Terus Belajar, Jangan Pernah Berhenti: Kerendahan Hati sebagai Kunci Kebijaksanaan
Dalam kehidupan
sehari-hari, tidak jarang kita menjumpai orang yang merasa dirinya sudah cukup
pintar dan tidak perlu lagi belajar. Mereka menganggap pengetahuan yang
dimilikinya adalah puncak dari kecerdasan, sehingga enggan menerima kritik atau
masukan. Padahal, dunia terus berubah, ilmu pengetahuan berkembang, dan
tantangan kehidupan semakin kompleks. Ketika seseorang berhenti belajar, maka
secara tidak sadar ia membatasi dirinya sendiri. Akhirnya, pengetahuan yang
dimilikinya menjadi usang dan justru membuatnya terlihat bodoh di tengah
dinamika zaman.
Sebaliknya, orang yang
senantiasa membuka diri untuk belajar hal-hal baru akan terus mengasah wawasan
dan kemampuannya. Kerendahan hati untuk mengakui bahwa kita tidak tahu
segalanya merupakan kunci untuk membuka pintu pembelajaran tanpa batas.
Ilmu dalam Pandangan Islam
Islam menempatkan ilmu sebagai pondasi utama
dalam kehidupan seorang Muslim. Bahkan wahyu pertama yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad ﷺ dimulai dengan kata “Iqra’” (bacalah), sebuah perintah
yang menekankan pentingnya membaca, belajar, dan mencari ilmu.
Allah berfirman:
"Dan katakanlah: ‘Ya Rabbku,
tambahkanlah kepadaku ilmu.’"
(QS. Thaha: 20:114)
Ayat ini menunjukkan bahwa seorang Muslim
tidak boleh berhenti belajar. Bahkan Nabi ﷺ yang maksum pun diperintahkan untuk
selalu meminta tambahan ilmu. Ini menjadi pelajaran berharga bahwa ilmu itu
tidak pernah ada batasnya.
Selain itu, Allah menegaskan:
"Katakanlah: Apakah sama orang-orang
yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?"
(QS. Az-Zumar: 39:9)
Perbedaan antara orang berilmu dan yang tidak
berilmu begitu jelas. Namun, ilmu juga harus disertai dengan kerendahan hati.
Imam Syafi’i pernah berkata:
"Semakin aku bertambah ilmu, semakin aku sadar betapa banyak hal yang
belum aku ketahui."
Pernyataan ini menggambarkan bahwa semakin
luas wawasan seseorang, seharusnya semakin rendah hati ia dalam menyadari
keterbatasannya.
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim.” (HR. Ibnu Majah)
Kata wajib di sini menunjukkan bahwa
mencari ilmu bukan pilihan, melainkan keharusan yang melekat sepanjang hayat.
Seorang Muslim yang berhenti belajar sama saja melanggar spirit ajaran
agamanya.
Perspektif
Umum: Mengapa Berhenti Belajar Berbahaya
Dari kacamata umum, berhenti belajar memiliki
dampak besar, baik dalam kehidupan pribadi maupun profesional:
- Pengetahuan cepat usang.
Di era digital, informasi berkembang begitu pesat. Apa yang benar hari ini bisa jadi usang besok. Misalnya, teknologi komunikasi, kedokteran, dan bahkan metode bisnis terus mengalami perubahan. Orang yang berhenti belajar akan tertinggal jauh. - Konfirmasi bias.
Orang yang merasa sudah pintar cenderung menolak informasi baru yang bertentangan dengan keyakinannya. Akibatnya, pola pikir menjadi sempit. - Sulit beradaptasi.
Dalam dunia kerja, keterampilan baru terus dibutuhkan. Mereka yang tidak mau belajar akan tergilas perubahan. - Hubungan sosial terganggu.
Seseorang yang selalu merasa benar sulit berkomunikasi dengan sehat. Orang lain enggan berdiskusi karena merasa tidak dihargai.
Psikolog Carol Dweck memperkenalkan konsep growth
mindset, yaitu keyakinan bahwa kemampuan dapat terus dikembangkan melalui
usaha, pembelajaran, dan ketekunan. Sebaliknya, fixed mindset adalah
keyakinan bahwa kecerdasan bersifat tetap. Orang dengan growth mindset
lebih terbuka pada kritik, lebih tahan menghadapi kegagalan, dan lebih siap
menghadapi perubahan.
Contoh
Nyata: Dari Sejarah hingga Kehidupan Modern
- Tokoh Islam:
Imam Al-Ghazali pernah mengalami krisis intelektual dan spiritual. Ia
kemudian berkelana mencari ilmu, mengoreksi pandangan, dan akhirnya
menulis karya besar seperti Ihya Ulumuddin yang masih dipelajari
hingga kini. Kerendahan hatinya untuk mengakui keterbatasan justru
membuatnya menjadi ulama besar.
- Tokoh Barat:
Albert Einstein mengatakan, “Semakin banyak aku belajar, semakin aku
menyadari betapa sedikit yang aku ketahui.” Sikap rendah hati ini
membuatnya terus bereksperimen hingga menghasilkan teori-teori besar.
- Kehidupan modern: Seorang profesional yang rajin mengikuti
pelatihan, membaca buku terbaru, dan membuka diri pada kritik, cenderung
lebih sukses dan relevan. Sebaliknya, mereka yang puas dengan ilmu lama
biasanya tertinggal.
Kerendahan
Hati Intelektual
Kerendahan hati intelektual bukan berarti
merendahkan diri secara berlebihan, melainkan kesediaan untuk menerima bahwa
kita tidak tahu segalanya. Sifat ini memiliki banyak manfaat:
- Meningkatkan pembelajaran.
Orang yang rendah hati mudah menerima masukan, sehingga terus berkembang. - Memperkuat hubungan sosial.
Mereka lebih dihargai karena memberi ruang dialog. - Mendorong inovasi.
Dengan menerima kritik, lahirlah ide-ide baru. - Menjaga akhlak.
Dalam Islam, ilmu harus diiringi dengan akhlak mulia. Kerendahan hati menjadi pagar agar ilmu tidak melahirkan kesombongan.
Cara
Praktis Menjadi Pembelajar Seumur Hidup
- Biasakan membaca setiap hari.
Minimal 20 menit, pilih bacaan beragam: keagamaan, pengetahuan umum, hingga teknologi. - Jurnal pembelajaran pribadi.
Catat hal-hal baru yang dipelajari atau kesalahan yang terjadi setiap minggu. - Terima kritik dengan lapang dada.
Anggap kritik sebagai cermin, bukan serangan. - Ajarkan kembali ilmu yang didapat.
Mengajar adalah cara terbaik untuk menguatkan pemahaman. - Latih bahasa kerendahan hati.
Ucapkan kalimat seperti: “Boleh jadi saya keliru, mohon diluruskan.” - Pertanyakan asumsi lama.
Evaluasi keyakinan atau metode yang dipegang, apakah masih relevan? - Seimbangkan keyakinan dan keterbukaan.
Percaya pada ilmu yang sudah teruji, tapi jangan menutup pintu terhadap bukti baru.
Penutup
Menjadi pintar bukan tentang berapa banyak
gelar yang dimiliki, melainkan bagaimana kita terus menjaga semangat belajar
dan kerendahan hati. Dalam Islam, menuntut ilmu adalah ibadah dan jalan menuju
kemuliaan. Dalam dunia modern, terus belajar adalah kunci adaptasi dan inovasi.
Kerendahan hati membuka pintu pembelajaran tanpa batas dan menjadikan seseorang
bukan hanya cerdas, tetapi juga bijaksana.
Seperti perkataan Socrates: “Aku hanya
tahu bahwa aku tidak tahu apa-apa.” Kalimat sederhana ini mengajarkan kita
bahwa pengakuan terhadap keterbatasan justru merupakan awal dari kebijaksanaan
sejati.
Maka, jangan pernah merasa sudah cukup. Hidup
adalah perjalanan belajar tanpa akhir. Teruslah membaca, bertanya, mendengar,
dan mengoreksi diri. Dengan begitu, kita tidak hanya akan menjadi pribadi yang
lebih berilmu, tetapi juga lebih bermanfaat bagi sesama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar