Menurut Prof. Nevzat
Tarhan, perbedaan fundamental antara orang berpengetahuan dan orang bijak
terletak pada cara mereka memproses dan menggunakan informasi.
Orang
berpengetahuan cenderung mengumpulkan informasi yang disimpan di otak.
Mereka mungkin telah membaca ratusan buku, menguasai berbagai fakta dan teori,
dan memiliki kemampuan analitis yang tinggi. Namun, seringkali hidup mereka
dipenuhi kegelisahan karena mereka mengira bahwa kepintaran identik dengan
kebahagiaan. Mereka terjebak dalam overthinking,
dan ironisnya, orang dengan IQ tinggi lebih rentan terhadap depresi karena pola
pikir ini. Rumi pernah berkata, "Ilmu
tanpa kebijaksanaan seperti api dalam tangan anak kecil." Ini
menunjukkan bahaya pengetahuan yang tidak diimbangi dengan pemahaman yang
mendalam.
Sebaliknya, orang bijak adalah mereka yang telah mengolah informasi tersebut dengan hati.
Kebijaksanaan melibatkan pengelolaan emosi, bukan sekadar logika. Mereka tidak
hanya tahu, tetapi juga memahami dan merasakan. Contoh nyata adalah ketika
dikritik: orang berpengetahuan akan marah dan membela diri, sementara orang
bijak akan bertanya, "Apa pelajaran dari kritikan ini?" Mereka
menggunakan pengetahuan bukan untuk debat atau merasa paling benar, melainkan
untuk refleksi dan pertumbuhan diri.
Transisi dari Pengetahuan ke Kebijaksanaan
Bagaimana cara beralih dari
pengetahuan ke kebijaksanaan? Kuncinya adalah berhenti jadi ahli sok tahu dan mulai jadi pencari yang rendah hati.
Rumi menegaskan bahwa kebodohan terbesar adalah mengira sudah tahu segalanya.
Ada tiga tanda Anda masih
berada di era pengetahuan dan belum bijaksana:
- Sulit mendengarkan pendapat berbeda.
- Merasa paling benar.
- Ilmu digunakan untuk debat, bukan refleksi.
Untuk melangkah menuju
kebijaksanaan, kita perlu melibatkan dimensi spiritual dan emosional dalam
pemahaman kita.
Perspektif Psikolog Muslim, Al-Ghazali, dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
Pemikiran tentang
kebijaksanaan yang melampaui sekadar pengetahuan juga selaras dengan pandangan
para pemikir Muslim klasik dan psikolog Muslim kontemporer.
Al-Ghazali: Ilmu dan Hati
Imam Al-Ghazali, dalam
karyanya Ihya Ulumuddin, sangat
menekankan pentingnya ilmu nafi' (ilmu
yang bermanfaat) yang membawa pelakunya lebih dekat kepada Tuhan dan
memahami hakikat keberadaan. Bagi Al-Ghazali, ilmu yang sejati bukanlah sekadar
akumulasi fakta, melainkan cahaya yang
menerangi hati. Hati adalah pusat makrifat (pengetahuan intuitif) dan
pemahaman yang mendalam. Tanpa penyucian hati, ilmu bisa menjadi hijab yang
menjauhkan seseorang dari kebenaran. Ia membedakan antara ilmu zhahir (pengetahuan lahiriah) dan
ilmu batin (pengetahuan batiniah),
di mana kebijaksanaan terletak pada integrasi keduanya, dengan ilmu batin
memimpin ilmu zhahir. Keikhlasan dan niat yang benar dalam mencari ilmu adalah
kunci untuk mengubah pengetahuan menjadi kebijaksanaan yang membawa kebahagiaan
sejati.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah: Hati sebagai Raja
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah,
seorang ulama besar lainnya, dalam banyak karyanya, seperti Madarij As-Salikin, menempatkan hati sebagai raja bagi seluruh anggota tubuh.
Kondisi hati menentukan kualitas hidup seseorang. Pengetahuan yang tidak
memperbaiki hati tidak akan membawa manfaat sejati. Ia banyak membahas tentang
penyakit hati (seperti kesombongan, hasad, riya') yang menghalangi seseorang
dari kebijaksanaan, meskipun memiliki banyak ilmu. Bagi Ibnu Qayyim, kebijaksanaan (hikmah) adalah
meletakkan sesuatu pada tempatnya, dan ini hanya bisa dicapai ketika hati
bersih dan selaras dengan kehendak Ilahi. Ia menekankan bahwa tujuan ilmu
adalah amal (tindakan) dan taqwa (ketakutan kepada Allah), yang
secara otomatis akan melahirkan kebijaksanaan dan kebahagiaan.
Kesimpulan
Kisah pedagang kaya yang
mendatangi Rumi, mengeluh hatinya kosong meskipun telah membaca ratusan buku,
adalah cerminan kondisi banyak orang di era modern. Rumi tersenyum dan berkata,
"Kau mengisi otakmu, tapi melupakan hatimu." Ini adalah inti dari
transisi yang perlu kita lakukan: dari sekadar mengisi otak dengan informasi
menuju pengolahan informasi tersebut dengan hati.
Kebahagiaan sejati tidak
terletak pada seberapa banyak yang kita tahu, tetapi pada seberapa bijaksana
kita menggunakan pengetahuan tersebut untuk memahami diri, orang lain, dan alam
semesta, serta untuk mengembangkan kualitas batiniah yang damai dan bermakna.
Ini adalah perjalanan dari pengetahuan menuju kebijaksanaan, sebuah perjalanan
yang memerlukan kerendahan hati, refleksi, dan integrasi antara akal, emosi,
dan spiritualitas, sebagaimana diajarkan oleh Rumi, Al-Ghazali, Ibnu Qayyim
Al-Jauziyah,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar