Algoritma Jadi Majikan, Akal Sehat Bisa Hilang:
Saatnya Kembali ke Al-Qur’an dan Hadis
Scroll bukan riset, viral bukan valid. Ini bukan soal
nyinyir, tapi soal sadar. Ketika algoritma dijadikan majikan, akal sehat bisa
hilang tanpa jejak. Al-Qur’an dan Hadis hadir bukan untuk menyenangkan, tapi
untuk menyadarkan.
Di era digital, kita hidup dalam arus informasi yang
tiada henti. Jari-jari tak henti scroll, mata terpaku pada layar, dan pikiran
tenggelam dalam banjir konten viral. Banyak yang mengira itu bentuk melek
informasi, padahal bisa jadi kita justru kehilangan kesadaran akan kebenaran.
1. Ketika Algoritma Menjadi Majikan
Media sosial dirancang untuk mempertahankan perhatian.
Algoritma bekerja seperti majikan tak terlihat yang mengatur apa yang kita
lihat, pikirkan, bahkan rasakan. Dalam buku The Shallows karya Nicholas Carr,
disebutkan bahwa paparan informasi cepat dan dangkal membuat manusia kehilangan
kemampuan berpikir mendalam.
Inilah yang disebut dalam psikologi Islam sebagai
ghaflah (kelalaian) keadaan hati yang lalai dari mengingat Allah dan kebenaran.
Allah SWT berfirman:
"Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa
kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka
sendiri."
(QS. Al-Hasyr: 19)
Ketika kita terlalu tunduk pada algoritma, kita bukan
hanya lupa pada Allah, tapi juga lupa pada identitas dan misi hidup sebagai
hamba-Nya.
2. Scroll Bukan Riset, Viral Bukan Valid
Salah satu ilusi zaman ini adalah menganggap informasi
yang viral pasti benar. Padahal, Islam mengajarkan prinsip tabayyun klarifikasi
dan verifikasi sebelum menyebarkan informasi.
"Wahai orang-orang yang beriman, jika datang
kepada kalian orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan
teliti..."
(QS. Al-Hujurat: 6)
Dalam psikologi Islam, ini berkaitan dengan konsep
‘aql (akal) sebagai alat untuk menimbang, bukan sekadar menyerap. Ibn Qayyim
Al-Jauziyah mengatakan bahwa akal adalah cahaya dalam hati, dan ia hanya akan
bersinar jika disinari wahyu.
Tanpa wahyu, akal hanyalah alat yang bisa disesatkan.
Di sinilah pentingnya menyeimbangkan antara informasi dunia digital dengan ilmu
yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah.
3. Al-Qur’an dan Hadis Hadir untuk Menyadarkan, Bukan
Menyenangkan
Konten viral sering dibuat untuk menyenangkan,
menghibur, dan mencandu. Tapi wahyu justru datang untuk membebaskan manusia
dari ilusi. Dalam Surah Taha ayat 124, Allah memperingatkan bahwa siapa yang
berpaling dari peringatan-Nya, maka hidupnya akan sempit, meski mungkin
dikelilingi cahaya layar dan gelak tawa virtual.
"Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku,
maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit..."
(QS. Taha: 124)
Psikolog Muslim kontemporer seperti Dr. Malik Badri
menegaskan bahwa kesehatan jiwa sejati hanya bisa dicapai jika manusia selaras
dengan fitrah dan petunjuk wahyu. Ia menyebut bahwa peradaban modern
menciptakan krisis jiwa karena melepaskan manusia dari nilai-nilai samawi.
4. Saatnya Berhenti Sejenak dan Bertanya: Siapa yang
Menuntunku?
Apakah hidup kita dibimbing oleh algoritma, atau oleh
Al-Qur’an? Apakah kita lebih sering membaca postingan viral ketimbang ayat
suci? Apakah kita lebih mempercayai komentar netizen daripada nasihat
Rasulullah?
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini adalah cermin kesadaran
kita. Jika algoritma menjadi guru utama, maka tak heran jika akal sehat
pelan-pelan hilang tanpa jejak.
Penutup: Kembali kepada Wahyu
Di tengah kebisingan dunia digital, Al-Qur’an dan
Hadis adalah suara hening yang menyadarkan. Ia tidak datang untuk menyenangkan
ego, tapi menuntun ruh. Ia tidak populer di feed, tapi penuh kekuatan untuk
menghidupkan hati.
Sebagaimana dikatakan Al-Ghazali:
“Hati manusia adalah cermin. Jika terus-menerus
diarahkan ke dunia, ia akan buram. Tapi jika diarahkan ke langit (wahyu), ia
akan kembali bening.”
Mari berhenti sejenak dari scroll tanpa arah. Mari
kembalikan kendali hidup pada wahyu, bukan algoritma. Karena hidup bukan soal
viral, tapi soal nilai. Dan nilai sejati tak ditentukan oleh like dan share,
tapi oleh Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar