Syukur yang Menenangkan: Merajut Ketenangan di Tengah Arus Keinginan Tak Berujung
Dalam pusaran kehidupan modern yang serba cepat dan kompetitif, manusia
seringkali terjebak dalam perlombaan tanpa akhir untuk memiliki lebih, menjadi lebih, dan menonjol lebih. Fenomena ini,
yang dipicu oleh tekanan sosial dan budaya konsumsi, seringkali mengikis esensi
kebahagiaan sejati. Namun, di tengah hiruk-pikuk ini, terdapat sebuah
kebijaksanaan abadi yang menawarkan jalan menuju ketenangan batin: belajar merasa cukup (qana’ah). Ini
bukan berarti berhenti bermimpi atau menyerah pada ambisi, melainkan tentang
meletakkan hati pada fondasi yang kokoh, seperti daun yang tak iri pada bunga,
dan air yang tak cemburu pada angin.
Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya:
"Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat)
kepadamu." (QS. Ibrahim: 7)
Ayat ini adalah janji ilahi yang mengikat: rasa syukur adalah kunci pembuka pintu rezeki dan keberkahan yang tak
terduga. Namun, sayangnya, kecenderungan alami manusia seringkali mirip
ombak: tak pernah diam, selalu menggulung dalam gelombang keinginan. Jika hati
terhanyut dalam arus keinginan tak terbatas ini, ia akan kehilangan dermaga tempat bersandar bernama syukur,
dan terombang-ambing dalam kegelisahan.
1. Qana’ah: Fondasi
Ketenangan Jiwa yang Abadi
Qana’ah (merasa cukup) adalah inti dari ketenangan batin dan
kekayaan spiritual yang sejati. Konsep ini telah menjadi pokok pembahasan dalam
tradisi spiritual Islam selama berabad-abad. Imam Al-Ghazali, dalam
mahakaryanya Ihya Ulumuddin, dengan gamblang menjelaskan:
“Qana’ah adalah kekayaan sejati.
Ia tidak bergantung pada banyak atau sedikitnya harta, melainkan pada seberapa
besar kepuasan hati terhadap pemberian Allah.”
Pandangan Al-Ghazali menegaskan bahwa kekayaan sejati bukanlah akumulasi
materi, melainkan kondisi internal hati
yang puas dan menerima. Orang yang memiliki qana’ah mampu menahan diri
dari kerakusan dan selalu melihat apa yang dimiliki sebagai nikmat, bukan kekurangan. Mereka
memahami bahwa kebahagiaan tidak terletak pada memiliki segala yang diinginkan,
tetapi pada mencintai dan mensyukuri
apa yang telah diberikan.
Senada dengan itu, Ibn Qayyim Al-Jauziyyah dalam Madarij As-Salikin
menyebutkan:
“Syukur dan qana’ah adalah dua
sayap ketenangan hati. Tanpanya, hati akan terseret dalam kegelapan
keinginan yang tak berujung.”
Perumpamaan "dua sayap" ini sangat tepat menggambarkan interdependensi antara syukur dan qana’ah.
Syukur adalah pengakuan atas nikmat yang ada, sementara qana’ah adalah
penerimaan yang tulus terhadap takdir dan rezeki ilahi. Bersama-sama, keduanya
mengangkat hati dari belenggu keserakahan dan kegelisahan, menuju alam
ketenangan dan kebahagiaan.
2. Dunia: Ladang
Ujian, Bukan Tujuan Keserakahan
Seringkali, manusia keliru memahami tujuan penciptaan dunia. Allah tidak menciptakan dunia untuk memuaskan
keserakahan manusia, melainkan sebagai ladang ujian untuk menguji
keimanan dan kesabaran kita. Jiwa yang serakah akan selalu merasa kurang,
bahkan ketika dunia telah digenggamnya. Hal ini diperkuat oleh sabda Rasulullah
SAW:
"Seandainya anak Adam memiliki dua lembah emas, niscaya dia akan
menginginkan lembah yang ketiga. Dan tidak ada yang dapat memenuhi (hawa nafsu)
anak Adam kecuali tanah (kematian)." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis yang mendalam ini adalah peringatan keras bahwa keinginan tanpa kendali adalah jurang tak
berdasar yang akan menenggelamkan jiwa dalam kekosongan spiritual.
Kematian adalah satu-satunya entitas yang dapat mengakhiri siklus keinginan
yang tak pernah terpuaskan. Oleh karena itu, kebijaksanaan sejati terletak pada
pengendalian diri dan pemahaman bahwa
kepuasan sejati datang dari dalam, bukan dari luar.
3. Syukur: Dermaga
Pelipur Lelah Hati
Syukur bukan sekadar ucapan
"Alhamdulillah" di bibir. Ia adalah sebuah cara pandang,
sebuah seni melihat karunia Allah di balik setiap kondisi, bahkan di balik
musibah sekalipun. Orang yang bersyukur akan melihat setiap hela napas sebagai
nikmat, setiap tetes hujan sebagai rahmat, dan setiap ujian sebagai kesempatan
untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Ini adalah esensi dari ayat:
"Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur." (QS. Saba:
13)
Ayat ini mengingatkan kita akan kelangkaan
jiwa yang benar-benar bersyukur, yang mampu melihat kebaikan Allah dalam
segala situasi. Dr. ‘Aidh al-Qarni, dalam bukunya yang menenangkan La Tahzan,
dengan indah mengungkapkan:
“Syukur adalah obat bagi jiwa
yang rapuh. Ia menyembuhkan luka-luka hati dan memunculkan cahaya
kebahagiaan, bahkan dalam kemiskinan dan keterbatasan.”
Syukur adalah antibiotik
spiritual yang membersihkan jiwa dari racun keluh kesah, iri hati, dan
ketidakpuasan. Ia membangun sebuah benteng
kebahagiaan yang tak tergoyahkan oleh gejolak dunia.
4. Menyeimbangkan
Keinginan dan Ridha
Keinginan itu fitrah manusiawi. Namun, ketika keinginan bergeser menjadi ambisi tak terkendali yang didorong oleh keserakahan,
ia berubah menjadi penyakit hati. Imam Ibn Qayyim menjelaskan bahwa berbagai
penyakit hati seperti hasad (iri hati),
rakus, dan kecemburuan seringkali bermula dari keinginan yang tidak
terkendali.
“Barangsiapa yang tidak mampu menundukkan keinginannya, maka ia akan
menjadi budak dunia. Dan budak dunia tidak akan pernah puas, karena dunia tak
pernah menawarkan ketenangan.”
Pernyataan ini adalah peringatan yang kuat tentang bahaya menjadi
"budak dunia". Budak dunia akan terus mengejar fatamorgana
kebahagiaan yang selalu tampak di kejauhan, tetapi tidak pernah benar-benar
dapat diraih.
Di sinilah pentingnya ridha
terhadap ketentuan Allah. Ridha
adalah kunci agar hati tetap damai meskipun apa yang diinginkan belum
atau tidak dimiliki. Ridha adalah penerimaan total terhadap takdir ilahi,
keyakinan bahwa Allah Maha Tahu apa yang terbaik bagi kita, dan bahwa nikmat
Allah tidak selalu sesuai keinginan, tetapi selalu sesuai kebutuhan jiwa. Ridha adalah puncak keimanan, di mana
hati menemukan kedamaian dalam kepasrahan total kepada kehendak Ilahi.
5. Keberkahan dalam
Kesederhanaan
Seringkali, kita keliru mengasosiasikan kebahagiaan dengan kepemilikan
materi yang melimpah. Padahal, kebahagiaan
bukan milik mereka yang memiliki segalanya, tetapi milik mereka yang tahu cara
menikmati apa yang mereka punya. Kesederhanaan
bukanlah kekurangan, melainkan sebuah gaya hidup yang secara intrinsik
mendekatkan hati kepada ketenangan dan kebahagiaan sejati.
Rasulullah SAW, panutan umat manusia, adalah teladan utama dalam
kesederhanaan. Hidup beliau penuh dengan momen-momen kesahajaan, bahkan pernah
beberapa hari dapur beliau tidak berasap, namun beliau tetap tersenyum dan
penuh syukur. Ini menunjukkan bahwa kebahagiaan
beliau tidak bergantung pada makanan atau harta, melainkan pada koneksi beliau
dengan Allah dan kepuasan batin.
Sabda beliau:
"Beruntunglah orang yang masuk Islam, diberi rezeki yang cukup, dan
merasa cukup dengan apa yang Allah berikan." (HR. Muslim)
Hadis ini menggarisbawahi tiga
pilar keberuntungan: Islam
(sebagai pedoman hidup), rezeki yang cukup (kebutuhan dasar terpenuhi), dan
yang terpenting, qana’ah (merasa cukup dengan apa yang ada). Inilah
resep sederhana menuju kehidupan yang berkah dan bahagia.
6. Tazkiyatun Nafs:
Memurnikan Hati dari Keserakahan
Tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) adalah sebuah perjalanan spiritual yang
berkelanjutan untuk membersihkan hati dari berbagai penyakit, termasuk
keserakahan. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menekankan bahwa salah
satu bentuk penyucian jiwa yang paling fundamental adalah mengurangi ketergantungan pada dunia
dan secara konsisten menguatkan rasa
syukur. Ini berarti secara sadar melepaskan diri dari belenggu materi
dan mengalihkan fokus ke nilai-nilai spiritual.
Ibn Qayyim juga menjelaskan sebuah prinsip psikologis yang mendalam:
orang yang selalu melihat ke atas (membandingkan diri dengan orang yang
memiliki lebih banyak harta atau status) akan selalu tersiksa oleh rasa kurang
dan iri hati. Sebaliknya, orang yang
melihat ke bawah (membandingkan diri dengan mereka yang memiliki lebih sedikit)
akan selalu menemukan alasan untuk bersyukur. Ini adalah strategi mental
yang sangat efektif untuk memupuk qana’ah dan kebahagiaan.
7. Strategi Praktis
Menguatkan Rasa Cukup dan Syukur
Untuk mewujudkan qana’ah dan syukur dalam kehidupan sehari-hari,
diperlukan latihan dan kesadaran yang terus-menerus. Berikut adalah beberapa
tips praktis:
a. Banyak Mengingat
Nikmat Allah
Secara aktif merenungkan dan menghitung nikmat Allah yang telah
diberikan adalah latihan spiritual yang ampuh. Sebagaimana firman Allah: “Dan
nikmat Tuhanmu yang telah dianugerahkan kepadamu, maka ceritakanlah (sebagai
bentuk syukur).” (QS. Ad-Dhuha: 11) Ini bukan hanya tentang mengakui, tetapi
juga tentang menceritakan dan
mensyukuri secara eksplisit, baik dalam hati maupun lisan. Membuat
daftar nikmat atau menulis jurnal syukur dapat sangat membantu.
b. Bandingkan
dengan Mereka yang Lebih Sedikit, Bukan yang Lebih Banyak
Ini adalah nasihat profetik yang sangat praktis dari Rasulullah SAW:
“Lihatlah kepada orang yang berada di bawah kalian (dalam hal dunia), dan
jangan melihat kepada orang yang berada di atas kalian, karena hal itu akan
membuat kalian tidak meremehkan nikmat Allah.” (HR. Muslim) Mengikuti petunjuk
ini dapat secara drastis mengubah perspektif kita, dari rasa kurang menjadi
rasa berkelimpahan.
c. Perbanyak Dzikir
dan Istighfar
Syukur dan dzikir (mengingat Allah) saling
berkaitan erat. Dzikir membangkitkan
kesadaran akan kebesaran Allah dan nikmat-Nya, sementara istighfar (memohon
ampunan) membersihkan jiwa dari keluh kesah dan dosa yang menghalangi datangnya
keberkahan. Keduanya adalah fondasi spiritual yang menopang rasa syukur yang
mendalam.
d. Bergaul dengan
Orang-Orang Zuhud dan Bersahaja
Lingkungan sosial memiliki pengaruh besar terhadap cara pandang dan
nilai-nilai kita. Bertemanlah dengan
orang-orang yang tidak diperbudak dunia, yang mengutamakan nilai-nilai
spiritual, dan yang hidup dalam kesederhanaan. Lingkungan yang positif akan
menginspirasi kita untuk meniru perilaku dan sikap syukur mereka.
8. Penutup: Syukur
yang Menyelamatkan Abadi
Di akhir perjalanan dunia ini, yang kita bawa bukanlah harta benda,
gelar, atau saldo rekening. Yang akan menyelamatkan kita di hadapan Allah
adalah hati yang ridha, jiwa yang
qana’ah, dan lidah yang senantiasa bersyukur. Seperti yang diungkapkan
oleh Imam Al-Ghazali:
“Bukan kekayaan yang menjadikan seseorang mulia, tapi hati yang tenang
dan jiwa yang qana’ah.”
Jika hari ini kita belajar merasa cukup, seperti daun yang tak iri pada
bunga, kita sedang menanam pohon ketenangan yang akarnya akan menghujam dalam
hati kita. Biarlah dunia mengejar dunia, tetapi misi kita adalah mengejar
ridha-Nya. Karena pada akhirnya, hanya ridha-Nya yang abadi dan membawa
kebahagiaan sejati.
Sebagai penutup, mari kita renungkan sabda Rasulullah SAW yang mendalam:
“Barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai tujuannya, maka Allah akan
menjadikan kefakiran selalu di depan matanya. Tetapi siapa yang menjadikan
akhirat tujuannya, maka dunia akan tunduk padanya.” (HR. Tirmidzi)
Ini adalah janji yang kuat: ketika prioritas kita bergeser dari
pengejaran duniawi semata ke tujuan akhirat, maka dunia itu sendiri akan datang
kepada kita dalam bentuk keberkahan dan ketenangan, tanpa kita harus
mengejarnya dengan keserakahan. Inilah esensi dari syukur yang menyelamatkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar