Ketentraman Hati dan Jiwa: Anugerah Tertinggi di Dunia yang Fana
Di tengah hiruk pikuk dunia
yang penuh ambisi, manusia sering kali melupakan satu nikmat yang nilainya jauh
lebih agung dari segala tumpukan harta dan gelimang tahta: ketentraman hati dan jiwa. Ketenangan
batin bukan sekadar suasana emosional sesaat, melainkan kondisi spiritual yang
mendalam dan mengakar, buah dari iman dan ketakwaan yang tulus kepada Allah
Ta’ala.
Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:
"Orang-orang
yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah,
hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram."
(QS. Ar-Ra’d: 28)
Ayat ini menjadi fondasi
agung bahwa ketenteraman hakiki tidak
lahir dari dunia luar, melainkan dari kedalaman hubungan dengan Sang Khalik.
Dunia, dengan segala isinya, tidak mampu memberikan jaminan atas kedamaian
batin jika hati jauh dari dzikrullah.
1. Dunia:
Fana dan Menipu
Allah memperingatkan kita dalam Al-Qur’an
bahwa dunia hanyalah permainan yang menipu:
"Dan kehidupan
dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau. Sedangkan negeri akhirat itu
sungguh lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Tidakkah kamu
mengerti?"
(QS. Al-An’am: 32)
Sebagaimana yang dikatakan
oleh Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin, salah satu
cabang utama dari Tazkiyatun Nafs (penyucian jiwa), ialah menyadari
bahwa ketergantungan pada dunia adalah
racun bagi hati. Dunia tidak dilarang untuk dimiliki, tetapi tidak boleh bersemayam di hati. Hati
yang bersih adalah hati yang tidak bergantung pada dunia, melainkan hanya pada
Allah semata.
2. Apa
Arti Kemewahan Jika Jiwa Gelisah?
Berapa banyak orang yang memiliki rumah
mewah, kendaraan mahal, dan jabatan tinggi, tetapi tak pernah bisa tidur
nyenyak? Jiwa mereka kosong, hati mereka gelisah. Ini sesuai dengan hadis Nabi
Muhammad ﷺ:
"Bukanlah
kekayaan itu dengan banyaknya harta, tetapi kekayaan (yang sejati) adalah
kekayaan jiwa."
(HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnu
Qayyim Al-Jauziyah, dalam Madarij
As-Salikin, menjelaskan bahwa jiwa
yang tentram (nafsul muthmainnah) adalah kondisi tertinggi yang bisa
dicapai manusia dalam kehidupan dunia, karena di sanalah letak rahmat
Allah yang sesungguhnya. Jiwa yang demikian akan senantiasa tenang dalam suka
dan duka, dalam kemiskinan maupun kekayaan, karena sandarannya bukan keadaan,
tapi Tuhan semesta alam.
3. Hati
yang Lapang: Surga di Dunia
Dalam kehidupan yang penuh
tantangan, hanya mereka yang memiliki
kelapangan hati yang mampu melewatinya dengan damai. Hati yang lapang
bukan berarti bebas dari masalah, tetapi ia mampu menerima takdir Allah dengan sabar dan syukur.
Rasulullah ﷺ bersabda:
"Sungguh
menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya seluruh urusannya adalah baik.
Jika mendapat kesenangan, dia bersyukur, itu baik baginya. Jika tertimpa
musibah, dia bersabar, itu pun baik baginya."
(HR. Muslim)
Kelapangan hati adalah buah
dari iman dan tawakal. Maka tak heran jika dalam Tazkiyatun Nafs,
kelapangan hati disebut sebagai cahaya
yang diberikan Allah kepada hamba-Nya yang bersih dari penyakit hati seperti
iri, dendam, dan kesombongan.
4.
Menyucikan Jiwa Menuju Ketentraman
Imam Al-Ghazali menyebut bahwa penyucian jiwa adalah jalan menuju Allah,
sebagaimana yang tercermin dalam surah Asy-Syams:
"Sesungguhnya
beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya, dan merugilah orang yang
mengotorinya."
(QS. Asy-Syams: 9–10)
Proses tazkiyah tidak instan. Ia menuntut
mujahadah (perjuangan batin), muraqabah (menjaga diri dalam pengawasan Allah),
dan muhasabah (introspeksi diri). Dalam Tazkiyatun Nafs, Ibnu Qayyim
Al-Jauziyah menggarisbawahi bahwa ketentraman datang ketika jiwa ridha terhadap takdir Allah, mencintai-Nya, dan menyerahkan
segala urusan kepada-Nya.
5. Dunia
Berlalu, Ridha Allah Kekal
Ketika seseorang menyadari bahwa tujuan hidup bukanlah dunia, tetapi mencari ridha Allah, maka ia tidak
lagi cemas dengan urusan dunia yang silih berganti. Ia menerima dunia apa
adanya, dan fokus pada misi hidup yang
lebih besar: menggapai ridha-Nya.
Sebagaimana doa yang diajarkan Nabi:
"Ya Allah,
berilah aku ketakwaan pada diriku, dan sucikanlah jiwaku. Engkau adalah
sebaik-baik yang menyucikannya. Engkau adalah pelindung dan penolongnya."
(HR. Muslim)
Doa ini mencerminkan bahwa ketentraman dan kebersihan jiwa bukan hasil
usaha semata, tetapi anugerah dari Allah. Kita hanya bisa mengetuk
pintu-Nya dengan ikhlas dan konsisten dalam ibadah, dzikir, serta menjauhi
maksiat.
6.
Ketakwaan: Kunci Ketentraman
"Barang siapa
yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan baginya jalan keluar.
Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka."
(QS. At-Talaq: 2–3)
Ketakwaan bukan hanya menjaga diri dari dosa,
tapi juga menjaga hati agar tetap
terhubung dengan Allah dalam setiap kondisi. Itulah sebabnya para ulama
menekankan bahwa kebahagiaan tertinggi
adalah hadirnya rasa cukup (qana’ah) dan ridha dalam hati.
Ibnu Qayyim menulis:
“Kebahagiaan dan ketentraman tidak akan
pernah bisa diraih oleh hati yang dipenuhi dengan cinta dunia. Ketika hati
mencintai Allah melebihi apapun, maka ia akan memperoleh kebahagiaan yang tidak
bisa dibandingkan dengan kenikmatan dunia.”
7.
Penutup: Menjaga Hati, Merawat Jiwa
Di zaman modern yang serba
cepat, menjaga hati tetap tenang adalah
perjuangan besar. Tapi inilah ladang amal yang utama. Kita tidak harus
menghindari dunia, namun cukup menjadikannya sebagai kendaraan, bukan tujuan. Yang terpenting bukan apa yang
kita genggam, tetapi apa yang menetap
di dalam hati.
"Ya
Allah, karuniakan kami hati yang lapang, jiwa yang tunduk dalam ketakwaan,
karena ketentraman sejati hanya mampu memberi... Biarkan dunia berlalu
sebagaimana adanya, selama hati dan jiwa dalam ridha-Mu semata."
Semoga kita menjadi
hamba-hamba yang dimasukkan ke dalam golongan:
"Hai
jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi
diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke
dalam surga-Ku."
(QS. Al-Fajr: 27–30)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar