Teks Berjalan

Selamat Datang di Blog abuyasin.com Selamat Datang di Blog abuyasin.com

Selasa, 29 Juli 2025



 Syukur yang Menenangkan: Merajut Ketenangan di Tengah Arus Keinginan Tak Berujung

Dalam pusaran kehidupan modern yang serba cepat dan kompetitif, manusia seringkali terjebak dalam perlombaan tanpa akhir untuk memiliki lebih, menjadi lebih, dan menonjol lebih. Fenomena ini, yang dipicu oleh tekanan sosial dan budaya konsumsi, seringkali mengikis esensi kebahagiaan sejati. Namun, di tengah hiruk-pikuk ini, terdapat sebuah kebijaksanaan abadi yang menawarkan jalan menuju ketenangan batin: belajar merasa cukup (qana’ah). Ini bukan berarti berhenti bermimpi atau menyerah pada ambisi, melainkan tentang meletakkan hati pada fondasi yang kokoh, seperti daun yang tak iri pada bunga, dan air yang tak cemburu pada angin.

Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya:

"Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu." (QS. Ibrahim: 7)

Ayat ini adalah janji ilahi yang mengikat: rasa syukur adalah kunci pembuka pintu rezeki dan keberkahan yang tak terduga. Namun, sayangnya, kecenderungan alami manusia seringkali mirip ombak: tak pernah diam, selalu menggulung dalam gelombang keinginan. Jika hati terhanyut dalam arus keinginan tak terbatas ini, ia akan kehilangan dermaga tempat bersandar bernama syukur, dan terombang-ambing dalam kegelisahan.

 

1. Qana’ah: Fondasi Ketenangan Jiwa yang Abadi

Qana’ah (merasa cukup) adalah inti dari ketenangan batin dan kekayaan spiritual yang sejati. Konsep ini telah menjadi pokok pembahasan dalam tradisi spiritual Islam selama berabad-abad. Imam Al-Ghazali, dalam mahakaryanya Ihya Ulumuddin, dengan gamblang menjelaskan:

“Qana’ah adalah kekayaan sejati. Ia tidak bergantung pada banyak atau sedikitnya harta, melainkan pada seberapa besar kepuasan hati terhadap pemberian Allah.”

Pandangan Al-Ghazali menegaskan bahwa kekayaan sejati bukanlah akumulasi materi, melainkan kondisi internal hati yang puas dan menerima. Orang yang memiliki qana’ah mampu menahan diri dari kerakusan dan selalu melihat apa yang dimiliki sebagai nikmat, bukan kekurangan. Mereka memahami bahwa kebahagiaan tidak terletak pada memiliki segala yang diinginkan, tetapi pada mencintai dan mensyukuri apa yang telah diberikan.

Senada dengan itu, Ibn Qayyim Al-Jauziyyah dalam Madarij As-Salikin menyebutkan:

“Syukur dan qana’ah adalah dua sayap ketenangan hati. Tanpanya, hati akan terseret dalam kegelapan keinginan yang tak berujung.”

Perumpamaan "dua sayap" ini sangat tepat menggambarkan interdependensi antara syukur dan qana’ah. Syukur adalah pengakuan atas nikmat yang ada, sementara qana’ah adalah penerimaan yang tulus terhadap takdir dan rezeki ilahi. Bersama-sama, keduanya mengangkat hati dari belenggu keserakahan dan kegelisahan, menuju alam ketenangan dan kebahagiaan.

 

2. Dunia: Ladang Ujian, Bukan Tujuan Keserakahan

Seringkali, manusia keliru memahami tujuan penciptaan dunia. Allah tidak menciptakan dunia untuk memuaskan keserakahan manusia, melainkan sebagai ladang ujian untuk menguji keimanan dan kesabaran kita. Jiwa yang serakah akan selalu merasa kurang, bahkan ketika dunia telah digenggamnya. Hal ini diperkuat oleh sabda Rasulullah SAW:

"Seandainya anak Adam memiliki dua lembah emas, niscaya dia akan menginginkan lembah yang ketiga. Dan tidak ada yang dapat memenuhi (hawa nafsu) anak Adam kecuali tanah (kematian)." (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis yang mendalam ini adalah peringatan keras bahwa keinginan tanpa kendali adalah jurang tak berdasar yang akan menenggelamkan jiwa dalam kekosongan spiritual. Kematian adalah satu-satunya entitas yang dapat mengakhiri siklus keinginan yang tak pernah terpuaskan. Oleh karena itu, kebijaksanaan sejati terletak pada pengendalian diri dan pemahaman bahwa kepuasan sejati datang dari dalam, bukan dari luar.

 

3. Syukur: Dermaga Pelipur Lelah Hati

Syukur bukan sekadar ucapan "Alhamdulillah" di bibir. Ia adalah sebuah cara pandang, sebuah seni melihat karunia Allah di balik setiap kondisi, bahkan di balik musibah sekalipun. Orang yang bersyukur akan melihat setiap hela napas sebagai nikmat, setiap tetes hujan sebagai rahmat, dan setiap ujian sebagai kesempatan untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Ini adalah esensi dari ayat:

"Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur." (QS. Saba: 13)

Ayat ini mengingatkan kita akan kelangkaan jiwa yang benar-benar bersyukur, yang mampu melihat kebaikan Allah dalam segala situasi. Dr. ‘Aidh al-Qarni, dalam bukunya yang menenangkan La Tahzan, dengan indah mengungkapkan:

“Syukur adalah obat bagi jiwa yang rapuh. Ia menyembuhkan luka-luka hati dan memunculkan cahaya kebahagiaan, bahkan dalam kemiskinan dan keterbatasan.”

Syukur adalah antibiotik spiritual yang membersihkan jiwa dari racun keluh kesah, iri hati, dan ketidakpuasan. Ia membangun sebuah benteng kebahagiaan yang tak tergoyahkan oleh gejolak dunia.

 

4. Menyeimbangkan Keinginan dan Ridha

Keinginan itu fitrah manusiawi. Namun, ketika keinginan bergeser menjadi ambisi tak terkendali yang didorong oleh keserakahan, ia berubah menjadi penyakit hati. Imam Ibn Qayyim menjelaskan bahwa berbagai penyakit hati seperti hasad (iri hati), rakus, dan kecemburuan seringkali bermula dari keinginan yang tidak terkendali.

“Barangsiapa yang tidak mampu menundukkan keinginannya, maka ia akan menjadi budak dunia. Dan budak dunia tidak akan pernah puas, karena dunia tak pernah menawarkan ketenangan.”

Pernyataan ini adalah peringatan yang kuat tentang bahaya menjadi "budak dunia". Budak dunia akan terus mengejar fatamorgana kebahagiaan yang selalu tampak di kejauhan, tetapi tidak pernah benar-benar dapat diraih.

Di sinilah pentingnya ridha terhadap ketentuan Allah. Ridha adalah kunci agar hati tetap damai meskipun apa yang diinginkan belum atau tidak dimiliki. Ridha adalah penerimaan total terhadap takdir ilahi, keyakinan bahwa Allah Maha Tahu apa yang terbaik bagi kita, dan bahwa nikmat Allah tidak selalu sesuai keinginan, tetapi selalu sesuai kebutuhan jiwa. Ridha adalah puncak keimanan, di mana hati menemukan kedamaian dalam kepasrahan total kepada kehendak Ilahi.

 

5. Keberkahan dalam Kesederhanaan

Seringkali, kita keliru mengasosiasikan kebahagiaan dengan kepemilikan materi yang melimpah. Padahal, kebahagiaan bukan milik mereka yang memiliki segalanya, tetapi milik mereka yang tahu cara menikmati apa yang mereka punya. Kesederhanaan bukanlah kekurangan, melainkan sebuah gaya hidup yang secara intrinsik mendekatkan hati kepada ketenangan dan kebahagiaan sejati.

Rasulullah SAW, panutan umat manusia, adalah teladan utama dalam kesederhanaan. Hidup beliau penuh dengan momen-momen kesahajaan, bahkan pernah beberapa hari dapur beliau tidak berasap, namun beliau tetap tersenyum dan penuh syukur. Ini menunjukkan bahwa kebahagiaan beliau tidak bergantung pada makanan atau harta, melainkan pada koneksi beliau dengan Allah dan kepuasan batin.

Sabda beliau:

"Beruntunglah orang yang masuk Islam, diberi rezeki yang cukup, dan merasa cukup dengan apa yang Allah berikan." (HR. Muslim)

Hadis ini menggarisbawahi tiga pilar keberuntungan: Islam (sebagai pedoman hidup), rezeki yang cukup (kebutuhan dasar terpenuhi), dan yang terpenting, qana’ah (merasa cukup dengan apa yang ada). Inilah resep sederhana menuju kehidupan yang berkah dan bahagia.

 

6. Tazkiyatun Nafs: Memurnikan Hati dari Keserakahan

Tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) adalah sebuah perjalanan spiritual yang berkelanjutan untuk membersihkan hati dari berbagai penyakit, termasuk keserakahan. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menekankan bahwa salah satu bentuk penyucian jiwa yang paling fundamental adalah mengurangi ketergantungan pada dunia dan secara konsisten menguatkan rasa syukur. Ini berarti secara sadar melepaskan diri dari belenggu materi dan mengalihkan fokus ke nilai-nilai spiritual.

Ibn Qayyim juga menjelaskan sebuah prinsip psikologis yang mendalam: orang yang selalu melihat ke atas (membandingkan diri dengan orang yang memiliki lebih banyak harta atau status) akan selalu tersiksa oleh rasa kurang dan iri hati. Sebaliknya, orang yang melihat ke bawah (membandingkan diri dengan mereka yang memiliki lebih sedikit) akan selalu menemukan alasan untuk bersyukur. Ini adalah strategi mental yang sangat efektif untuk memupuk qana’ah dan kebahagiaan.

 

7. Strategi Praktis Menguatkan Rasa Cukup dan Syukur

Untuk mewujudkan qana’ah dan syukur dalam kehidupan sehari-hari, diperlukan latihan dan kesadaran yang terus-menerus. Berikut adalah beberapa tips praktis:

a. Banyak Mengingat Nikmat Allah

Secara aktif merenungkan dan menghitung nikmat Allah yang telah diberikan adalah latihan spiritual yang ampuh. Sebagaimana firman Allah: “Dan nikmat Tuhanmu yang telah dianugerahkan kepadamu, maka ceritakanlah (sebagai bentuk syukur).” (QS. Ad-Dhuha: 11) Ini bukan hanya tentang mengakui, tetapi juga tentang menceritakan dan mensyukuri secara eksplisit, baik dalam hati maupun lisan. Membuat daftar nikmat atau menulis jurnal syukur dapat sangat membantu.

b. Bandingkan dengan Mereka yang Lebih Sedikit, Bukan yang Lebih Banyak

Ini adalah nasihat profetik yang sangat praktis dari Rasulullah SAW: “Lihatlah kepada orang yang berada di bawah kalian (dalam hal dunia), dan jangan melihat kepada orang yang berada di atas kalian, karena hal itu akan membuat kalian tidak meremehkan nikmat Allah.” (HR. Muslim) Mengikuti petunjuk ini dapat secara drastis mengubah perspektif kita, dari rasa kurang menjadi rasa berkelimpahan.

c. Perbanyak Dzikir dan Istighfar

Syukur dan dzikir (mengingat Allah) saling berkaitan erat. Dzikir membangkitkan kesadaran akan kebesaran Allah dan nikmat-Nya, sementara istighfar (memohon ampunan) membersihkan jiwa dari keluh kesah dan dosa yang menghalangi datangnya keberkahan. Keduanya adalah fondasi spiritual yang menopang rasa syukur yang mendalam.

d. Bergaul dengan Orang-Orang Zuhud dan Bersahaja

Lingkungan sosial memiliki pengaruh besar terhadap cara pandang dan nilai-nilai kita. Bertemanlah dengan orang-orang yang tidak diperbudak dunia, yang mengutamakan nilai-nilai spiritual, dan yang hidup dalam kesederhanaan. Lingkungan yang positif akan menginspirasi kita untuk meniru perilaku dan sikap syukur mereka.

 

8. Penutup: Syukur yang Menyelamatkan Abadi

Di akhir perjalanan dunia ini, yang kita bawa bukanlah harta benda, gelar, atau saldo rekening. Yang akan menyelamatkan kita di hadapan Allah adalah hati yang ridha, jiwa yang qana’ah, dan lidah yang senantiasa bersyukur. Seperti yang diungkapkan oleh Imam Al-Ghazali:

“Bukan kekayaan yang menjadikan seseorang mulia, tapi hati yang tenang dan jiwa yang qana’ah.”

Jika hari ini kita belajar merasa cukup, seperti daun yang tak iri pada bunga, kita sedang menanam pohon ketenangan yang akarnya akan menghujam dalam hati kita. Biarlah dunia mengejar dunia, tetapi misi kita adalah mengejar ridha-Nya. Karena pada akhirnya, hanya ridha-Nya yang abadi dan membawa kebahagiaan sejati.

Sebagai penutup, mari kita renungkan sabda Rasulullah SAW yang mendalam:

“Barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai tujuannya, maka Allah akan menjadikan kefakiran selalu di depan matanya. Tetapi siapa yang menjadikan akhirat tujuannya, maka dunia akan tunduk padanya.” (HR. Tirmidzi)

Ini adalah janji yang kuat: ketika prioritas kita bergeser dari pengejaran duniawi semata ke tujuan akhirat, maka dunia itu sendiri akan datang kepada kita dalam bentuk keberkahan dan ketenangan, tanpa kita harus mengejarnya dengan keserakahan. Inilah esensi dari syukur yang menyelamatkan.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar