“Dulu satu buku dibaca 100
kali, sekarang 100 buku hanya dibuka satu kali.”
Ungkapan ini bukan sekadar nostalgia, melainkan cermin bagaimana ilmu perlahan
kehilangan kedalamannya. Bukan karena ilmunya berkurang, tapi karena cara kita
menyerap dan memuliakannya yang mulai bergeser.
Di zaman dahulu, ilmu bukan
untuk dikonsumsi cepat lalu dilupakan. Ia diresapi dalam-dalam, dihayati dalam
laku, dan dilestarikan dalam akhlak. Ilmu bukan hanya untuk tahu, tetapi untuk menjadi.
1. Ilmu: Dari Informasi ke
Transformasi
Di masa lalu, satu kitab bisa menjadi bekal seumur hidup. Ulama-ulama
klasik seperti Imam Al-Ghazali, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, hingga Ibnu
Khaldun, menekankan pentingnya ilmu yang mengubah jiwa bukan sekadar
menumpuk hafalan.
Ibnu Qayyim berkata:
"Ilmu itu bukan yang dihafal, tetapi yang memberi manfaat."
(Miftah Dar as-Sa’adah, Jilid 1)
Ilmu sejati bukan diukur dari seberapa banyak yang diketahui, tetapi
seberapa dalam ia membentuk pribadi.
2. Ilmu dan Adab: Dua Sayap
Tak Terpisahkan
Dalam Islam, ilmu tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu berdampingan
dengan adab.
Imam Syafi’i pernah berkata:
“Aku mengetuk pintu Imam Malik selama 9 tahun, bukan hanya untuk fiqih,
tapi untuk menyerap adabnya.”
Imam Malik bahkan pernah menolak mengajar seorang murid cerdas karena
buruk adabnya. Ini menunjukkan bahwa karakter
lebih utama daripada kecerdasan.
“Ilmu tanpa adab, ibarat pedang tanpa gagang tajam, tapi melukai siapa saja, termasuk
pemiliknya.”
3. Ketika Ilmu Dihilangkan
dari Jiwa
Cendekiawan kontemporer Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas
menyoroti krisis adab dalam pendidikan modern. Beliau menyatakan bahwa:
“Ilmu telah kehilangan orientasi spiritualnya karena sekularisasi.”
Ilmu tidak lagi diarahkan untuk mengenal Allah, tetapi semata-mata untuk
mengejar status, prestise, dan kapital. Maka jangan heran bila hari ini banyak
yang cerdas secara akademik, namun miskin empati dan kehilangan arah hidup.
4. Zaman Scroll: Tantangan
di Era Distraksi
Kita hidup dalam masa di mana:
- Satu
menit belajar → 60 menit scroll
- Sedikit
informasi → fokus tinggi
- Banjir
informasi → pikiran tenggelam
Ilmu menjadi ringan. Mudah didapat, cepat dilupakan. Dulu, ilmu
adalah perjuangan; kini, ia sering jadi konten viral. Padahal, seperti yang
dikatakan Syaikh Muhammad al-Ghazali:
“Ilmu bukan untuk menjawab soal, tapi untuk menjawab hidup.”
5. Ilmu: Tanggung Jawab,
Bukan Pameran
Ilmu bukan hanya tentang pencapaian. Ia adalah amanah yang kelak akan
dimintai pertanggungjawaban.
Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin memperingatkan:
“Ilmu yang tidak diamalkan adalah hujjah atas dirinya di hari kiamat.”
Demikian pula Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibn Khaldun—mereka
belajar bukan untuk diri sendiri, tetapi untuk menjawab persoalan umat dan
membangun peradaban.
6. Untuk Apa Anak-anak
Belajar Hari Ini?
"Untuk apa anak-anak belajar hari ini?
Apa yang akan mereka bawa setelah lulus?"
Jika ilmu hanya bertahan sampai ujian, maka ia tidak akan pernah
menemani anak-anak kita menjadi manusia seutuhnya.
7. Kembali ke Ilmu yang Berakar
Sudah saatnya kita kembali
pada tradisi ilmu yang berakar dan
bermakna. Ilmu yang tidak hanya dipindahkan dari buku ke otak, tetapi
dari hati ke hati, dari guru ke murid, dari kehidupan ke kehidupan.
“Ilmu
adalah cahaya. Dan cahaya Allah tidak diberikan kepada orang yang bermaksiat.”
( Imam Malik)
Mari kita jaga ilmu dengan adab, tekuni dengan tanggung jawab, dan amalkan dengan kerendahan hati. Karena ilmu bukan hanya
menerangi pikiran, tetapi juga meluruskan
arah hidup.
Masalah zaman ini bukan
pada hilangnya ilmu, tetapi lunturnya penghormatan kita terhadap ilmu. Bukan
karena kita tidak punya kitab, tapi karena kita jarang duduk dengan ketundukan dan waktu untuk merenungkannya.
Ilmu tidak akan membekas
bila ia tidak dimuliakan. Maka mari memuliakannya seperti
para ulama terdahulu yang menjadikan ilmu bukan hanya bekal, tapi juga warisan
hidup yang mengalir dari zaman ke zaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar