Teks Berjalan

Selamat Datang di Blog abuyasin.com Selamat Datang di Blog abuyasin.com

Rabu, 09 Juli 2025

Perbedaan Orang Berpengetahuan dan Orang Bijak


Menurut Prof. Nevzat Tarhan, perbedaan fundamental antara orang berpengetahuan dan orang bijak terletak pada cara mereka memproses dan menggunakan informasi.

Orang berpengetahuan cenderung mengumpulkan informasi yang disimpan di otak. Mereka mungkin telah membaca ratusan buku, menguasai berbagai fakta dan teori, dan memiliki kemampuan analitis yang tinggi. Namun, seringkali hidup mereka dipenuhi kegelisahan karena mereka mengira bahwa kepintaran identik dengan kebahagiaan. Mereka terjebak dalam overthinking, dan ironisnya, orang dengan IQ tinggi lebih rentan terhadap depresi karena pola pikir ini. Rumi pernah berkata, "Ilmu tanpa kebijaksanaan seperti api dalam tangan anak kecil." Ini menunjukkan bahaya pengetahuan yang tidak diimbangi dengan pemahaman yang mendalam.

Sebaliknya, orang bijak adalah mereka yang telah mengolah informasi tersebut dengan hati. Kebijaksanaan melibatkan pengelolaan emosi, bukan sekadar logika. Mereka tidak hanya tahu, tetapi juga memahami dan merasakan. Contoh nyata adalah ketika dikritik: orang berpengetahuan akan marah dan membela diri, sementara orang bijak akan bertanya, "Apa pelajaran dari kritikan ini?" Mereka menggunakan pengetahuan bukan untuk debat atau merasa paling benar, melainkan untuk refleksi dan pertumbuhan diri.

Transisi dari Pengetahuan ke Kebijaksanaan

Bagaimana cara beralih dari pengetahuan ke kebijaksanaan? Kuncinya adalah berhenti jadi ahli sok tahu dan mulai jadi pencari yang rendah hati. Rumi menegaskan bahwa kebodohan terbesar adalah mengira sudah tahu segalanya.

Ada tiga tanda Anda masih berada di era pengetahuan dan belum bijaksana:

  1. Sulit mendengarkan pendapat berbeda.
  2. Merasa paling benar.
  3. Ilmu digunakan untuk debat, bukan refleksi.

Untuk melangkah menuju kebijaksanaan, kita perlu melibatkan dimensi spiritual dan emosional dalam pemahaman kita.

 

Perspektif Psikolog Muslim, Al-Ghazali, dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah

Pemikiran tentang kebijaksanaan yang melampaui sekadar pengetahuan juga selaras dengan pandangan para pemikir Muslim klasik dan psikolog Muslim kontemporer.

Al-Ghazali: Ilmu dan Hati

Imam Al-Ghazali, dalam karyanya Ihya Ulumuddin, sangat menekankan pentingnya ilmu nafi' (ilmu yang bermanfaat) yang membawa pelakunya lebih dekat kepada Tuhan dan memahami hakikat keberadaan. Bagi Al-Ghazali, ilmu yang sejati bukanlah sekadar akumulasi fakta, melainkan cahaya yang menerangi hati. Hati adalah pusat makrifat (pengetahuan intuitif) dan pemahaman yang mendalam. Tanpa penyucian hati, ilmu bisa menjadi hijab yang menjauhkan seseorang dari kebenaran. Ia membedakan antara ilmu zhahir (pengetahuan lahiriah) dan ilmu batin (pengetahuan batiniah), di mana kebijaksanaan terletak pada integrasi keduanya, dengan ilmu batin memimpin ilmu zhahir. Keikhlasan dan niat yang benar dalam mencari ilmu adalah kunci untuk mengubah pengetahuan menjadi kebijaksanaan yang membawa kebahagiaan sejati.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah: Hati sebagai Raja

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, seorang ulama besar lainnya, dalam banyak karyanya, seperti Madarij As-Salikin, menempatkan hati sebagai raja bagi seluruh anggota tubuh. Kondisi hati menentukan kualitas hidup seseorang. Pengetahuan yang tidak memperbaiki hati tidak akan membawa manfaat sejati. Ia banyak membahas tentang penyakit hati (seperti kesombongan, hasad, riya') yang menghalangi seseorang dari kebijaksanaan, meskipun memiliki banyak ilmu. Bagi Ibnu Qayyim, kebijaksanaan (hikmah) adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya, dan ini hanya bisa dicapai ketika hati bersih dan selaras dengan kehendak Ilahi. Ia menekankan bahwa tujuan ilmu adalah amal (tindakan) dan taqwa (ketakutan kepada Allah), yang secara otomatis akan melahirkan kebijaksanaan dan kebahagiaan.

 Kesimpulan

Kisah pedagang kaya yang mendatangi Rumi, mengeluh hatinya kosong meskipun telah membaca ratusan buku, adalah cerminan kondisi banyak orang di era modern. Rumi tersenyum dan berkata, "Kau mengisi otakmu, tapi melupakan hatimu." Ini adalah inti dari transisi yang perlu kita lakukan: dari sekadar mengisi otak dengan informasi menuju pengolahan informasi tersebut dengan hati.

Kebahagiaan sejati tidak terletak pada seberapa banyak yang kita tahu, tetapi pada seberapa bijaksana kita menggunakan pengetahuan tersebut untuk memahami diri, orang lain, dan alam semesta, serta untuk mengembangkan kualitas batiniah yang damai dan bermakna. Ini adalah perjalanan dari pengetahuan menuju kebijaksanaan, sebuah perjalanan yang memerlukan kerendahan hati, refleksi, dan integrasi antara akal, emosi, dan spiritualitas, sebagaimana diajarkan oleh Rumi, Al-Ghazali, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah,

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar