Highly Effective People, menegaskan pentingnya proaktivitas kebebasan memilih sikap dalam setiap keadaan. Menurutnya, kunci hidup efektif terletak pada kesadaran bahwa kita bukan makhluk reaktif, tetapi makhluk yang memiliki kehendak untuk memilih.

Di sisi lain, Napoleon Hill dalam Think and Grow Rich menekankan kekuatan tujuan (definiteness of purpose). Hidup tanpa arah jelas adalah pemborosan, sementara hidup dengan tujuan memberi kita energi dan fokus yang luar biasa.

Perspektif Islam: Ikhtiar, Takdir, dan Tanggung Jawab

Islam menegaskan bahwa manusia bukanlah sekadar wayang yang digerakkan takdir. Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.”
(QS. Ar-Ra’d: 11)

Ayat ini adalah landasan utama bahwa pilihan, usaha, dan ikhtiar manusia menjadi penentu perubahan nasib.

Nabi Muhammad SAW bersabda:

“Ikatlah untamu, kemudian bertawakallah.”
(HR. Tirmidzi)

Hadis ini menegaskan keseimbangan antara usaha maksimal (ikhtiar) dan kepasrahan (tawakal) kepada Allah. Umar bin Khattab RA pun menolak masuk ke kota yang terkena wabah dengan bijak, seraya berkata, “Kita lari dari takdir menuju takdir yang lain.” Sebuah contoh nyata bagaimana ikhtiar adalah bagian dari ketetapan Ilahi.

Para ulama juga menekankan pentingnya memilih jalan yang benar dalam hidup. Imam Al-Ghazali berkata:

“Hidup ini hanyalah perjalanan menuju akhirat. Maka barang siapa yang sadar, ia akan mempersiapkan bekalnya.”

Bagaimana Menjalani Hidup dengan Penuh Makna?

1. Bangun Kesadaran Diri (Muhasabah dan Refleksi)

Rumi pernah berkata, “Ketika kamu mulai berjalan di jalan, jalan itu akan muncul.” Refleksi diri adalah kompas agar tidak terseret arus dunia. Dalam Islam, muhasabah dianjurkan untuk menimbang setiap amal agar kita kembali kepada jalan yang benar.

2. Ambil Tanggung Jawab Penuh

Jangan biarkan hidup kita dikendalikan oleh masa lalu, orang lain, atau keadaan. Zig Ziglar, motivator Amerika, berkata: “You are the only person on earth who can use your ability.” Dalam Islam, konsep ini sejalan dengan taklif (beban tanggung jawab) bahwa setiap manusia bertanggung jawab atas amalnya sendiri.

3. Tentukan Tujuan yang Jelas

Dalam Islam, tujuan hidup tertinggi adalah mencari ridha Allah. Firman-Nya:

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”
(QS. Adz-Dzariyat: 56)

Di level praktis, tujuan ini bisa diwujudkan dengan menolong sesama, menuntut ilmu, beramal saleh, hingga membangun karya bermanfaat.

4. Jadikan Kesulitan sebagai Guru

Kahlil Gibran berkata: “Kesabaran adalah pohon yang akarnya pahit, tetapi buahnya manis.” Dalam Islam, sabar bukanlah pasrah, melainkan kekuatan menerima cobaan dan belajar darinya. Rasulullah SAW bersabda:

“Sungguh menakjubkan perkara seorang mukmin. Sesungguhnya segala urusannya adalah baik. Jika mendapat nikmat, ia bersyukur, maka itu baik baginya. Jika tertimpa musibah, ia bersabar, maka itu baik baginya.”
(HR. Muslim)

5. Beri Makna pada Setiap Aksi

Dalam Islam ada konsep ihsan: berbuat sebaik-baiknya seolah-olah kita melihat Allah. Dengan ihsan, setiap pekerjaan bahkan yang sederhana berubah menjadi ibadah. Covey menyebut ini sebagai living with principle, sementara ulama menyebutnya amal saleh yang ikhlas.

Penutup: Hidup sebagai Kanvas, Kita adalah Senimannya

Hidup adalah kanvas kosong. Setiap hari Allah memberi kita kuas dan palet warna. Pertanyaannya bukan apakah kita akan melukis, tetapi bagaimana kita akan melukisnya. Apakah sekadar coretan tanpa makna, atau mahakarya penuh nilai yang diridhai Allah?

Jika para filsuf Barat mengajarkan self-mastery, maka Islam menyempurnakannya dengan orientasi akhirat. Hidup bukan sekadar menjadi produktif atau sukses di dunia, melainkan menjalani pilihan dengan penuh makna agar bernilai di hadapan Allah.

Maka, jalani hidupmu dengan kesadaran, tanggung jawab, tujuan, kesabaran, dan ihsan. Karena pada akhirnya, pilihanmu hari ini adalah warisan yang akan kau tinggalkan, baik untuk dunia maupun akhiratmu.

 

Senin, 25 Agustus 2025

  



Tindakan: Kunci Membuka Keajaiban dalam Hidup

Pernahkah Anda merasa terjebak dalam rutinitas, berharap sesuatu yang luar biasa akan terjadi, namun hari demi hari tetap sama saja? Banyak orang menginginkan perubahan, tetapi sedikit yang benar-benar bertindak untuk mewujudkannya. Ungkapan terkenal “No action, nothing happens. When you take action, miracles happen” adalah pengingat kuat bahwa kita tidak bisa hanya menunggu keajaiban datang. Keajaiban tidak muncul dari ruang hampa ia tercipta melalui keberanian kita untuk melangkah.

Berhenti Berharap, Mulai Bertindak

Dalam psikologi umum, ada istilah learned helplessness keadaan di mana seseorang terbiasa menyerah karena merasa tindakannya tidak akan mengubah apa pun. Padahal, sering kali yang menghalangi kesuksesan bukanlah kurangnya kemampuan, melainkan keengganan untuk mengambil langkah pertama.

Anthony Robbins, seorang motivator dunia, pernah mengatakan:

“The path to success is to take massive, determined action.”
(Jalan menuju kesuksesan adalah dengan mengambil tindakan yang masif dan penuh tekad.)

Sementara itu, Stephen R. Covey, penulis The 7 Habits of Highly Effective People, menekankan pentingnya proaktivitas. Menurutnya, orang yang proaktif tidak menunggu keadaan berubah, tetapi merekalah yang menggerakkan perubahan itu.

Dalam Islam, semangat ini sejalan dengan firman Allah dalam Al-Qur’an:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
(QS. Ar-Ra’d: 11)

Ayat ini menegaskan bahwa perubahan bukanlah hadiah instan, melainkan hasil dari ikhtiar dan tindakan nyata. Doa tanpa usaha adalah lumpuh, dan usaha tanpa doa adalah sombong. Keduanya harus berjalan beriringan.

Mengganti Angan dengan Aksi

Bayangkan seseorang ingin memulai bisnis. Ia memiliki ide brilian, rencana matang, dan semangat membara. Namun, jika ide itu hanya tersimpan di kepala, tidak ada pelanggan yang datang, tidak ada produk yang terjual, dan tidak ada keuntungan yang diraih. Ide yang tidak diiringi tindakan sama seperti benih yang tidak pernah ditanam ia tidak akan pernah tumbuh.

Zig Ziglar, motivator asal Amerika, menegaskan:

“You don’t have to be great to start, but you have to start to be great.”
(Anda tidak perlu menjadi hebat untuk memulai, tetapi Anda harus memulai untuk menjadi hebat.)

Dalam perspektif Islam, Rasulullah ﷺ pun mengajarkan pentingnya bertindak. Dalam sebuah hadits, beliau bersabda:

“Jika kiamat tiba sementara di tangan salah seorang di antara kalian ada bibit kurma, maka tanamlah bibit itu.”
(HR. Ahmad)

Hadits ini menggambarkan betapa mulianya sebuah tindakan, bahkan ketika peluang terlihat sempit. Tindakan kecil pun bisa bernilai besar di hadapan Allah.

Tindakan Membuka Pintu Kesempatan

Keajaiban yang dimaksud dalam ungkapan tadi bukanlah fenomena gaib yang turun tiba-tiba. Keajaiban adalah hasil luar biasa yang muncul dari rangkaian langkah konsisten. Saat Anda bertindak, Anda membuka pintu-pintu kesempatan:

  • Anda bertemu orang baru yang bisa menjadi mentor atau rekan bisnis.
  • Anda belajar dari setiap kegagalan dan kesuksesan.
  • Anda menemukan solusi yang tidak akan pernah terlihat jika hanya diam di tempat.

Brian Tracy, pakar pengembangan diri, berkata:

“Action is the foundational key to all success.”
(Tindakan adalah kunci dasar dari semua kesuksesan.)

Dalam Islam, momentum tindakan juga sangat dijaga. Nabi ﷺ mengingatkan dalam hadits riwayat Bukhari:
“Amal yang paling dicintai oleh Allah adalah amal yang terus-menerus meskipun sedikit.”

Ini berarti konsistensi dalam bertindak jauh lebih penting daripada tindakan besar yang hanya sekali dilakukan. Setiap langkah kecil adalah investasi menuju hasil besar.

Psikologi Tindakan: Dari Niat ke Realisasi

Psikologi modern menjelaskan bahwa tindakan menciptakan momentum. Semakin banyak langkah kecil yang kita lakukan, semakin besar kemungkinan kita untuk terus bergerak maju.

Hal ini selaras dengan konsep kaizen dari Jepang—perbaikan terus-menerus lewat langkah kecil. Sementara dalam Islam, hal ini dekat dengan konsep istiqamah—teguh dan konsisten dalam kebaikan.

Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin juga menekankan pentingnya amal nyata sebagai bukti keimanan. Baginya, iman bukan sekadar ucapan di lisan, melainkan keyakinan yang diwujudkan dalam perbuatan.

Tindakan Melawan Ketakutan dan Keraguan

Salah satu alasan utama orang enggan bertindak adalah rasa takut: takut gagal, takut ditolak, atau takut tidak cukup baik. Padahal, dalam psikologi dikenal istilah exposure therapy semakin kita menghadapi sesuatu yang kita takuti, semakin berkurang rasa takut itu.

Dalam Islam, rasa takut dan ragu dihadapi dengan tawakal. Allah berfirman:

“Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya).”
(QS. At-Talaq: 3)

Artinya, setelah berusaha maksimal, kita serahkan hasilnya kepada Allah. Dengan begitu, ketakutan berkurang, karena kita sadar kendali tertinggi ada di tangan-Nya.

Langkah Praktis untuk Memulai Tindakan

1.     Tetapkan niat yang jelas. Dalam Islam, setiap amal tergantung pada niatnya (HR. Bukhari-Muslim). Niat adalah bahan bakar tindakan.

2.     Mulai dari yang kecil. Jangan menunggu keadaan sempurna. Satu langkah kecil lebih baik daripada seribu rencana tanpa aksi.

3.     Konsisten. Lebih baik sedikit tetapi rutin, daripada besar namun berhenti di tengah jalan.

4.     Evaluasi dan belajar. Setiap kegagalan adalah guru berharga.

5.     Bertawakal. Setelah berusaha, serahkan hasilnya pada Allah.

Penutup: Jadilah Agen Keajaiban

Keajaiban tidak terjadi pada mereka yang pasif. Ia hadir bagi mereka yang berani bertindak, berjuang, dan terus melangkah. Ingatlah, doa tanpa usaha adalah kelemahan, dan usaha tanpa doa adalah kesombongan.

Jika Anda ingin perubahan, jangan menunggu. Jadilah agen perubahan itu. Ambil satu langkah kecil hari ini—mendaftar kursus, menulis satu halaman, atau menghubungi calon rekan bisnis. Karena hanya ketika Anda mengambil tindakan, barulah keajaiban benar-benar dapat terjadi.

Seperti kata Rumi, penyair sufi besar:

“As you start to walk on the way, the way appears.”
(Saat engkau mulai berjalan di jalan itu, jalan akan tampak.)

Maka, jangan biarkan hidup berlalu tanpa langkah. Mulailah hari ini, karena tindakan Anda adalah kunci dari setiap keajaiban yang Anda impikan.

 

Jumat, 22 Agustus 2025



 Al-Qur’an dan Kesehatan Mental: Menemukan Kedamaian di Tengah Badai Doomscrolling

Sebelum ilmu psikologi modern lahir, Al-Qur’an sudah memberikan isyarat tentang faktor-faktor yang dapat merusak kesehatan mental manusia. Manusia bukan hanya makhluk biologis yang membutuhkan stimulasi kimia otak untuk bahagia, melainkan makhluk spiritual yang hakikatnya diciptakan untuk berhubungan dengan Allah, kebenaran, dan makna.

Fenomena doomscrolling yaitu kebiasaan terus-menerus menelusuri media sosial atau berita negatif tanpa henti  kini menjadi salah satu penyebab utama meningkatnya angka anxiety (kecemasan), burnout (kelelahan mental dan emosional), overthinking (berpikir berlebihan), hingga existential vacuum (kekosongan makna hidup). Psikologi modern mengaitkan hal ini dengan kecanduan dopamin sesaat dari media sosial, sedangkan psikologi Islam menyebutnya sebagai bentuk kebutaan spiritual.

Artikel ini akan membahas bagaimana Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah ﷺ memberikan solusi konkret bagi kesehatan mental, dilengkapi dengan penjelasan dari perspektif psikologi modern.

1. Doomscrolling dan Krisis Mental Modern

Doomscrolling adalah aktivitas terjebak dalam arus konten digital tanpa henti, meskipun konten tersebut seringkali negatif, dangkal, atau tidak bermakna. Fenomena ini menimbulkan efek psikologis serius:

  • Anxiety dan depresi: riset neurosains menunjukkan bahwa terlalu sering terpapar konten negatif meningkatkan hormon kortisol (hormon stres).
  • Burnout dan kehilangan fokus: banjir informasi membuat otak kelelahan, sehingga sulit untuk mendalami hal-hal bermakna.
  • Existential vacuum: Viktor Frankl, tokoh psikologi eksistensial, menyebut kekosongan makna hidup ini sebagai penyebab utama krisis mental modern.

Al-Qur’an jauh sebelumnya sudah menyinggung hal ini. Allah berfirman:

"Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta."
(QS. Thaha: 124)

Ayat ini menggambarkan bahwa orang yang terlalu sibuk dengan dunia, namun lalai dari Al-Qur’an dan zikir, akan mengalami hidup yang “sempit”  sebuah istilah yang relevan dengan krisis mental modern: kecemasan, stres, dan kekosongan.

 

2. Dampak Neuropsikologi Media Sosial

Psikologi modern menyoroti peran dopamin, neurotransmitter yang memicu rasa senang. Aktivitas media sosial (like, komentar, notifikasi) memicu lonjakan dopamin. Namun, dopamin yang tinggi secara instan justru:

  1. Menurunkan motivasi jangka panjang
    Penelitian menunjukkan lonjakan dopamin sesaat membuat otak “malas” mencari kebahagiaan dari aktivitas yang bermakna (seperti ibadah atau membaca).
  2. Memicu kecanduan dan anxiety
    Konten yang terus berganti cepat membuat otak sulit fokus, sehingga menurunkan ketenangan batin.
  3. Meningkatkan depresi
    Perbandingan sosial (social comparison) dari media membuat banyak orang merasa hidupnya tidak cukup, yang memperparah gejala depresi.

Hal ini selaras dengan sabda Rasulullah ﷺ:

“Janganlah kalian banyak tertawa, karena banyak tertawa itu mematikan hati.”
(HR. Ibnu Majah no. 4193)

Meski hadis ini berbicara tentang tawa berlebihan, maknanya relevan: kesenangan sesaat yang berlebihan (termasuk hiburan kosong dari media sosial) membuat hati mati  tidak lagi peka terhadap makna dan ketenangan spiritual.

 

3. Spiritualitas Sebagai Antidepresan Alami

Islam menekankan bahwa kesehatan mental sejati tidak bisa dipisahkan dari koneksi spiritual kepada Allah.

a. Sholat Fajar dan Tahajud

Sholat fajar dan tahajud memiliki efek menstabilkan emosi. Allah berfirman:

“Dan pada sebagian malam hari, lakukanlah salat tahajud sebagai ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.”
(QS. Al-Isra’: 79)

Riset menunjukkan bahwa sholat malam dapat menurunkan hormon kortisol (stres) dan meningkatkan keseimbangan dopamin. Dengan kata lain, tahajud adalah terapi alami untuk mengatasi burnout dan anxiety.

b. Dzikir dan Tilawah Al-Qur’an

Allah berfirman:

"Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram."
(QS. Ar-Ra’d: 28)

Dzikir dan tilawah memberi ketenangan yang tidak diberikan oleh konten digital. Neurosains membuktikan bahwa meditasi spiritual (termasuk dzikir) meningkatkan gelombang alfa di otak, yang berkaitan dengan relaksasi dan fokus.

c. Tawakal sebagai Terapi Anxiety

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya Allah akan memberi rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberi rezeki kepada burung: ia pergi di pagi hari dengan perut kosong, lalu pulang sore hari dengan perut kenyang.”
(HR. Tirmidzi no. 2344)

Tawakal mengajarkan pelepasan beban berlebihan yang seringkali menjadi sumber overthinking. Secara psikologis, tawakal mirip dengan konsep acceptance dalam terapi modern — menerima hal-hal yang di luar kendali kita.

4. Integrasi Psikologi Islam dan Psikologi Modern

Psikologi modern berfokus pada aspek biologis dan kognitif, sedangkan psikologi Islam menambahkan aspek spiritual. Integrasi keduanya melahirkan pendekatan yang lebih utuh:

  • Psikologi modern: menjelaskan bahwa doomscrolling menyebabkan overstimulasi dopamin, menurunkan motivasi, dan meningkatkan anxiety.
  • Psikologi Islam: menjelaskan bahwa lalai dari dzikir dan Al-Qur’an menyebabkan hati sempit, sebagaimana disebut dalam QS. Thaha: 124.

Dengan menggabungkan keduanya, kita memahami bahwa krisis mental modern bukan hanya masalah otak, tapi juga masalah hati.

5. Solusi Praktis: Sunnah Sebagai Resep Kesehatan Mental

Rasulullah ﷺ telah memberikan resep yang sejalan dengan ilmu psikologi modern:

  1. Mengurangi stimulasi berlebihan → Sunnah mengajarkan tidak berlebihan dalam dunia, termasuk membatasi interaksi yang sia-sia.
  2. Meningkatkan koneksi spiritual → Sholat fajar, tahajud, dzikir, dan tilawah.
  3. Menemukan makna → Viktor Frankl menekankan bahwa manusia bertahan hidup karena makna. Islam sudah lama mengajarkan tujuan hidup:

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”
(QS. Adz-Dzariyat: 56)

 Kesimpulan

Doomscrolling hanyalah salah satu wajah modern dari lalai terhadap Allah. Ketika jiwa kita terus dijejali konten kosong, hati memberontak mencari makna, sementara pikiran candu pada dopamin sesaat.

Al-Qur’an sudah memprediksi bahwa berpaling dari Allah akan menghasilkan kehidupan yang sempit (QS. Thaha: 124). Psikologi modern memperkuatnya dengan data neurosains tentang dopamin, overstimulasi, dan kecanduan media sosial.

Solusi yang ditawarkan Rasulullah ﷺ bukan sekadar ritual, tetapi resep kesehatan mental sejati: sholat fajar dan tahajud menstabilkan dopamin, dzikir dan tilawah menenangkan emosi, tawakal mengurangi anxiety, dan seluruh sunnah menuntun pada makna hidup yang lebih tinggi.

Akhirnya, kesehatan mental bukan hanya tentang terapi dan obat-obatan, tapi tentang kembali kepada Allah. Doa kita adalah sebagaimana doa Nabi:

“Ya Allah, jadikanlah kami hamba yang selalu mengingat-Mu di kala sempit maupun lapang.”

 

Senin, 11 Agustus 2025



Ilmu: Warisan yang Abadi, Harta: Titipan yang Fana

Dalam kehidupan, manusia sering mengejar tiga hal: kegembiraan, kemuliaan, dan ketenaran. Namun, sumber dari ketiga hal itu menentukan apakah ia akan kekal atau sirna. Jika bersumber dari ilmu, maka ia akan abadi. Tetapi jika bersumber dari harta, maka ia hanya sementara.

Kegembiraan karena ilmu tidak akan pernah pudar, karena ilmu adalah cahaya yang menerangi hati dan pikiran. Imam Asy-Syafi’i berkata:

"Ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak diberikan kepada orang yang bermaksiat."

Ketika kita memahami sesuatu, mengajarkannya, dan bermanfaat bagi orang lain, kegembiraan itu akan terus hidup meski tubuh kita telah tiada. Setiap orang yang mendapat manfaat dari ilmu kita adalah rantai pahala yang tak terputus, sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

"Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya."
(HR. Muslim)

Kemuliaan karena ilmu akan lestari. Harta dapat membuat seseorang dihormati, tetapi seringkali hormat itu bersifat basa-basi. Sementara kemuliaan dari ilmu lahir dari pengakuan tulus atas manfaat yang ia berikan kepada umat. Lihatlah nama-nama ulama besar Imam Bukhari, Imam Nawawi, Ibnu Sina kemuliaan mereka bertahan ratusan tahun, bukan karena kekayaan, tetapi karena ilmu yang mereka wariskan.

Ketenaran karena ilmu akan kekal. Ketenaran karena harta biasanya memudar seiring berkurangnya harta itu sendiri. Tetapi ketenaran karena ilmu akan terus disebut, dikaji, dan menjadi rujukan lintas zaman.

 

Kegembiraan karena Ilmu: Cahaya yang Tak Pernah Padam

Kegembiraan yang lahir dari ilmu jauh melampaui euforia sesaat yang ditawarkan oleh harta. Membeli barang baru mungkin membuat kita bahagia, tetapi perasaan itu cepat memudar. Sebaliknya, saat kita memahami sebuah konsep yang rumit, menemukan solusi untuk sebuah masalah, atau mengajarkan sesuatu yang bermanfaat kepada orang lain, ada rasa kepuasan yang mendalam dan abadi. Ini adalah kegembiraan yang berasal dari kebermanfaatan.

Imam Asy-Syafi’i pernah berkata, "Ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak diberikan kepada orang yang bermaksiat." Kutipan ini mengingatkan kita bahwa ilmu bukan sekadar akumulasi fakta, tetapi sebuah pencerahan spiritual. Ia adalah cahaya yang menuntun hati dan pikiran, menghindarkan kita dari kegelapan kebodohan dan maksiat. Saat ilmu itu kita bagikan dan bermanfaat bagi orang lain, ia akan terus hidup bahkan setelah kita tiada.

Sesuai sabda Nabi ﷺ, "Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya." (HR. Muslim). Ilmu yang bermanfaat adalah salah satu dari tiga amalan yang pahalanya terus mengalir. Setiap orang yang mendapat manfaat dari ilmu kita, setiap gagasan yang tumbuh darinya, adalah rantai pahala yang tak terputus.

 

Kemuliaan yang Lestari: Pengakuan Tulus, Bukan Basa-Basi

Kemuliaan yang bersumber dari harta seringkali hanyalah topeng. Orang-orang menghormati si kaya karena kekayaannya, bukan karena karakternya. Hormat ini bersifat transaksional dan akan hilang begitu harta itu habis. Ini adalah kemuliaan yang rapuh, mudah hancur oleh keangkuhan dan kesombongan.

Lain halnya dengan kemuliaan yang lahir dari ilmu. Kemuliaan ini berasal dari pengakuan tulus atas manfaat yang diberikan oleh seorang berilmu kepada umat. Kita mengenang nama-nama besar seperti Imam Bukhari, Imam Nawawi, dan Ibnu Sina—bukan karena kekayaan mereka, melainkan karena warisan ilmu yang mereka tinggalkan. Karya-karya mereka, yang ditulis ratusan tahun lalu, masih dipelajari dan menjadi rujukan hingga kini. Kemuliaan mereka abadi karena ilmu mereka memberikan kontribusi nyata bagi peradaban.

 

 

Harta: Titipan yang Penuh Tanggung Jawab

Tentu, tidak ada yang salah dengan memiliki harta. Dalam Islam, harta yang diperoleh secara halal dan dikelola dengan bijak dapat menjadi jalan menuju surga. Namun, pandangan kita terhadap harta haruslah tepat: ia adalah titipan dari Allah.

Allah mengingatkan kita dalam Al-Qur'an, "Janganlah sekali-kali kamu kagum pada harta dan anak-anak mereka. Sesungguhnya Allah bermaksud dengan itu hendak menyiksa mereka dalam kehidupan dunia dan agar nyawa mereka melayang, sedangkan mereka dalam keadaan kafir." (QS. At-Taubah: 55). Ayat ini memperingatkan kita bahwa keterikatan yang berlebihan pada harta dapat menjadi sumber kesengsaraan. Mencintai harta secara membabi buta akan membuat kita lalai, serakah, dan takut kehilangannya, yang pada akhirnya membawa azab di dunia dan akhirat.

Kegembiraan yang cepat sirna, kemuliaan yang rapuh, dan ketenaran yang memudar adalah konsekuensi dari menjadikan harta sebagai tujuan utama. Sementara orang kaya yang dielu-elukan hari ini mungkin namanya dilupakan esok, orang berilmu akan terus dikenang dan disebut sepanjang masa.

Jadikan Harta Sebagai Pelayan Ilmu

Perkataan Imam Ali bin Abi Thalib merangkum esensi perbandingan ini dengan sempurna: "Ilmu lebih baik daripada harta. Ilmu akan menjagamu, sedangkan engkau yang harus menjaga harta. Ilmu bertambah jika diamalkan, sedangkan harta akan berkurang jika dibelanjakan."

Maka, sudah saatnya kita mengubah fokus. Kejar dan peliharalah ilmu. Jadikan harta sebagai pelayan ilmu, bukan tuannya. Gunakan harta untuk mendukung pencarian dan penyebaran ilmu. Dengan demikian, harta yang fana dapat menjadi wasilah untuk meraih ilmu yang abadi. Karena pada akhirnya, yang kita bawa mati bukanlah tumpukan kekayaan, melainkan amal dan warisan ilmu yang kita tinggalkan.

 



 Semua Manusia Sama di Mata Allah

Sering kali kita merasa minder dan kecil saat berhadapan dengan seseorang yang memiliki status tinggi, jabatan mentereng, atau kekayaan melimpah. Kita melihat mereka seolah-olah sempurna, tak pernah lelah, dan tak pernah goyah. Namun, pernahkah kita berhenti sejenak dan berpikir bahwa di balik semua itu, mereka juga adalah manusia biasa, sama seperti kita? Mereka makan, minum, tidur, dan bahkan memiliki rasa takut serta keraguan.

Pendekatan secara psikologi Islam mengajarkan kita bahwa semua manusia diciptakan setara di hadapan Allah SWT. Allah tidak melihat status sosial, harta, atau jabatan, melainkan ketakwaan dan amal perbuatan kita. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Hujurat ayat 13:

Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.

Ayat ini menegaskan bahwa satu-satunya tolok ukur kemuliaan di mata Allah adalah ketakwaan. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi kita untuk merasa minder atau rendah diri di hadapan siapa pun, karena pada dasarnya, kita semua adalah hamba Allah yang memiliki potensi yang sama untuk menjadi mulia di sisi-Nya.

Pendekatan psikologi umum juga mendukung hal ini. Teori psikologi humanistik, misalnya, menekankan pada martabat dan nilai intrinsik setiap individu. Teori ini mengajarkan bahwa setiap orang memiliki potensi untuk berkembang dan meraih kebahagiaan. Perasaan minder sering kali muncul akibat perbandingan sosial yang tidak sehat, di mana kita membandingkan kelemahan diri kita dengan kelebihan orang lain. Padahal, kita tidak pernah tahu perjuangan, air mata, dan pengorbanan yang telah mereka lalui.

Seorang motivator dunia Barat, Les Brown, pernah berkata, “Someone’s opinion of you does not have to become your reality.” Perkataan ini bisa menjadi pengingat yang kuat bagi kita. Apa pun pendapat orang lain tentang kita, entah itu pujian atau cemoohan, tidak harus menjadi kenyataan yang kita yakini. Realitas kita adalah apa yang kita putuskan untuk kita yakini dan kita bangun sendiri.

Demikian pula, motivator muslim, Ustadz Felix Siauw, sering mengingatkan kita bahwa semua orang punya masalah dan ujiannya masing-masing. Ia menyarankan kita untuk fokus pada perbaikan diri dan mendekatkan diri kepada Allah, bukan sibuk membandingkan diri dengan orang lain. Dengan fokus pada diri sendiri dan tujuan hidup, kita akan menemukan kepercayaan diri yang kokoh, tidak peduli siapa pun yang kita hadapi.

Penting untuk diingat bahwa orang-orang yang sukses dan berstatus tinggi juga pernah merasakan ketakutan dan keraguan. Perbedaannya bukan terletak pada ketiadaan rasa takut, melainkan pada keberanian untuk tetap melangkah meskipun takut. Mereka berani mengambil risiko, berani gagal, dan berani untuk bangkit lagi.

Jadi, ketika kita berhadapan dengan seseorang yang kita anggap "lebih hebat," cobalah untuk mengubah pola pikir kita. Jangan lihat mereka sebagai sosok yang sempurna dan tidak tersentuh. Lihatlah mereka sebagai manusia biasa yang juga pernah berjuang, gagal, dan bangkit. Dengan demikian, kita akan menyadari bahwa kita juga memiliki potensi yang sama untuk menjadi kuat dan sukses.

 

Bangun Kepercayaan Diri dari Dalam

Jadi, apa yang bisa kita lakukan untuk membangun kepercayaan diri yang kokoh?

  1. Fokus pada Diri Sendiri: Berhenti membandingkan diri dengan orang lain. Alihkan energi dan perhatian kita untuk mengembangkan potensi diri dan memperbaiki kekurangan.
  2. Sadari Nilai Diri: Ingatlah bahwa setiap orang memiliki keunikan dan keistimewaan. Tidak perlu menjadi orang lain untuk merasa berharga.
  3. Tingkatkan Ketakwaan: Dekatkan diri kepada Allah SWT, karena dengan begitu, hati kita akan menjadi lebih tenang dan kita akan menyadari bahwa semua yang kita miliki adalah titipan-Nya.
  4. Hadapi Ketakutan: Setiap kali rasa takut muncul, sadari bahwa itu adalah hal yang wajar. Jadikan rasa takut itu sebagai motivasi untuk terus melangkah maju.

Ingatlah, kita semua adalah manusia yang sama. Yang membedakan kita adalah seberapa besar keberanian kita untuk menghadapi hidup dan meraih apa yang kita impikan.

 

Mengikis Minder, Menumbuhkan Kemuliaan

1. Kesetaraan dalam Sejarah Islam

Banyak kisah di masa Rasulullah SAW yang menunjukkan bahwa ukuran kemuliaan hanya pada ketakwaan, bukan status. Salah satunya kisah Bilal bin Rabah RA. Beliau adalah seorang budak hitam yang dibebaskan oleh Abu Bakar RA dan kemudian menjadi muazin pribadi Rasulullah. Dalam masyarakat jahiliyah, budak adalah kasta paling rendah. Namun, Rasulullah mengangkatnya ke posisi mulia, bahkan pernah berkata:

“Aku mendengar suara sandalmu di surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Pesan moralnya jelas: warna kulit, asal usul, dan status ekonomi tidak menghalangi kemuliaan di sisi Allah.

2. Psikologi Kepercayaan Diri dalam Islam

Dalam kerangka psikologi Islam, rasa minder sering muncul dari ghaflah (kelalaian) terhadap potensi diri yang Allah berikan. Menurut Prof. Malik Badri dalam Contemplation: An Islamic Psychospiritual Study, kepercayaan diri yang sehat dalam Islam lahir dari kesadaran bahwa diri adalah amanah Allah yang harus dimaksimalkan, bukan dibandingkan secara destruktif dengan orang lain.

3. Dukungan dari Psikologi Barat

Psikologi positif yang dikembangkan Martin Seligman menekankan konsep signature strengths kekuatan unik yang dimiliki setiap orang. Seligman menemukan bahwa orang yang menggunakan kekuatan uniknya untuk tujuan yang bermakna akan memiliki harga diri lebih tinggi dan hidup lebih bahagia, terlepas dari status sosial.

4. Analogi Cermin

Rasa minder ibarat kita berdiri di depan cermin yang kotor. Kita tidak melihat wajah kita yang sebenarnya, tapi pantulan yang buram. Membersihkan cermin itu adalah tugas kita dengan membangun takwa, memperbaiki akhlak, dan mengasah potensi hingga kita melihat diri sebagaimana Allah memandang kita: makhluk mulia yang diciptakan untuk menjadi khalifah di bumi.

Kisah Inspiratif Penutup

Di masa kekhalifahan Umar bin Khattab RA, ada seorang laki-laki miskin yang selalu hadir di masjid. Suatu hari, Umar melihatnya wafat tanpa banyak orang mengenalnya. Umar menangis dan berkata:

“Sungguh, dunia telah kehilangan seorang yang mulia di sisi Allah, meskipun manusia tidak mengetahuinya.”

Kisah ini mengajarkan bahwa ukuran kemuliaan sejati bukan di media, bukan di papan penghargaan, tapi di sisi Allah yang Maha Mengetahui.