Teks Berjalan

Selamat Datang di Blog abuyasin.com Selamat Datang di Blog abuyasin.com

Kamis, 31 Juli 2025

 


Keimanan: Fondasi Ketenteraman Jiwa dalam Perspektif Ulama Tazkiyatun Nafs

Setiap insan pasti pernah merasakan gelisah, cemas, dan gundah gulana. Dunia ini memang ladang ujian dan liku kehidupan yang bisa mengoyak ketenangan batin. Namun, Islam telah menghadirkan solusi tak tergantikan untuk mengatasi keresahan tersebut: keimanan kepada Allah. Lebih dari sekadar dogma, keimanan adalah fondasi utama untuk mencapai ketenteraman jiwa, sebuah konsep yang telah diuraikan secara mendalam oleh para ulama ahli tazkiyatun nafs.

 

1. Keimanan Menghapus Keresahan: Kedalaman Tauhid dan Dzikrullah

Keimanan bukan sekadar pernyataan lisan, melainkan keyakinan yang mengakar dalam hati dan dibuktikan dengan amal. Seseorang yang beriman, yakin bahwa apa pun yang terjadi di dunia ini, semuanya atas kehendak Allah. Ia tidak dikuasai oleh ketakutan terhadap dunia, karena ia tahu bahwa Allah-lah tempat bersandar yang sejati.

Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah dalam karyanya Madarij as-Salikin menjelaskan bahwa keresahan (khalq) pada dasarnya berasal dari kekosongan hati dari ma'rifatullah (mengenal Allah) dan mahabbatullah (mencintai Allah). Ketika hati tidak dipenuhi dengan pengenalan dan cinta kepada Sang Pencipta, ia akan mencari ketenteraman pada selain-Nya, yang pada akhirnya hanya akan menimbulkan kegelisahan lebih lanjut.

Allah Ta'ala berfirman:

“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.”

(QS. Ar-Ra'd: 28)

Ayat ini menegaskan bahwa hati yang resah akan mendapatkan ketenteraman melalui dzikrullah bentuk nyata dari keimanan dan kedekatan dengan Rabb semesta alam. Bagi para ulama tazkiyatun nafs seperti Imam Al-Ghazali, dzikrullah bukan hanya sekadar mengulang-ulang kalimat tayyibah, melainkan kehadiran hati bersama Allah, merasakan pengawasan-Nya, dan mengingat keagungan-Nya. Ketika seseorang konsisten dalam dzikrullah dengan kehadiran hati, ia akan menemukan bahwa kegelisahan duniawi mulai memudar, digantikan oleh rasa aman dan damai yang berasal dari hubungan yang kokoh dengan Allah.

 

2. Keimanan Melenyapkan Kegundahan: Perspektif Taqdir dan Ridha

Rasa gundah biasanya muncul karena kekhawatiran terhadap masa depan, kehilangan sesuatu yang dicintai, atau beban hidup yang berat. Namun bagi orang yang beriman, ia akan melihat segala hal dalam perspektif takdir dan hikmah.

Imam An-Nawawi dalam syarahnya atas hadis berikut:

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Semua urusannya adalah baik. Jika ia diberi kesenangan, ia bersyukur, maka itu baik baginya. Jika ia ditimpa musibah, ia bersabar, maka itu juga baik baginya.”

(HR. Muslim)

menekankan bahwa hadis ini menunjukkan betapa istimewanya kedudukan seorang mukmin yang memiliki keyakinan penuh pada takdir Allah. Seorang mukmin memahami bahwa setiap peristiwa, baik yang menyenangkan maupun yang menyedihkan, adalah bagian dari ketetapan Allah yang Maha Bijaksana. Sikap ridha (menerima dengan lapang dada) atas takdir Allah adalah puncak dari keimanan yang menghilangkan kegundahan.

Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa ridha adalah salah satu maqam (tingkatan spiritual) tertinggi. Ridha berarti jiwa tidak merasakan penolakan terhadap apa yang Allah takdirkan, bahkan jika itu terasa pahit. Ini bukan berarti pasrah tanpa berusaha, melainkan menerima hasil akhir setelah berikhtiar semaksimal mungkin, dengan keyakinan bahwa Allah Maha Tahu apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Inilah kekuatan keimanan: mengubah musibah menjadi pahala, mengganti kegundahan dengan keteguhan, dan menenangkan jiwa dalam setiap keadaan.

 

3. Keimanan adalah Kesenangan yang Diburu Para Ahli Tauhid: Kekosongan Hati dan Pengisiannya

Bagi para pecinta tauhid — yang senantiasa menjaga kemurnian penghambaan hanya kepada Allah — keimanan adalah harta terbesar yang selalu diburu. Mereka bukanlah pemburu dunia, melainkan pemburu cahaya iman.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

“Dalam hati manusia ada kekosongan yang tidak bisa diisi kecuali dengan mencintai Allah, menghadap kepada-Nya, dan terus mengingat-Nya. Jika hati tidak diisi dengan hal tersebut, maka ia akan tersiksa dengan hal-hal selain-Nya.”

Pernyataan ini adalah inti dari pemahaman tazkiyatun nafs. Dunia dengan segala kenikmatan dan gemerlapnya tidak akan pernah mampu memberi kepuasan hakiki pada hati manusia. Hanya iman dan tauhid murni yang bisa mengisi kekosongan tersebut dan menghadirkan kebahagiaan sejati. Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, seorang sufi besar, sering menekankan bahwa fokus utama seorang hamba adalah membersihkan hati dari keterikatan pada selain Allah. Ketika hati murni dari syirik (menyekutukan Allah) dan dipenuhi dengan tauhid, barulah ia merasakan kelezatan iman yang tak tertandingi.

Para ahli tauhid memahami bahwa mengejar kenikmatan dunia adalah seperti minum air asin, semakin diminum semakin haus. Sementara itu, kelezatan iman adalah seperti air tawar yang menghilangkan dahaga. Mereka mencari kesenangan yang abadi, yaitu kedekatan dengan Allah, yang hanya dapat diraih melalui iman yang kokoh dan tauhid yang murni.

 

4. Keimanan adalah Hiburan bagi Ahli Ibadah: Kesenangan Batiniah

Para ahli ibadah menjadikan keimanan sebagai hiburan jiwa. Mereka tidak bersedih ketika dunia menjauh, karena mereka telah dekat dengan Rabb mereka. Mereka merasakan kelezatan dalam sujud, kesyahduan dalam dzikir, dan kebahagiaan dalam amal shalih.

Imam Ibnu Taimiyah pernah berkata:

“Apa yang bisa diperbuat musuh-musuhku terhadapku? Surga dan kebahagiaanku ada di hatiku. Bila aku dipenjara, itu adalah khalwat bagiku bersama Tuhanku. Bila aku dibunuh, itu adalah syahadah bagiku. Dan bila aku diusir, itu adalah rekreasi bagiku.”

Ucapan ini bukan sekadar retorika, tapi lahir dari keimanan yang kokoh dan mendalam. Hati yang dipenuhi iman tidak mudah goyah oleh keadaan eksternal. Imam Al-Junayd Al-Baghdadi, salah satu tokoh sufi terkemuka, mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati bukanlah pada harta atau jabatan, melainkan pada kemurnian hati dan kedekatan dengan Allah. Ketika hati telah mencicipi manisnya iman dan ibadah, cobaan duniawi terasa ringan. Mereka menemukan kenikmatan spiritual yang melebihi segala kenikmatan dunia, sehingga mereka tidak lagi bergantung pada dunia untuk kebahagiaan mereka. Bahkan dalam kesulitan, mereka menemukan hiburan dalam mengingat Allah dan menjalankan perintah-Nya.

 

5. Jalan Menuju Ketenteraman: Menghidupkan Iman (Tazkiyatun Nafs Praktis)

Keimanan bukanlah sesuatu yang statis. Ia naik dan turun, tergantung usaha kita dalam memeliharanya. Para ulama ahli tazkiyatun nafs telah merumuskan berbagai cara untuk menghidupkan iman agar keresahan dan kegundahan hilang dari hati.

  1. Bertauhid secara murni dan menjauhi segala bentuk syirik: Ini adalah fondasi. Imam Muhammad bin Abdul Wahhab dan para ulama dakwah tauhid sangat menekankan pentingnya membersihkan diri dari segala bentuk syirik, baik syirik akbar maupun syirik asghar. Hati yang bersih dari syirik akan dipenuhi cahaya tauhid, yang merupakan sumber utama ketenangan.
  2. Menunaikan shalat dengan khusyuk: Shalat adalah mi'rajnya mukmin. Imam Al-Ghazali dalam Minhajul Abidin menjelaskan khusyuk sebagai kehadiran hati, kesadaran akan keagungan Allah, dan rasa malu di hadapan-Nya. Shalat yang khusyuk akan membersihkan jiwa dan menenangkan hati dari hiruk pikuk dunia.
  3. Berdzikir dan membaca Al-Qur’an setiap hari: Imam Nawawi dalam Al-Adzkar mengumpulkan berbagai dzikir yang dianjurkan. Dzikrullah adalah makanan hati. Membaca Al-Qur'an dengan tadabbur (perenungan) akan membawa petunjuk dan ketenangan. Syaikh Abdurrahman As-Sa'di sering menganjurkan untuk merenungi makna ayat-ayat Al-Qur'an agar iman semakin kokoh.
  4. Bersahabat dengan orang-orang shalih: Lingkungan sangat mempengaruhi iman. Imam Ahmad bin Hanbal sering menekankan pentingnya mencari teman-teman yang dapat mengingatkan kita kepada Allah dan ketaatan. Mereka adalah cerminan bagi kita untuk senantiasa memperbaiki diri.
  5. Menghadiri majelis ilmu: Majelis ilmu adalah taman-taman surga di dunia. Imam Malik sering menganjurkan untuk belajar agama agar pemahaman tentang iman semakin mendalam. Ilmu akan menguatkan keyakinan dan menghilangkan keraguan yang sering menjadi sumber kegelisahan.
  6. Bertawakal kepada Allah dan ridha atas takdir-Nya: Imam Ibnul Qayyim mengulas tuntas tentang tawakal dalam banyak karyanya. Tawakal adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah setelah berikhtiar semaksimal mungkin, dengan keyakinan bahwa Allah akan memberikan yang terbaik. Ridha adalah buah dari tawakal.

Seperti yang disebutkan oleh Imam Al-Ghazali:

“Ketika iman telah memenuhi hati, maka dunia menjadi kecil di hadapanmu dan akhirat menjadi cita-cita tertinggimu.”

Pernyataan ini menggambarkan transformasi batin yang terjadi ketika iman menguat. Prioritas hidup seseorang akan bergeser dari kenikmatan dunia yang fana menuju kebahagiaan abadi di akhirat, yang pada gilirannya membawa ketenangan dalam menjalani kehidupan dunia.

 

Penutup: Iman Adalah Obat Jiwa Universal

Ketika dunia menyesakkan, ketika masalah tak kunjung reda, ketika hati terasa gundah gulana, maka kembalilah kepada keimanan. Karena iman bukan hanya teori, tetapi energi spiritual yang mampu membangkitkan harapan, menenangkan hati, dan menuntun kita ke jalan kebaikan.

Keimanan adalah pelita yang menyinari lorong gelap kehidupan. Ia bukan sekadar keyakinan, tapi juga kebahagiaan. Maka siapa yang ingin meraih ketenteraman, milikilah iman, peliharalah ia, dan perkuatlah setiap hari.

"Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik." (QS. An-Nahl: 97)

Ayat ini adalah janji Allah yang pasti. Kehidupan yang baik (hayatan thayyibah) bukanlah berarti bebas dari ujian, melainkan kehidupan yang dipenuhi ketenangan batin, kebahagiaan, dan keberkahan, terlepas dari kondisi eksternal. Ini adalah buah dari iman yang sejati dan amalan saleh yang menyertainya, sebagaimana yang telah diajarkan dan diamalkan oleh para ulama ahli tazkiyatun nafs sepanjang sejarah Islam.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar