Teks Berjalan

Selamat Datang di Blog abuyasin.com Selamat Datang di Blog abuyasin.com

Selasa, 29 Juli 2025

  


Jangan Gantungkan Asa pada Manusia yang Fana: Meniti Harapan Hanya kepada Allah

Dalam kehidupan yang penuh dinamika ini, sering kali hati kita terpaut pada sesama manusia menggantungkan harapan pada makhluk yang serba terbatas. Kita berharap pada perhatian, pengakuan, bahkan pertolongan dari mereka yang sejatinya sama rapuhnya dengan kita. Padahal, manusia, betapapun mulianya, tetaplah ciptaan yang fana. Mereka datang dan pergi, mencintai dan melupakan, menyapa lalu menghilang. Maka, menggantungkan harapan sepenuhnya kepada manusia hanya akan berujung pada luka, kecewa, dan kehampaan.

Sebaliknya, ketika kita menggantungkan harap hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka hati menjadi tenang. Sebab Dia Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Pengasih, dan tidak pernah mengecewakan hamba-Nya. Allah tidak pernah abai terhadap tangisan di malam sunyi atau harapan dalam doa yang lirih. Dia tidak iri saat hamba-Nya bahagia, tidak meninggalkan saat hamba-Nya jatuh. Dia Maha Cinta, dan cinta-Nya tidak akan pernah sirna.

 

1. Manusia Itu Lemah dan Terbatas: Hakikat Keterbatasan yang Harus Disadari

Allah sudah mengingatkan manusia akan hakikat kelemahannya:

“Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah.”

(QS. An-Nisa: 28)

Ayat ini bukan sekadar pengingat, melainkan fondasi pemahaman kita tentang realitas eksistensi manusia. Manusia terbatas dalam ilmu, kehendak, dan kekuasaan. Kita sering lupa bahwa bahkan orang terdekat sekalipun, seperti teman yang kita harapkan akan setia, bisa saja pergi karena alasan duniawi yang tak terduga. Orang tua atau pasangan yang begitu kita andalkan, suatu saat akan meninggalkan dunia ini karena takdir kematian. Maka, menggantungkan sepenuhnya rasa aman, cinta, dan bahagia kepada manusia adalah bentuk kesalahan harapan yang fatal, hanya akan memperbesar luka dan kekecewaan.

Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin dengan tegas menyatakan:

“Barang siapa yang bersandar pada selain Allah, maka sesungguhnya dia bersandar pada tali yang rapuh. Tali itu akan putus ketika ujian datang, sedangkan sandaran kepada Allah akan semakin kuat ketika badai kehidupan menghantam.”

Pernyataan ini bukan hanya metafora, melainkan sebuah kebenaran universal. Ketergantungan pada manusia, sekuat apapun ikatan itu, bersifat temporer dan rentan terhadap perubahan. Hanya sandaran kepada Sang Pencipta yang abadi yang mampu memberikan ketahanan jiwa di tengah gelombang cobaan.

 

2. Allah Tidak Pernah Meninggalkan Hamba-Nya: Dekapan Kasih Sayang yang Abadi

Ketika manusia berpaling, Allah justru mendekat. Ketika manusia lupa, Allah senantiasa ingat. Ini adalah janji yang tak pernah ingkar, sebuah manifestasi dari kasih sayang-Nya yang tak terbatas.

“Sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia memohon kepada-Ku.”

(QS. Al-Baqarah: 186)

Ayat ini adalah jaminan ilahiah yang menenangkan. Allah bukan hanya mendengar doa, tapi juga Maha Mengetahui kondisi batin hamba-Nya, bahkan sebelum kita mengucapkan keluhan, Allah sudah mengetahui isi hati dan perasaan kita. Dia memahami kesedihan yang tersembunyi, kegelisahan yang tak terucap, dan harapan yang samar-samar.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam Madarijus Salikin menegaskan kedalaman hubungan ini:

“Tidak ada yang lebih dicintai Allah daripada hamba yang berharap kepada-Nya dan kembali kepada-Nya dalam segala keadaan. Allah akan mencukupkan semua harapan hamba itu, bahkan lebih dari yang ia minta.”

Ini menunjukkan bahwa harapan yang tulus kepada Allah bukan hanya dikabulkan, melainkan akan diberikan lebih dari yang kita bayangkan. Kehadiran-Nya adalah satu-satunya konstanta dalam hidup yang penuh ketidakpastian.

 

3. Kekecewaan Muncul Karena Salah Meletakkan Harapan: Akar Masalah yang Perlu Dituntaskan

Saat kita kecewa kepada seseorang, sebenarnya bukan karena mereka jahat, tapi karena kita terlalu berharap lebih kepada mereka. Kita mengira mereka dapat memahami isi hati kita seperti Allah memahami. Kita mengira mereka akan hadir setiap saat seperti Allah yang tidak pernah tidur dan tidak pernah lalai. Kekeliruan ini adalah sumber utama dari banyak luka batin.

Padahal Rasulullah ﷺ pun mengajarkan untuk tidak terlalu berharap kepada manusia:

“Jika kamu meminta, mintalah kepada Allah. Jika kamu meminta pertolongan, mintalah kepada Allah.”

(HR. Tirmidzi, no. 2516)

Hadits ini adalah panduan fundamental yang menjelaskan bahwa puncak tawakal adalah menggantungkan segala keinginan hanya kepada Allah, bukan kepada makhluk yang tidak memiliki daya dan upaya kecuali dengan izin-Nya. Dengan meletakkan harapan pada tempatnya, kita membebaskan diri dari beban ekspektasi yang seringkali tidak realistis terhadap sesama manusia. Kekecewaan adalah cermin dari harapan yang salah alamat.

 

4. Cinta Allah Takkan Pernah Sirna: Keabadian Kasih yang Tak Bersyarat

Cinta manusia itu terbatas oleh waktu, ruang, dan kepentingan. Ia bisa memudar seiring waktu, berubah karena jarak, atau sirna karena konflik kepentingan. Tapi cinta Allah tidak pernah berubah. Ia abadi, tak lekang oleh zaman, dan tak terbatas oleh kondisi.

“Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya.”

(QS. Al-Maidah: 54)

Cinta Allah itu tanpa syarat. Bahkan ketika kita banyak berbuat dosa, selama kita kembali kepada-Nya dengan tobat yang sungguh-sungguh, Dia akan tetap menerima kita dengan penuh rahmat dan ampunan. Inilah keindahan cinta Ilahi: ia selalu terbuka bagi hamba-Nya yang ingin kembali.

Dr. 'Aidh al-Qarni dalam bukunya La Tahzan dengan indah menuliskan:

“Jika dunia telah berpaling darimu, dan semua pintu tertutup untukmu, maka ketahuilah bahwa pintu Allah selalu terbuka. Ia tidak pernah menutup rahmat-Nya bagi hamba yang mau mengetuk dengan doa dan harapan.”

Ini adalah pengingat bahwa dalam setiap kegelapan, cahaya harapan dari Allah selalu ada, menanti untuk menerangi jalan kita.

 

5. Mengharap Kepada Allah Itu Membebaskan: Kemerdekaan Jiwa yang Hakiki

Mengharap kepada manusia akan memperbudak hati. Kita akan gelisah jika tak dibalas pesan, kecewa jika tidak dianggap, dan marah jika dilupakan. Perasaan-perasaan ini mengikat kita pada penilaian dan tindakan orang lain, menghilangkan kemerdekaan batin kita. Tapi saat kita mengharap hanya kepada Allah, kita bebas. Kita tidak lagi tergantung pada validasi manusia, pujian mereka, atau bahkan kehadiran mereka.

Ibnu Qayyim berkata dalam Al-Fawaid:

“Jika engkau tidak melepaskan harapan dari makhluk, maka engkau akan tetap terpenjara dalam gelisah dan kerisauan. Tapi jika harapanmu hanya kepada Allah, engkau akan merasakan kemerdekaan jiwa yang hakiki.”

Kemerdekaan ini adalah hadiah terbesar dari meletakkan harapan pada yang Maha Kuasa. Kita menjadi kuat dari dalam, tidak goyah oleh opini atau keputusan orang lain.

 

6. Dalam Setiap Luka, Ada Kasih Sayang-Nya: Hikmah di Balik Musibah

Setiap kesedihan yang menimpa, jika disikapi dengan harap kepada Allah, justru menjadi penghapus dosa dan penambah pahala. Ini adalah perspektif iman yang mengubah penderitaan menjadi potensi kebaikan.

“Tidaklah seorang mukmin ditimpa rasa sakit, kelelahan, kekhawatiran, kesedihan, gangguan, bahkan duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya.”

(HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits ini, Rasulullah ﷺ mengajarkan bahwa musibah adalah cara Allah menghapuskan dosa dan mendekatkan hamba-Nya kepada-Nya. Maka jangan kecewa jika orang tidak memahami luka kita, karena Allah sedang memperhatikan hati kita lebih dalam dari siapa pun. Dia melihat kesabaran kita, ketabahan kita, dan harapan kita di tengah badai.

 

7. Bertawakkal dan Berharap kepada Allah Saja: Fondasi Iman yang Kuat

Allah mencintai hamba yang bertawakal kepada-Nya. Tawakal bukan berarti pasif, melainkan aktif berusaha sambil menggantungkan hasil sepenuhnya kepada Allah. Ini adalah keseimbangan antara ikhtiar dan pasrah, antara upaya dan keyakinan.

“Dan hanya kepada Allah hendaknya kalian bertawakal, jika kalian benar-benar orang yang beriman.”

(QS. Al-Maidah: 23)

Tawakal dan berharap kepada Allah adalah tanda iman yang kuat. Dan iman yang kuat adalah jaminan ketenangan hidup di dunia maupun akhirat. Ketika kita bertawakal, beban hidup terasa lebih ringan, karena kita tahu bahwa ada kekuatan yang jauh lebih besar yang mengatur segala urusan.

 

8. Allah Teman Setia Dunia dan Akhirat: Kebersamaan yang Tak Terganti

Manusia bisa menolak kita karena kesalahan kita, bahkan bisa meninggalkan kita saat kita paling membutuhkan. Tapi Allah tidak pernah meninggalkan hamba-Nya, meskipun hamba itu penuh dosa. Asalkan ada niat kembali, Allah akan lebih cepat menerima.

“Tuhanmu tidak meninggalkanmu dan tidak pula membencimu.”

(QS. Ad-Dhuha: 3)

Ayat ini memberikan kelegaan dan jaminan yang tak ternilai. Ini adalah janji abadi dari Sang Pencipta.

Ibnu Qayyim berkata:

“Jika engkau dekat dengan Allah, maka engkau tidak akan kesepian meskipun engkau sendiri. Karena kebersamaan dengan-Nya lebih menenangkan daripada ribuan manusia yang tidak mengerti hatimu.”

Kebersamaan dengan Allah adalah sumber ketenangan sejati. Dia adalah teman setia yang memahami tanpa perlu dijelaskan, menyokong tanpa perlu diminta, dan mencintai tanpa pernah berhenti.

 

Penutup: Harapkan Hanya kepada-Nya, Raih Kebebasan Sejati

Hidup ini adalah perjalanan menuju keabadian. Di tengah perjalanan ini, jangan biarkan hati kita dikendalikan oleh ekspektasi terhadap makhluk. Manusia bisa mencintai lalu membenci, bisa mendekat lalu pergi, bisa mengingat lalu melupakan. Tapi Allah, tidak pernah demikian.

Dia setia menemani kita sejak dalam rahim, hingga ke liang lahat, bahkan terus bersama kita jika kita dikumpulkan di surga-Nya. Cinta dan harapan yang kita letakkan kepada-Nya adalah satu-satunya yang takkan mengecewakan.

Maka katakan pada hatimu:

“Wahai jiwa, lepaskan harapanmu dari mereka yang fana. Gantungkanlah ia kepada Yang Maha Kekal, agar engkau tak lagi terluka oleh dunia yang berubah-ubah.”

Apakah Anda siap membebaskan hati Anda dari ketergantungan pada yang fana dan menambatkan harapan Anda sepenuhnya kepada Yang Maha Kekal?

 



 Syukur yang Menenangkan: Merajut Ketenangan di Tengah Arus Keinginan Tak Berujung

Dalam pusaran kehidupan modern yang serba cepat dan kompetitif, manusia seringkali terjebak dalam perlombaan tanpa akhir untuk memiliki lebih, menjadi lebih, dan menonjol lebih. Fenomena ini, yang dipicu oleh tekanan sosial dan budaya konsumsi, seringkali mengikis esensi kebahagiaan sejati. Namun, di tengah hiruk-pikuk ini, terdapat sebuah kebijaksanaan abadi yang menawarkan jalan menuju ketenangan batin: belajar merasa cukup (qana’ah). Ini bukan berarti berhenti bermimpi atau menyerah pada ambisi, melainkan tentang meletakkan hati pada fondasi yang kokoh, seperti daun yang tak iri pada bunga, dan air yang tak cemburu pada angin.

Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya:

"Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu." (QS. Ibrahim: 7)

Ayat ini adalah janji ilahi yang mengikat: rasa syukur adalah kunci pembuka pintu rezeki dan keberkahan yang tak terduga. Namun, sayangnya, kecenderungan alami manusia seringkali mirip ombak: tak pernah diam, selalu menggulung dalam gelombang keinginan. Jika hati terhanyut dalam arus keinginan tak terbatas ini, ia akan kehilangan dermaga tempat bersandar bernama syukur, dan terombang-ambing dalam kegelisahan.

 

1. Qana’ah: Fondasi Ketenangan Jiwa yang Abadi

Qana’ah (merasa cukup) adalah inti dari ketenangan batin dan kekayaan spiritual yang sejati. Konsep ini telah menjadi pokok pembahasan dalam tradisi spiritual Islam selama berabad-abad. Imam Al-Ghazali, dalam mahakaryanya Ihya Ulumuddin, dengan gamblang menjelaskan:

“Qana’ah adalah kekayaan sejati. Ia tidak bergantung pada banyak atau sedikitnya harta, melainkan pada seberapa besar kepuasan hati terhadap pemberian Allah.”

Pandangan Al-Ghazali menegaskan bahwa kekayaan sejati bukanlah akumulasi materi, melainkan kondisi internal hati yang puas dan menerima. Orang yang memiliki qana’ah mampu menahan diri dari kerakusan dan selalu melihat apa yang dimiliki sebagai nikmat, bukan kekurangan. Mereka memahami bahwa kebahagiaan tidak terletak pada memiliki segala yang diinginkan, tetapi pada mencintai dan mensyukuri apa yang telah diberikan.

Senada dengan itu, Ibn Qayyim Al-Jauziyyah dalam Madarij As-Salikin menyebutkan:

“Syukur dan qana’ah adalah dua sayap ketenangan hati. Tanpanya, hati akan terseret dalam kegelapan keinginan yang tak berujung.”

Perumpamaan "dua sayap" ini sangat tepat menggambarkan interdependensi antara syukur dan qana’ah. Syukur adalah pengakuan atas nikmat yang ada, sementara qana’ah adalah penerimaan yang tulus terhadap takdir dan rezeki ilahi. Bersama-sama, keduanya mengangkat hati dari belenggu keserakahan dan kegelisahan, menuju alam ketenangan dan kebahagiaan.

 

2. Dunia: Ladang Ujian, Bukan Tujuan Keserakahan

Seringkali, manusia keliru memahami tujuan penciptaan dunia. Allah tidak menciptakan dunia untuk memuaskan keserakahan manusia, melainkan sebagai ladang ujian untuk menguji keimanan dan kesabaran kita. Jiwa yang serakah akan selalu merasa kurang, bahkan ketika dunia telah digenggamnya. Hal ini diperkuat oleh sabda Rasulullah SAW:

"Seandainya anak Adam memiliki dua lembah emas, niscaya dia akan menginginkan lembah yang ketiga. Dan tidak ada yang dapat memenuhi (hawa nafsu) anak Adam kecuali tanah (kematian)." (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis yang mendalam ini adalah peringatan keras bahwa keinginan tanpa kendali adalah jurang tak berdasar yang akan menenggelamkan jiwa dalam kekosongan spiritual. Kematian adalah satu-satunya entitas yang dapat mengakhiri siklus keinginan yang tak pernah terpuaskan. Oleh karena itu, kebijaksanaan sejati terletak pada pengendalian diri dan pemahaman bahwa kepuasan sejati datang dari dalam, bukan dari luar.

 

3. Syukur: Dermaga Pelipur Lelah Hati

Syukur bukan sekadar ucapan "Alhamdulillah" di bibir. Ia adalah sebuah cara pandang, sebuah seni melihat karunia Allah di balik setiap kondisi, bahkan di balik musibah sekalipun. Orang yang bersyukur akan melihat setiap hela napas sebagai nikmat, setiap tetes hujan sebagai rahmat, dan setiap ujian sebagai kesempatan untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Ini adalah esensi dari ayat:

"Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur." (QS. Saba: 13)

Ayat ini mengingatkan kita akan kelangkaan jiwa yang benar-benar bersyukur, yang mampu melihat kebaikan Allah dalam segala situasi. Dr. ‘Aidh al-Qarni, dalam bukunya yang menenangkan La Tahzan, dengan indah mengungkapkan:

“Syukur adalah obat bagi jiwa yang rapuh. Ia menyembuhkan luka-luka hati dan memunculkan cahaya kebahagiaan, bahkan dalam kemiskinan dan keterbatasan.”

Syukur adalah antibiotik spiritual yang membersihkan jiwa dari racun keluh kesah, iri hati, dan ketidakpuasan. Ia membangun sebuah benteng kebahagiaan yang tak tergoyahkan oleh gejolak dunia.

 

4. Menyeimbangkan Keinginan dan Ridha

Keinginan itu fitrah manusiawi. Namun, ketika keinginan bergeser menjadi ambisi tak terkendali yang didorong oleh keserakahan, ia berubah menjadi penyakit hati. Imam Ibn Qayyim menjelaskan bahwa berbagai penyakit hati seperti hasad (iri hati), rakus, dan kecemburuan seringkali bermula dari keinginan yang tidak terkendali.

“Barangsiapa yang tidak mampu menundukkan keinginannya, maka ia akan menjadi budak dunia. Dan budak dunia tidak akan pernah puas, karena dunia tak pernah menawarkan ketenangan.”

Pernyataan ini adalah peringatan yang kuat tentang bahaya menjadi "budak dunia". Budak dunia akan terus mengejar fatamorgana kebahagiaan yang selalu tampak di kejauhan, tetapi tidak pernah benar-benar dapat diraih.

Di sinilah pentingnya ridha terhadap ketentuan Allah. Ridha adalah kunci agar hati tetap damai meskipun apa yang diinginkan belum atau tidak dimiliki. Ridha adalah penerimaan total terhadap takdir ilahi, keyakinan bahwa Allah Maha Tahu apa yang terbaik bagi kita, dan bahwa nikmat Allah tidak selalu sesuai keinginan, tetapi selalu sesuai kebutuhan jiwa. Ridha adalah puncak keimanan, di mana hati menemukan kedamaian dalam kepasrahan total kepada kehendak Ilahi.

 

5. Keberkahan dalam Kesederhanaan

Seringkali, kita keliru mengasosiasikan kebahagiaan dengan kepemilikan materi yang melimpah. Padahal, kebahagiaan bukan milik mereka yang memiliki segalanya, tetapi milik mereka yang tahu cara menikmati apa yang mereka punya. Kesederhanaan bukanlah kekurangan, melainkan sebuah gaya hidup yang secara intrinsik mendekatkan hati kepada ketenangan dan kebahagiaan sejati.

Rasulullah SAW, panutan umat manusia, adalah teladan utama dalam kesederhanaan. Hidup beliau penuh dengan momen-momen kesahajaan, bahkan pernah beberapa hari dapur beliau tidak berasap, namun beliau tetap tersenyum dan penuh syukur. Ini menunjukkan bahwa kebahagiaan beliau tidak bergantung pada makanan atau harta, melainkan pada koneksi beliau dengan Allah dan kepuasan batin.

Sabda beliau:

"Beruntunglah orang yang masuk Islam, diberi rezeki yang cukup, dan merasa cukup dengan apa yang Allah berikan." (HR. Muslim)

Hadis ini menggarisbawahi tiga pilar keberuntungan: Islam (sebagai pedoman hidup), rezeki yang cukup (kebutuhan dasar terpenuhi), dan yang terpenting, qana’ah (merasa cukup dengan apa yang ada). Inilah resep sederhana menuju kehidupan yang berkah dan bahagia.

 

6. Tazkiyatun Nafs: Memurnikan Hati dari Keserakahan

Tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) adalah sebuah perjalanan spiritual yang berkelanjutan untuk membersihkan hati dari berbagai penyakit, termasuk keserakahan. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menekankan bahwa salah satu bentuk penyucian jiwa yang paling fundamental adalah mengurangi ketergantungan pada dunia dan secara konsisten menguatkan rasa syukur. Ini berarti secara sadar melepaskan diri dari belenggu materi dan mengalihkan fokus ke nilai-nilai spiritual.

Ibn Qayyim juga menjelaskan sebuah prinsip psikologis yang mendalam: orang yang selalu melihat ke atas (membandingkan diri dengan orang yang memiliki lebih banyak harta atau status) akan selalu tersiksa oleh rasa kurang dan iri hati. Sebaliknya, orang yang melihat ke bawah (membandingkan diri dengan mereka yang memiliki lebih sedikit) akan selalu menemukan alasan untuk bersyukur. Ini adalah strategi mental yang sangat efektif untuk memupuk qana’ah dan kebahagiaan.

 

7. Strategi Praktis Menguatkan Rasa Cukup dan Syukur

Untuk mewujudkan qana’ah dan syukur dalam kehidupan sehari-hari, diperlukan latihan dan kesadaran yang terus-menerus. Berikut adalah beberapa tips praktis:

a. Banyak Mengingat Nikmat Allah

Secara aktif merenungkan dan menghitung nikmat Allah yang telah diberikan adalah latihan spiritual yang ampuh. Sebagaimana firman Allah: “Dan nikmat Tuhanmu yang telah dianugerahkan kepadamu, maka ceritakanlah (sebagai bentuk syukur).” (QS. Ad-Dhuha: 11) Ini bukan hanya tentang mengakui, tetapi juga tentang menceritakan dan mensyukuri secara eksplisit, baik dalam hati maupun lisan. Membuat daftar nikmat atau menulis jurnal syukur dapat sangat membantu.

b. Bandingkan dengan Mereka yang Lebih Sedikit, Bukan yang Lebih Banyak

Ini adalah nasihat profetik yang sangat praktis dari Rasulullah SAW: “Lihatlah kepada orang yang berada di bawah kalian (dalam hal dunia), dan jangan melihat kepada orang yang berada di atas kalian, karena hal itu akan membuat kalian tidak meremehkan nikmat Allah.” (HR. Muslim) Mengikuti petunjuk ini dapat secara drastis mengubah perspektif kita, dari rasa kurang menjadi rasa berkelimpahan.

c. Perbanyak Dzikir dan Istighfar

Syukur dan dzikir (mengingat Allah) saling berkaitan erat. Dzikir membangkitkan kesadaran akan kebesaran Allah dan nikmat-Nya, sementara istighfar (memohon ampunan) membersihkan jiwa dari keluh kesah dan dosa yang menghalangi datangnya keberkahan. Keduanya adalah fondasi spiritual yang menopang rasa syukur yang mendalam.

d. Bergaul dengan Orang-Orang Zuhud dan Bersahaja

Lingkungan sosial memiliki pengaruh besar terhadap cara pandang dan nilai-nilai kita. Bertemanlah dengan orang-orang yang tidak diperbudak dunia, yang mengutamakan nilai-nilai spiritual, dan yang hidup dalam kesederhanaan. Lingkungan yang positif akan menginspirasi kita untuk meniru perilaku dan sikap syukur mereka.

 

8. Penutup: Syukur yang Menyelamatkan Abadi

Di akhir perjalanan dunia ini, yang kita bawa bukanlah harta benda, gelar, atau saldo rekening. Yang akan menyelamatkan kita di hadapan Allah adalah hati yang ridha, jiwa yang qana’ah, dan lidah yang senantiasa bersyukur. Seperti yang diungkapkan oleh Imam Al-Ghazali:

“Bukan kekayaan yang menjadikan seseorang mulia, tapi hati yang tenang dan jiwa yang qana’ah.”

Jika hari ini kita belajar merasa cukup, seperti daun yang tak iri pada bunga, kita sedang menanam pohon ketenangan yang akarnya akan menghujam dalam hati kita. Biarlah dunia mengejar dunia, tetapi misi kita adalah mengejar ridha-Nya. Karena pada akhirnya, hanya ridha-Nya yang abadi dan membawa kebahagiaan sejati.

Sebagai penutup, mari kita renungkan sabda Rasulullah SAW yang mendalam:

“Barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai tujuannya, maka Allah akan menjadikan kefakiran selalu di depan matanya. Tetapi siapa yang menjadikan akhirat tujuannya, maka dunia akan tunduk padanya.” (HR. Tirmidzi)

Ini adalah janji yang kuat: ketika prioritas kita bergeser dari pengejaran duniawi semata ke tujuan akhirat, maka dunia itu sendiri akan datang kepada kita dalam bentuk keberkahan dan ketenangan, tanpa kita harus mengejarnya dengan keserakahan. Inilah esensi dari syukur yang menyelamatkan.

 

Senin, 28 Juli 2025




 Ketentraman Hati dan Jiwa: Anugerah Tertinggi di Dunia yang Fana

Di tengah hiruk pikuk dunia yang penuh ambisi, manusia sering kali melupakan satu nikmat yang nilainya jauh lebih agung dari segala tumpukan harta dan gelimang tahta: ketentraman hati dan jiwa. Ketenangan batin bukan sekadar suasana emosional sesaat, melainkan kondisi spiritual yang mendalam dan mengakar, buah dari iman dan ketakwaan yang tulus kepada Allah Ta’ala.

Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:

"Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram."
(QS. Ar-Ra’d: 28)

Ayat ini menjadi fondasi agung bahwa ketenteraman hakiki tidak lahir dari dunia luar, melainkan dari kedalaman hubungan dengan Sang Khalik. Dunia, dengan segala isinya, tidak mampu memberikan jaminan atas kedamaian batin jika hati jauh dari dzikrullah.

1. Dunia: Fana dan Menipu

Allah memperingatkan kita dalam Al-Qur’an bahwa dunia hanyalah permainan yang menipu:

"Dan kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau. Sedangkan negeri akhirat itu sungguh lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Tidakkah kamu mengerti?"
(QS. Al-An’am: 32)

Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin, salah satu cabang utama dari Tazkiyatun Nafs (penyucian jiwa), ialah menyadari bahwa ketergantungan pada dunia adalah racun bagi hati. Dunia tidak dilarang untuk dimiliki, tetapi tidak boleh bersemayam di hati. Hati yang bersih adalah hati yang tidak bergantung pada dunia, melainkan hanya pada Allah semata.

 

2. Apa Arti Kemewahan Jika Jiwa Gelisah?

Berapa banyak orang yang memiliki rumah mewah, kendaraan mahal, dan jabatan tinggi, tetapi tak pernah bisa tidur nyenyak? Jiwa mereka kosong, hati mereka gelisah. Ini sesuai dengan hadis Nabi Muhammad :

"Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta, tetapi kekayaan (yang sejati) adalah kekayaan jiwa."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, dalam Madarij As-Salikin, menjelaskan bahwa jiwa yang tentram (nafsul muthmainnah) adalah kondisi tertinggi yang bisa dicapai manusia dalam kehidupan dunia, karena di sanalah letak rahmat Allah yang sesungguhnya. Jiwa yang demikian akan senantiasa tenang dalam suka dan duka, dalam kemiskinan maupun kekayaan, karena sandarannya bukan keadaan, tapi Tuhan semesta alam.

3. Hati yang Lapang: Surga di Dunia

Dalam kehidupan yang penuh tantangan, hanya mereka yang memiliki kelapangan hati yang mampu melewatinya dengan damai. Hati yang lapang bukan berarti bebas dari masalah, tetapi ia mampu menerima takdir Allah dengan sabar dan syukur.

Rasulullah bersabda:

"Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya seluruh urusannya adalah baik. Jika mendapat kesenangan, dia bersyukur, itu baik baginya. Jika tertimpa musibah, dia bersabar, itu pun baik baginya."
(HR. Muslim)

Kelapangan hati adalah buah dari iman dan tawakal. Maka tak heran jika dalam Tazkiyatun Nafs, kelapangan hati disebut sebagai cahaya yang diberikan Allah kepada hamba-Nya yang bersih dari penyakit hati seperti iri, dendam, dan kesombongan.

4. Menyucikan Jiwa Menuju Ketentraman

Imam Al-Ghazali menyebut bahwa penyucian jiwa adalah jalan menuju Allah, sebagaimana yang tercermin dalam surah Asy-Syams:

"Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya, dan merugilah orang yang mengotorinya."
(QS. Asy-Syams: 9–10)

Proses tazkiyah tidak instan. Ia menuntut mujahadah (perjuangan batin), muraqabah (menjaga diri dalam pengawasan Allah), dan muhasabah (introspeksi diri). Dalam Tazkiyatun Nafs, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menggarisbawahi bahwa ketentraman datang ketika jiwa ridha terhadap takdir Allah, mencintai-Nya, dan menyerahkan segala urusan kepada-Nya.

5. Dunia Berlalu, Ridha Allah Kekal

Ketika seseorang menyadari bahwa tujuan hidup bukanlah dunia, tetapi mencari ridha Allah, maka ia tidak lagi cemas dengan urusan dunia yang silih berganti. Ia menerima dunia apa adanya, dan fokus pada misi hidup yang lebih besar: menggapai ridha-Nya.

Sebagaimana doa yang diajarkan Nabi:

"Ya Allah, berilah aku ketakwaan pada diriku, dan sucikanlah jiwaku. Engkau adalah sebaik-baik yang menyucikannya. Engkau adalah pelindung dan penolongnya."
(HR. Muslim)

Doa ini mencerminkan bahwa ketentraman dan kebersihan jiwa bukan hasil usaha semata, tetapi anugerah dari Allah. Kita hanya bisa mengetuk pintu-Nya dengan ikhlas dan konsisten dalam ibadah, dzikir, serta menjauhi maksiat.

6. Ketakwaan: Kunci Ketentraman

"Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka."
(QS. At-Talaq: 2–3)

Ketakwaan bukan hanya menjaga diri dari dosa, tapi juga menjaga hati agar tetap terhubung dengan Allah dalam setiap kondisi. Itulah sebabnya para ulama menekankan bahwa kebahagiaan tertinggi adalah hadirnya rasa cukup (qana’ah) dan ridha dalam hati.

Ibnu Qayyim menulis:

“Kebahagiaan dan ketentraman tidak akan pernah bisa diraih oleh hati yang dipenuhi dengan cinta dunia. Ketika hati mencintai Allah melebihi apapun, maka ia akan memperoleh kebahagiaan yang tidak bisa dibandingkan dengan kenikmatan dunia.”

7. Penutup: Menjaga Hati, Merawat Jiwa

Di zaman modern yang serba cepat, menjaga hati tetap tenang adalah perjuangan besar. Tapi inilah ladang amal yang utama. Kita tidak harus menghindari dunia, namun cukup menjadikannya sebagai kendaraan, bukan tujuan. Yang terpenting bukan apa yang kita genggam, tetapi apa yang menetap di dalam hati.

"Ya Allah, karuniakan kami hati yang lapang, jiwa yang tunduk dalam ketakwaan, karena ketentraman sejati hanya mampu memberi... Biarkan dunia berlalu sebagaimana adanya, selama hati dan jiwa dalam ridha-Mu semata."

Semoga kita menjadi hamba-hamba yang dimasukkan ke dalam golongan:

"Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku."
(QS. Al-Fajr: 27–30)