Jangan Gantungkan Asa pada Manusia yang Fana:
Meniti Harapan Hanya kepada Allah
Dalam kehidupan yang penuh dinamika ini, sering kali hati kita terpaut
pada sesama manusia menggantungkan harapan pada makhluk yang serba terbatas.
Kita berharap pada perhatian, pengakuan, bahkan pertolongan dari mereka yang
sejatinya sama rapuhnya dengan kita. Padahal, manusia, betapapun mulianya,
tetaplah ciptaan yang fana. Mereka datang dan pergi, mencintai dan melupakan,
menyapa lalu menghilang. Maka, menggantungkan harapan sepenuhnya kepada manusia
hanya akan berujung pada luka, kecewa, dan kehampaan.
Sebaliknya, ketika kita menggantungkan harap hanya kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala, maka hati menjadi tenang. Sebab Dia Maha Mendengar, Maha
Melihat, Maha Pengasih, dan tidak pernah mengecewakan hamba-Nya. Allah tidak
pernah abai terhadap tangisan di malam sunyi atau harapan dalam doa yang lirih.
Dia tidak iri saat hamba-Nya bahagia, tidak meninggalkan saat hamba-Nya jatuh.
Dia Maha Cinta, dan cinta-Nya tidak akan pernah sirna.
1. Manusia Itu
Lemah dan Terbatas: Hakikat Keterbatasan yang Harus Disadari
Allah sudah mengingatkan manusia akan hakikat kelemahannya:
“Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah.”
(QS. An-Nisa: 28)
Ayat ini bukan sekadar pengingat, melainkan fondasi pemahaman kita
tentang realitas eksistensi manusia. Manusia terbatas dalam ilmu, kehendak, dan kekuasaan.
Kita sering lupa bahwa bahkan orang terdekat sekalipun, seperti teman yang kita
harapkan akan setia, bisa saja pergi karena alasan duniawi yang tak terduga.
Orang tua atau pasangan yang begitu kita andalkan, suatu saat akan meninggalkan
dunia ini karena takdir kematian. Maka, menggantungkan sepenuhnya rasa aman,
cinta, dan bahagia kepada manusia adalah bentuk kesalahan harapan yang fatal,
hanya akan memperbesar luka dan kekecewaan.
Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin dengan tegas menyatakan:
“Barang siapa yang bersandar pada selain Allah, maka sesungguhnya dia
bersandar pada tali yang rapuh. Tali itu akan putus ketika ujian datang,
sedangkan sandaran kepada Allah akan semakin kuat ketika badai kehidupan
menghantam.”
Pernyataan ini bukan hanya metafora, melainkan sebuah kebenaran
universal. Ketergantungan pada manusia, sekuat apapun ikatan itu, bersifat
temporer dan rentan terhadap perubahan. Hanya sandaran kepada Sang Pencipta
yang abadi yang mampu memberikan ketahanan jiwa di tengah gelombang cobaan.
2. Allah Tidak
Pernah Meninggalkan Hamba-Nya: Dekapan Kasih Sayang yang Abadi
Ketika manusia berpaling, Allah justru mendekat. Ketika manusia lupa,
Allah senantiasa ingat. Ini adalah janji yang tak pernah ingkar, sebuah
manifestasi dari kasih sayang-Nya yang tak terbatas.
“Sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa
apabila dia memohon kepada-Ku.”
(QS. Al-Baqarah: 186)
Ayat ini adalah jaminan ilahiah
yang menenangkan. Allah bukan hanya mendengar doa, tapi juga Maha Mengetahui
kondisi batin hamba-Nya, bahkan sebelum kita mengucapkan keluhan, Allah sudah
mengetahui isi hati dan perasaan kita. Dia memahami kesedihan yang tersembunyi,
kegelisahan yang tak terucap, dan harapan yang samar-samar.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam Madarijus Salikin menegaskan
kedalaman hubungan ini:
“Tidak ada yang lebih dicintai Allah daripada hamba yang berharap
kepada-Nya dan kembali kepada-Nya dalam segala keadaan. Allah akan mencukupkan
semua harapan hamba itu, bahkan lebih dari yang ia minta.”
Ini menunjukkan bahwa harapan yang tulus kepada Allah bukan hanya
dikabulkan, melainkan akan diberikan lebih dari yang kita bayangkan.
Kehadiran-Nya adalah satu-satunya konstanta dalam hidup yang penuh
ketidakpastian.
3. Kekecewaan
Muncul Karena Salah Meletakkan Harapan: Akar Masalah yang Perlu Dituntaskan
Saat kita kecewa kepada seseorang, sebenarnya bukan karena mereka jahat,
tapi karena kita terlalu berharap lebih kepada mereka. Kita mengira mereka
dapat memahami isi hati kita seperti Allah memahami. Kita mengira mereka akan
hadir setiap saat seperti Allah yang tidak pernah tidur dan tidak pernah lalai.
Kekeliruan ini adalah sumber utama dari banyak luka batin.
Padahal Rasulullah ﷺ pun mengajarkan untuk tidak terlalu berharap kepada
manusia:
“Jika kamu meminta, mintalah kepada Allah. Jika kamu meminta
pertolongan, mintalah kepada Allah.”
(HR. Tirmidzi, no. 2516)
Hadits ini adalah panduan fundamental yang menjelaskan bahwa puncak tawakal adalah menggantungkan segala
keinginan hanya kepada Allah, bukan kepada makhluk yang tidak memiliki daya dan
upaya kecuali dengan izin-Nya. Dengan meletakkan harapan pada tempatnya, kita
membebaskan diri dari beban ekspektasi yang seringkali tidak realistis terhadap
sesama manusia. Kekecewaan adalah cermin dari harapan yang salah alamat.
4. Cinta Allah
Takkan Pernah Sirna: Keabadian Kasih yang Tak Bersyarat
Cinta manusia itu terbatas oleh waktu, ruang, dan kepentingan. Ia bisa
memudar seiring waktu, berubah karena jarak, atau sirna karena konflik
kepentingan. Tapi cinta Allah tidak pernah berubah. Ia abadi, tak lekang oleh
zaman, dan tak terbatas oleh kondisi.
“Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya.”
(QS. Al-Maidah: 54)
Cinta Allah itu tanpa syarat.
Bahkan ketika kita banyak berbuat dosa, selama kita kembali kepada-Nya dengan
tobat yang sungguh-sungguh, Dia akan tetap menerima kita dengan penuh rahmat
dan ampunan. Inilah keindahan cinta Ilahi: ia selalu terbuka bagi hamba-Nya
yang ingin kembali.
Dr. 'Aidh al-Qarni dalam bukunya La Tahzan dengan indah
menuliskan:
“Jika dunia telah berpaling darimu, dan semua pintu tertutup untukmu,
maka ketahuilah bahwa pintu Allah selalu terbuka. Ia tidak pernah menutup
rahmat-Nya bagi hamba yang mau mengetuk dengan doa dan harapan.”
Ini adalah pengingat bahwa dalam setiap kegelapan, cahaya harapan dari
Allah selalu ada, menanti untuk menerangi jalan kita.
5. Mengharap Kepada
Allah Itu Membebaskan: Kemerdekaan Jiwa yang Hakiki
Mengharap kepada manusia akan memperbudak hati. Kita akan gelisah jika
tak dibalas pesan, kecewa jika tidak dianggap, dan marah jika dilupakan.
Perasaan-perasaan ini mengikat kita pada penilaian dan tindakan orang lain, menghilangkan
kemerdekaan batin kita. Tapi saat kita mengharap hanya kepada Allah, kita
bebas. Kita tidak lagi tergantung pada validasi manusia, pujian mereka, atau
bahkan kehadiran mereka.
Ibnu Qayyim berkata dalam Al-Fawaid:
“Jika engkau tidak melepaskan harapan dari makhluk, maka engkau akan
tetap terpenjara dalam gelisah dan kerisauan. Tapi jika harapanmu hanya kepada
Allah, engkau akan merasakan kemerdekaan jiwa yang hakiki.”
Kemerdekaan ini adalah hadiah terbesar dari meletakkan harapan pada yang
Maha Kuasa. Kita menjadi kuat dari dalam, tidak goyah oleh opini atau keputusan
orang lain.
6. Dalam Setiap
Luka, Ada Kasih Sayang-Nya: Hikmah di Balik Musibah
Setiap kesedihan yang menimpa, jika disikapi dengan harap kepada Allah,
justru menjadi penghapus dosa dan penambah pahala. Ini adalah perspektif iman
yang mengubah penderitaan menjadi potensi kebaikan.
“Tidaklah seorang mukmin ditimpa rasa sakit, kelelahan, kekhawatiran,
kesedihan, gangguan, bahkan duri yang menusuknya, melainkan Allah akan
menghapus kesalahan-kesalahannya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits ini, Rasulullah ﷺ mengajarkan bahwa musibah adalah cara Allah menghapuskan dosa dan mendekatkan
hamba-Nya kepada-Nya. Maka jangan kecewa jika orang tidak memahami luka kita,
karena Allah sedang memperhatikan hati kita lebih dalam dari siapa pun. Dia
melihat kesabaran kita, ketabahan kita, dan harapan kita di tengah badai.
7. Bertawakkal dan
Berharap kepada Allah Saja: Fondasi Iman yang Kuat
Allah mencintai hamba yang bertawakal kepada-Nya. Tawakal bukan berarti
pasif, melainkan aktif berusaha sambil
menggantungkan hasil sepenuhnya kepada Allah. Ini adalah keseimbangan
antara ikhtiar dan pasrah, antara upaya dan keyakinan.
“Dan hanya kepada Allah hendaknya kalian bertawakal, jika kalian
benar-benar orang yang beriman.”
(QS. Al-Maidah: 23)
Tawakal dan berharap kepada Allah adalah tanda iman yang kuat. Dan iman
yang kuat adalah jaminan ketenangan hidup di dunia maupun akhirat. Ketika kita
bertawakal, beban hidup terasa lebih ringan, karena kita tahu bahwa ada
kekuatan yang jauh lebih besar yang mengatur segala urusan.
8. Allah Teman
Setia Dunia dan Akhirat: Kebersamaan yang Tak Terganti
Manusia bisa menolak kita karena kesalahan kita, bahkan bisa
meninggalkan kita saat kita paling membutuhkan. Tapi Allah tidak pernah
meninggalkan hamba-Nya, meskipun hamba itu penuh dosa. Asalkan ada niat
kembali, Allah akan lebih cepat menerima.
“Tuhanmu tidak meninggalkanmu dan tidak pula membencimu.”
(QS. Ad-Dhuha: 3)
Ayat ini memberikan kelegaan dan jaminan yang tak ternilai. Ini adalah
janji abadi dari Sang Pencipta.
Ibnu Qayyim berkata:
“Jika engkau dekat dengan Allah, maka engkau tidak akan kesepian meskipun
engkau sendiri. Karena kebersamaan dengan-Nya lebih menenangkan daripada ribuan
manusia yang tidak mengerti hatimu.”
Kebersamaan dengan Allah adalah sumber ketenangan sejati. Dia adalah
teman setia yang memahami tanpa perlu dijelaskan, menyokong tanpa perlu
diminta, dan mencintai tanpa pernah berhenti.
Penutup: Harapkan
Hanya kepada-Nya, Raih Kebebasan Sejati
Hidup ini adalah perjalanan menuju keabadian. Di tengah perjalanan ini,
jangan biarkan hati kita dikendalikan oleh ekspektasi terhadap makhluk. Manusia
bisa mencintai lalu membenci, bisa mendekat lalu pergi, bisa mengingat lalu
melupakan. Tapi Allah, tidak pernah demikian.
Dia setia menemani kita sejak dalam rahim, hingga ke liang lahat, bahkan
terus bersama kita jika kita dikumpulkan di surga-Nya. Cinta dan harapan yang
kita letakkan kepada-Nya adalah satu-satunya yang takkan mengecewakan.
Maka katakan pada hatimu:
“Wahai jiwa, lepaskan harapanmu dari mereka yang fana. Gantungkanlah ia
kepada Yang Maha Kekal, agar engkau tak lagi terluka oleh dunia yang
berubah-ubah.”
Apakah Anda siap membebaskan hati Anda dari ketergantungan pada yang
fana dan menambatkan harapan Anda sepenuhnya kepada Yang Maha Kekal?