Teks Berjalan

Selamat Datang di Blog abuyasin.com Selamat Datang di Blog abuyasin.com

Selasa, 22 Juli 2025

 


Menyucikan Jiwa di Tengah Derasnya Arus Informasi: Perspektif Tazkiyatun Nafs dan Psikologi Muslim

Di era digital yang serba cepat ini, kita dibombardir oleh informasi dari segala penjuru. Notifikasi ponsel tak pernah henti berdering, media sosial menyajikan jutaan konten setiap detiknya, dan berita-berita terbaru silih berganti. Dalam hiruk pikuk ini, lisan kita, baik dalam bentuk ucapan langsung maupun ketikan jemari, memiliki kekuatan yang luar biasa. Sayangnya, tidak jarang lisan ini justru menjadi pedang bermata dua yang melukai, menyebarkan keburukan, bahkan meruntuhkan sendi-sendi keimanan.

Pernahkah terbesit dalam benak kita, betapa besarnya dampak lisan yang tidak terjaga? Sebagaimana ungkapan yang menyentuh hati, "Demi Allah, tiada ilah selain Dia, di muka bumi ini yang paling layak dipenjara seumur hidupnya adalah lisan yang tidak terjaga." Ungkapan ini, meskipun bukan dalam konteks hukum formal, secara mendalam menggambarkan betapa krusialnya peran lisan dan konsekuensi spiritual serta sosial yang ditimbulkannya.

 

Dalam tradisi Islam, konsep Tazkiyatun Nafs atau penyucian jiwa memegang peranan sentral. Ini adalah upaya membersihkan hati dari sifat-sifat tercela dan menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji. Lisan, sebagai cerminan hati, sangat dipengaruhi oleh kondisi batiniah seseorang. Jika hati bersih dan dipenuhi kebaikan, lisan akan cenderung berkata yang baik. Sebaliknya, hati yang kotor akan memuntahkan perkataan yang buruk.

Imam Al-Ghazali, salah satu ulama terbesar dalam sejarah Islam, dalam karyanya Ihya' Ulumiddin, banyak membahas tentang penyakit-penyakit hati dan cara mengobatinya. Beliau menjelaskan bahwa sifat-sifat buruk seperti riya' (pamer), hasad (iri dengki), ujub (kagum pada diri sendiri), dan ghibah (menggunjing), semuanya bermula dari hati yang sakit dan seringkali termanifestasi melalui lisan. Maka, kunci utama dalam menjaga lisan adalah dengan senantiasa membersihkan dan menyucikan hati.

 

Para ulama dan ahli hadis sepanjang sejarah Islam sangat menekankan pentingnya menjaga lisan. Mereka memahami betul bahwa lisan adalah gerbang utama bagi kebaikan dan keburukan.

Salah satu hadis Nabi Muhammad SAW yang paling sering dikutip adalah: "Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam." (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini adalah pondasi utama dalam etika berbicara. Ia mengajarkan prinsip dasar: jika perkataan kita tidak membawa kebaikan, maka lebih baik diam. Diam di sini bukanlah pasif, melainkan sebuah bentuk kontrol diri dan kebijaksanaan.

Imam An-Nawawi, seorang ahli hadis terkemuka, dalam syarahnya atas hadis ini, menjelaskan bahwa diam itu sendiri adalah ibadah. Terkadang, diam jauh lebih mulia daripada berbicara yang tidak bermanfaat. Beliau juga mengingatkan bahwa setiap perkataan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT.

Selain itu, para ulama juga memperingatkan tentang bahaya fitnah dan ghibah. Al-Qur'an secara tegas melarang ghibah, bahkan menyamakannya dengan memakan daging saudaranya yang sudah mati. Ini menunjukkan betapa menjijikkannya perbuatan tersebut di mata Allah. Lisan yang gemar bergosip, menyebarkan berita bohong, atau mengadu domba, sejatinya sedang mengumpulkan dosa-dosa besar yang akan memberatkan timbangan amal di akhirat kelak.

 

Pendekatan Psikologi Muslim: Memahami Mekanisme Batin

Psikologi Muslim adalah bidang yang mengintegrasikan prinsip-prinsip Islam dengan ilmu psikologi modern. Dalam konteks menjaga lisan, pendekatan ini menawarkan kerangka kerja yang komprehensif untuk memahami mengapa seseorang sulit mengendalikan lisannya dan bagaimana cara mengatasinya.

Dari perspektif psikologi Muslim, lisan yang tidak terjaga seringkali merupakan gejala dari ketidakseimbangan batin. Emosi negatif seperti kemarahan, frustrasi, kecemburuan, atau rendah diri, jika tidak dikelola dengan baik, dapat memicu perkataan yang impulsif dan merugikan.

Dr. Malik Badri, salah satu pionir psikologi Muslim kontemporer, banyak menyoroti bagaimana konsep-konsep Islam seperti tawakkul (berserah diri kepada Allah), sabr (kesabaran), dan syukur (bersyukur), berperan penting dalam membangun ketahanan mental dan emosional. Seseorang yang memiliki tawakkul yang kuat cenderung lebih tenang dan tidak mudah terpancing untuk berbicara buruk, bahkan dalam situasi provokatif.

Pendekatan psikologi Muslim juga mendorong kita untuk melakukan muhasabah an-nafs (introspeksi diri) secara rutin. Dengan menyadari pola-pola pikiran dan emosi kita, kita dapat mengidentifikasi pemicu-pemicu yang membuat lisan kita tergelincir. Misalnya, apakah kita cenderung bergosip ketika merasa bosan? Atau marah ketika merasa diremehkan? Dengan mengenali pemicu ini, kita dapat mengembangkan strategi untuk meresponsnya dengan lebih bijak, alih-alih membiarkan emosi menguasai lisan.

 

Fadilah Amal dan Kesehatan Spiritual Islami: Buah Lisan yang Terjaga

Menjaga lisan bukan hanya tentang menghindari dosa, melainkan juga tentang meraih fadilah amal (keutamaan perbuatan baik) yang besar dan mencapai kesehatan spiritual yang prima. Dalam Islam, setiap perkataan baik adalah sedekah.

Rasulullah SAW bersabda: "Senyummu di hadapan saudaramu adalah sedekah, dan memerintahkan kepada yang ma’ruf serta melarang dari yang mungkar adalah sedekah, dan menunjukkan jalan kepada seseorang di jalan adalah sedekah, dan menyingkirkan batu, duri, dan tulang dari jalan adalah sedekah, dan engkau menuangkan air dari timbamu ke dalam wadah saudaramu adalah sedekah." (HR. Tirmidzi). Hadis ini secara eksplisit menyebutkan bahwa perkataan baik, seperti memerintahkan kebaikan atau memberi petunjuk, adalah bentuk sedekah yang mendatangkan pahala.

Lisan yang senantiasa berzikir, mengucapkan salam, memuji Allah, dan mendoakan kebaikan bagi sesama, akan menjadi sumber pahala yang terus mengalir. Ini adalah investasi spiritual yang tidak ada habisnya. Sebaliknya, lisan yang kotor akan menguras pahala dan memberatkan timbangan dosa.

Dari sisi kesehatan spiritual, menjaga lisan adalah salah satu pilar utama. Jiwa yang sehat adalah jiwa yang tenang, bersih, dan senantiasa terhubung dengan Allah. Lisan yang terjaga mencerminkan hati yang tenteram dan pikiran yang jernih. Ketika kita berbicara baik, kita tidak hanya menyejukkan hati orang lain, tetapi juga menenangkan jiwa kita sendiri.

Seseorang yang gemar berkata kotor, berbohong, atau menyebarkan kebencian, akan merasakan kegelisahan batin dan kekosongan spiritual. Hatinya akan menjadi keras, jauh dari ketenangan yang dijanjikan oleh iman. Sebaliknya, lisan yang jujur, santun, dan penuh kasih sayang akan menumbuhkan kedamaian batin, meningkatkan kepercayaan diri, dan memperkuat hubungan dengan Sang Pencipta. Ini adalah inti dari kesehatan spiritual: selarasnya hati, lisan, dan perbuatan dengan ajaran Illahi.

 

Membangun Lisan yang Bertakwa: Integrasi Praktis

Untuk membangun lisan yang bertakwa dan terjaga, kita dapat mengintegrasikan ketiga pendekatan ini dalam kehidupan sehari-hari:

  1. Prioritaskan Tazkiyatun Nafs: Jadikan penyucian hati sebagai prioritas utama. Perbanyak dzikir, membaca Al-Qur'an, qiyamul lail (salat malam), dan merenungkan kebesaran Allah. Hadiri majelis ilmu untuk menambah pemahaman agama dan menguatkan iman.
  2. Teladani Para Ulama dan Ahli Hadis: Pelajari sirah (biografi) para ulama dan bagaimana mereka menjaga lisan. Amalkan hadis-hadis tentang keutamaan menjaga lisan dan bahaya lisan yang tidak terjaga. Ingatlah selalu bahwa setiap kata yang terucap akan dipertanggungjawabkan.
  3. Manfaatkan Pendekatan Psikologi Muslim: Lakukan introspeksi diri secara teratur. Identifikasi emosi negatif yang mungkin memicu perkataan buruk dan pelajari cara mengelolanya. Latih kesabaran (sabr) dan syukur (syukur) sebagai perisai mental. Jika perlu, cari bimbingan dari profesional yang memahami psikologi dari perspektif Islam.
  4. Terapkan Prinsip "Berpikir Sebelum Berbicara": Sebelum mengucapkan sesuatu atau mengetik pesan, tanyakan pada diri sendiri: Apakah perkataan ini benar? Apakah bermanfaat? Apakah akan menyakiti orang lain? Apakah akan mendekatkan saya kepada Allah?

 

Lisan adalah anugerah sekaligus amanah. Kekuatan lisan sangat dahsyat, mampu membangun dan menghancurkan. Di tengah riuhnya kehidupan modern, tantangan untuk menjaga lisan semakin besar. Namun, dengan menginternalisasi nilai-nilai Tazkiyatun Nafs, meneladani ajaran para ulama dan ahli hadis, memanfaatkan wawasan dari psikologi Muslim, serta memahami fadilah amal dan kesehatan spiritual Islami, kita dapat melatih diri untuk memiliki lisan yang bertakwa, lisan yang menjadi sumber kebaikan, bukan kehancuran.

Maka, marilah kita senantiasa berikhtiar untuk "memenjarakan" lisan yang tidak terjaga, bukan dengan belenggu besi, melainkan dengan ikatan iman, takwa, dan kebijaksanaan, demi meraih ridha Allah SWT dan keselamatan di dunia maupun akhirat.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar