Teks Berjalan

Selamat Datang di Blog abuyasin.com Selamat Datang di Blog abuyasin.com

Kamis, 24 Juli 2025



 Cintai Dirimu Sendiri: Sebuah Ajakan untuk Bangkit dan Menata Hidup

Di dunia ini, orang yang paling harus kamu sayangi adalah dirimu sendiri. Ya, bukan karena egois, bukan pula karena narsistik. Tapi karena tidak ada orang lain yang akan sungguh-sungguh peduli dengan kehidupanmu seutuhnya selain dirimu sendiri. Bahkan saat orang-orang terdekatmu menyayangimu, pada akhirnya kamulah yang harus menanggung semua akibat dari keputusan dan kelalaianmu.

Kita sering kali lebih sibuk menyenangkan orang lain, mencari validasi, atau mengejar pujian, tapi lupa bahwa kita sedang menyakiti diri sendiri. Melupakan hak tubuh untuk istirahat, mengabaikan jiwa yang haus akan ketenangan, dan menutup mata atas fakta bahwa ibadah kita masih penuh celah, amal kita masih jauh dari cukup, dan hati kita masih jauh dari Allah.

1. Jujur pada Diri Sendiri: Surga Belum Jelas

Surga itu tidak diwariskan, bukan juga hadiah gratis tanpa usaha. Ia adalah tempat yang hanya bisa diraih dengan rahmat Allah dan amal saleh yang sungguh-sungguh. Kita sering merasa tenang hanya karena status kita sebagai Muslim, padahal belum tentu kita termasuk golongan yang layak masuk surga.

Ibadah kita? Sering bolong. Niat kita? Kadang tidak tulus. Shalat kita? Terkadang dikerjakan di ujung waktu, bahkan dengan terburu-buru. Sementara itu, kita masih punya banyak waktu untuk scroll media sosial, nonton hiburan yang tak bermanfaat, dan membicarakan aib orang lain.

Jika kita jujur, kita harus mengakui: Surga itu belum jelas untuk kita. Maka, mari kita berhenti menipu diri sendiri. Jangan terlena oleh kenyamanan dunia, karena dunia ini fana. Hari ini kita tertawa, bisa jadi esok kita berada di liang lahat.

2. Sayangi Dirimu, Jangan Biarkan Terjerumus

Menyayangi diri bukan berarti memanjakan diri dengan malas-malasan atau memuaskan hawa nafsu. Menyayangi diri artinya menyelamatkan diri dari kehancuran abadi. Menyayangi diri berarti memaksa diri untuk taat, meski berat. Menyayangi diri artinya berusaha menunaikan hak-hak ruh, jasad, dan hati agar tidak rusak.

Allah berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka..."
(QS. At-Tahrim: 6)

Perintah ini jelas: jaga dirimu dulu, sebelum orang lain. Karena ketika seseorang mencintai dirinya dengan benar, maka dia akan menjaga lisannya, amalnya, pikirannya, waktunya, bahkan setiap detik hidupnya agar bernilai pahala.

3. Amal Masih Kurang, Ibadah Masih Lalai

Jangan merasa aman hanya karena pernah ikut kajian, pernah sedekah besar, atau pernah menangis dalam tahajud. Amal kebaikan itu harus terus diperjuangkan. Sebab, tidak ada yang menjamin amal kita diterima.

Ulama salaf sangat takut amalnya tidak diterima. Mereka lebih takut amalnya tertolak daripada takut akan sedikitnya amal. Bagaimana dengan kita? Seringkali kita tidak takut sama sekali. Padahal ibadah kita bolong-bolong, niat sering bercampur, dan hati masih jauh dari khusyuk.

Pernahkah kita bertanya pada diri sendiri, “Kalau aku mati hari ini, siapkah aku bertemu Allah?”

Jika jawabannya belum, maka itulah tanda bahwa kita harus segera menata ulang hidup kita.

4. Lisan yang Kotor dan Omongan yang Tak Dijaga

Salah satu hal yang sering kita remehkan adalah lisan. Padahal, Rasulullah ﷺ pernah bersabda:

"Sesungguhnya seseorang benar-benar mengucapkan satu kata yang dia anggap sepele, namun karena kata itu dia tergelincir ke neraka sejauh antara timur dan barat."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Berapa banyak dari kita yang dengan mudah mengumpat, menyindir, bergosip, atau berkata kasar? Lisan kita seringkali menjadi sumber dosa terbesar kita. Dan parahnya, kita jarang merasa bersalah atas dosa-dosa dari ucapan ini.

Jika kamu benar-benar menyayangi dirimu, maka jagalah lisanmu. Karena lisan yang kotor akan menyeretmu kepada kehinaan, dunia dan akhirat.

5. Menunda Shalat dan Akrab dengan Rasa Malas

Malas adalah penyakit yang menggerogoti semangat. Dan yang paling berbahaya dari rasa malas adalah malas ibadah. Shalat ditunda-tunda, Al-Qur’an jarang disentuh, bahkan untuk sekadar berdoa pun enggan.

Padahal Rasulullah ﷺ bersabda:

"Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang dikerjakan tepat pada waktunya."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Menunda shalat bukan hanya kebiasaan buruk, tapi bisa menjadi dosa yang berat. Apalagi jika sampai meninggalkannya dengan sengaja.

Jika kamu betul-betul menyayangi dirimu, jangan kompromi dengan waktu shalat. Paksakan dirimu, walau berat. Bangkitlah melawan rasa malas. Karena rasa malas hari ini bisa berubah menjadi penyesalan selamanya di akhirat.

6. Bangkit dan Mulai dari Sekarang

Kamu mungkin merasa gagal, banyak dosa, dan merasa tak layak. Tapi ingat, Allah itu Maha Pengampun. Selama nyawa belum sampai di tenggorokan, kesempatan itu masih ada.

Bangkitlah!

  • Mulai jaga shalatmu.
  • Jaga lisanmu dari yang tak bermanfaat.
  • Kurangi waktu sia-sia.
  • Perbanyak membaca Al-Qur’an.
  • Perbaiki akhlak kepada keluarga dan orang-orang terdekat.
  • Jadikan malam sebagai waktu untuk mendekat, walau hanya dengan dua rakaat.
  • Gantilah rasa malas dengan semangat bahwa hidupmu berharga di mata Allah.

7. Cintai Dirimu Demi Surga

Mencintai diri adalah langkah awal menuju cinta Allah. Karena orang yang mencintai dirinya dengan benar akan menjaga dirinya dari murka Allah.

Rasulullah ﷺ bersabda:

"Orang cerdas adalah orang yang menghisab dirinya dan beramal untuk bekal setelah mati. Dan orang bodoh adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allah."
(HR. Tirmidzi)

Maka mari berhenti menjadi orang bodoh yang selalu menunda kebaikan dan terlalu nyaman dengan dosa. Mari menjadi orang cerdas, yang mencintai diri dengan menuntunnya ke jalan taat.

 

Jangan Sia-siakan Dirimu

Jika hari ini kamu bisa membaca ini, itu tanda Allah masih sayang. Jangan abaikan sinyal ini. Jangan biarkan dirimu larut dalam kelalaian dan kemalasan.

Sayangi dirimu.

Karena tubuhmu akan jadi saksi.
Karena waktumu akan ditanya.
Karena hatimu harus kembali kepada Penciptanya.

Bangkitlah hari ini, meski hanya dengan satu langkah kecil. Karena langkah kecil itu akan menyelamatkanmu dari kebinasaan.

 

Rabu, 23 Juli 2025

 


Setiap Detik adalah Ujian: Menjadikan Hidup Amanah Menuju Ridha Allah

“Setiap detik adalah ujian. Hidup adalah amanah. Ia bukan sekadar berjalan atau napas yang bertahan. Ia adalah titipan dari Rabbul ‘Alamin, untuk dijaga dan dituntun ke jalan yakin.”

Dalam kedalaman makna kehidupan, manusia sejatinya bukan sekadar makhluk yang bernapas, melainkan hamba yang diberikan amanah oleh Allah . Detik demi detik yang kita jalani adalah rangkaian ujian, peluang bersyukur atau kelalaian, jalan menuju ridha atau jalan menuju murka.

1. Hidup adalah Amanah dari Rabbul ‘Alamin

Allah berfirman:

“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh manusia itu amat zalim dan amat bodoh.”
(QS. Al-Ahzab: 72)

Amanah kehidupan yang diemban manusia adalah sesuatu yang agung. Ia bukan hanya tentang mengelola waktu, harta, atau jabatan, melainkan tentang mengelola iman dan ketaatan kepada Allah.

Imam Al-Ghazali menyebutkan dalam Ihya’ ‘Ulumuddin, bahwa manusia akan ditanya tentang hidupnya, umurnya, masa mudanya, hartanya, dan ilmunya. Ini semua menunjukkan bahwa hidup bukan milik kita, tapi titipan yang kelak dimintai pertanggungjawaban.

2. Setiap Detik adalah Ujian

Allah menciptakan kehidupan bukan sebagai hiburan semata, melainkan ujian.

“Yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang terbaik amalnya.”
(QS. Al-Mulk: 2)

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa tujuan hidup adalah ibadah dan amal terbaik, bukan banyaknya amal tapi kualitasnya — yang paling ikhlas dan paling sesuai sunnah.

Rasulullah bersabda:

“Tidak akan bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat hingga ia ditanya tentang: umurnya untuk apa ia habiskan, ilmunya untuk apa ia amalkan, hartanya dari mana ia peroleh dan ke mana ia belanjakan, dan tubuhnya untuk apa ia gunakan.”
(HR. Tirmidzi)

3. Hidup Bukan Sekadar Berjalan: Tapi Menemukan Arah

Allah berfirman:

“Apakah kamu mengira bahwa Kami menciptakan kamu secara main-main, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?”
(QS. Al-Mu’minun: 115)

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah mengatakan:

"Hidup sejati adalah hidupnya hati. Dan hati yang hidup adalah yang mengenal Rabb-nya, mencintai-Nya, dan menuju kepada-Nya."

Maka arah hidup seorang mukmin adalah ridha Allah, bukan popularitas, harta, atau kedudukan. Setiap langkah adalah pilihan: menuju surga atau neraka.

4. Antara Syukur dan Kelalaian

Allah mengingatkan manusia untuk memilih antara dua jalan:

“Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.”
(QS. Al-Insan: 3)

Dalam tafsirnya, Ath-Thabari menjelaskan bahwa yang bersyukur adalah yang menerima nikmat dan menaati Allah karenanya, sedangkan yang kufur adalah yang lalai dan menolak perintah Allah.

5. Hidup Hanya Persinggahan, Bukan Tempat Abadi

Allah menyebut dunia sebagai:

“Permainan dan senda gurau, dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa.”
(QS. Al-An’am: 32)

Rasulullah bersabda:

“Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau seorang pengembara.”
(HR. Bukhari)

6. Yang Membawa Bekal Akan Tenang

Allah berfirman:

“Barangsiapa yang beramal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik.”
(QS. An-Nahl: 97)

Imam Ibnu Taymiyyah berkata:

"Surga bagiku ada di dalam hatiku. Ke mana pun aku pergi, ia selalu bersamaku."

7. Yang Lalai Akan Hilang Arah dan Terang

Allah menyindir manusia yang lalai:

“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri.”
(QS. Al-Hasyr: 19)

Imam Hasan Al-Bashri berkata:

"Siapa yang mengenal dunia akan tahu bahwa kesenangannya fana. Siapa yang mengenal akhirat, akan tahu bahwa hidup itu sebentar."

8. Jangan Tertipu Gemerlap Dunia

Allah mengingatkan:

“Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.”
(QS. Al-Hadid: 20)

Ibnu Qudamah dalam Mukhtashar Minhajul Qashidin menjelaskan bahwa dunia memikat karena keindahannya, tetapi sering menjadi sebab kebinasaan karena melalaikan.

9. Bangun Jiwa, Teguhkan Iman

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Tuhan kami adalah Allah’ kemudian mereka istiqamah, maka malaikat akan turun kepada mereka (seraya berkata): Janganlah kamu takut dan janganlah bersedih hati...”
(QS. Fussilat: 30)

Teguh dalam iman berarti konsisten dalam kebaikan walau dalam kesendirian. Imam Syafi’i berkata:

“Bersabarlah atas pahitnya hidup. Sebab, sabar adalah tamengnya orang beriman.”

10. Hidup Sejati Ada di Kehidupan Kemudian

Allah berfirman:

“Sesungguhnya kehidupan akhirat, itulah kehidupan yang sebenarnya, sekiranya mereka mengetahui.”
(QS. Al-Ankabut: 64)

Rasulullah mengajarkan doa:

“Ya Allah, jangan jadikan dunia sebagai cita-cita terbesar kami dan puncak ilmu kami.”
(HR. Tirmidzi)

11. Jadikan Hidup untuk Mencari Ridha Allah

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”
(QS. Adz-Dzariyat: 56)

Ibnu Rajab Al-Hanbali berkata:

“Hakikat ibadah adalah mencintai Allah sepenuh hati, tunduk kepada-Nya, dan terus berusaha mendekat dengan amal shalih.”

“Dan barangsiapa yang menginginkan akhirat serta berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh, sedang ia beriman, maka usaha mereka itu akan diterima.”
(QS. Al-Isra’: 19)

Wahai diri, hidup ini bukan sekadar napas yang berhembus, tetapi amanah dan ujian yang akan dimintai pertanggungjawaban. Bangunlah dari kelalaian, tinggalkan gemerlap semu, dan jadikan dunia sebagai jembatan menuju ridha Allah. Setiap detik adalah kesempatan. Gunakan ia untuk hal yang bernilai kekal.

 

Selasa, 22 Juli 2025

 


Menyucikan Jiwa di Tengah Derasnya Arus Informasi: Perspektif Tazkiyatun Nafs dan Psikologi Muslim

Di era digital yang serba cepat ini, kita dibombardir oleh informasi dari segala penjuru. Notifikasi ponsel tak pernah henti berdering, media sosial menyajikan jutaan konten setiap detiknya, dan berita-berita terbaru silih berganti. Dalam hiruk pikuk ini, lisan kita, baik dalam bentuk ucapan langsung maupun ketikan jemari, memiliki kekuatan yang luar biasa. Sayangnya, tidak jarang lisan ini justru menjadi pedang bermata dua yang melukai, menyebarkan keburukan, bahkan meruntuhkan sendi-sendi keimanan.

Pernahkah terbesit dalam benak kita, betapa besarnya dampak lisan yang tidak terjaga? Sebagaimana ungkapan yang menyentuh hati, "Demi Allah, tiada ilah selain Dia, di muka bumi ini yang paling layak dipenjara seumur hidupnya adalah lisan yang tidak terjaga." Ungkapan ini, meskipun bukan dalam konteks hukum formal, secara mendalam menggambarkan betapa krusialnya peran lisan dan konsekuensi spiritual serta sosial yang ditimbulkannya.

 

Dalam tradisi Islam, konsep Tazkiyatun Nafs atau penyucian jiwa memegang peranan sentral. Ini adalah upaya membersihkan hati dari sifat-sifat tercela dan menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji. Lisan, sebagai cerminan hati, sangat dipengaruhi oleh kondisi batiniah seseorang. Jika hati bersih dan dipenuhi kebaikan, lisan akan cenderung berkata yang baik. Sebaliknya, hati yang kotor akan memuntahkan perkataan yang buruk.

Imam Al-Ghazali, salah satu ulama terbesar dalam sejarah Islam, dalam karyanya Ihya' Ulumiddin, banyak membahas tentang penyakit-penyakit hati dan cara mengobatinya. Beliau menjelaskan bahwa sifat-sifat buruk seperti riya' (pamer), hasad (iri dengki), ujub (kagum pada diri sendiri), dan ghibah (menggunjing), semuanya bermula dari hati yang sakit dan seringkali termanifestasi melalui lisan. Maka, kunci utama dalam menjaga lisan adalah dengan senantiasa membersihkan dan menyucikan hati.

 

Para ulama dan ahli hadis sepanjang sejarah Islam sangat menekankan pentingnya menjaga lisan. Mereka memahami betul bahwa lisan adalah gerbang utama bagi kebaikan dan keburukan.

Salah satu hadis Nabi Muhammad SAW yang paling sering dikutip adalah: "Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam." (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini adalah pondasi utama dalam etika berbicara. Ia mengajarkan prinsip dasar: jika perkataan kita tidak membawa kebaikan, maka lebih baik diam. Diam di sini bukanlah pasif, melainkan sebuah bentuk kontrol diri dan kebijaksanaan.

Imam An-Nawawi, seorang ahli hadis terkemuka, dalam syarahnya atas hadis ini, menjelaskan bahwa diam itu sendiri adalah ibadah. Terkadang, diam jauh lebih mulia daripada berbicara yang tidak bermanfaat. Beliau juga mengingatkan bahwa setiap perkataan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT.

Selain itu, para ulama juga memperingatkan tentang bahaya fitnah dan ghibah. Al-Qur'an secara tegas melarang ghibah, bahkan menyamakannya dengan memakan daging saudaranya yang sudah mati. Ini menunjukkan betapa menjijikkannya perbuatan tersebut di mata Allah. Lisan yang gemar bergosip, menyebarkan berita bohong, atau mengadu domba, sejatinya sedang mengumpulkan dosa-dosa besar yang akan memberatkan timbangan amal di akhirat kelak.

 

Pendekatan Psikologi Muslim: Memahami Mekanisme Batin

Psikologi Muslim adalah bidang yang mengintegrasikan prinsip-prinsip Islam dengan ilmu psikologi modern. Dalam konteks menjaga lisan, pendekatan ini menawarkan kerangka kerja yang komprehensif untuk memahami mengapa seseorang sulit mengendalikan lisannya dan bagaimana cara mengatasinya.

Dari perspektif psikologi Muslim, lisan yang tidak terjaga seringkali merupakan gejala dari ketidakseimbangan batin. Emosi negatif seperti kemarahan, frustrasi, kecemburuan, atau rendah diri, jika tidak dikelola dengan baik, dapat memicu perkataan yang impulsif dan merugikan.

Dr. Malik Badri, salah satu pionir psikologi Muslim kontemporer, banyak menyoroti bagaimana konsep-konsep Islam seperti tawakkul (berserah diri kepada Allah), sabr (kesabaran), dan syukur (bersyukur), berperan penting dalam membangun ketahanan mental dan emosional. Seseorang yang memiliki tawakkul yang kuat cenderung lebih tenang dan tidak mudah terpancing untuk berbicara buruk, bahkan dalam situasi provokatif.

Pendekatan psikologi Muslim juga mendorong kita untuk melakukan muhasabah an-nafs (introspeksi diri) secara rutin. Dengan menyadari pola-pola pikiran dan emosi kita, kita dapat mengidentifikasi pemicu-pemicu yang membuat lisan kita tergelincir. Misalnya, apakah kita cenderung bergosip ketika merasa bosan? Atau marah ketika merasa diremehkan? Dengan mengenali pemicu ini, kita dapat mengembangkan strategi untuk meresponsnya dengan lebih bijak, alih-alih membiarkan emosi menguasai lisan.

 

Fadilah Amal dan Kesehatan Spiritual Islami: Buah Lisan yang Terjaga

Menjaga lisan bukan hanya tentang menghindari dosa, melainkan juga tentang meraih fadilah amal (keutamaan perbuatan baik) yang besar dan mencapai kesehatan spiritual yang prima. Dalam Islam, setiap perkataan baik adalah sedekah.

Rasulullah SAW bersabda: "Senyummu di hadapan saudaramu adalah sedekah, dan memerintahkan kepada yang ma’ruf serta melarang dari yang mungkar adalah sedekah, dan menunjukkan jalan kepada seseorang di jalan adalah sedekah, dan menyingkirkan batu, duri, dan tulang dari jalan adalah sedekah, dan engkau menuangkan air dari timbamu ke dalam wadah saudaramu adalah sedekah." (HR. Tirmidzi). Hadis ini secara eksplisit menyebutkan bahwa perkataan baik, seperti memerintahkan kebaikan atau memberi petunjuk, adalah bentuk sedekah yang mendatangkan pahala.

Lisan yang senantiasa berzikir, mengucapkan salam, memuji Allah, dan mendoakan kebaikan bagi sesama, akan menjadi sumber pahala yang terus mengalir. Ini adalah investasi spiritual yang tidak ada habisnya. Sebaliknya, lisan yang kotor akan menguras pahala dan memberatkan timbangan dosa.

Dari sisi kesehatan spiritual, menjaga lisan adalah salah satu pilar utama. Jiwa yang sehat adalah jiwa yang tenang, bersih, dan senantiasa terhubung dengan Allah. Lisan yang terjaga mencerminkan hati yang tenteram dan pikiran yang jernih. Ketika kita berbicara baik, kita tidak hanya menyejukkan hati orang lain, tetapi juga menenangkan jiwa kita sendiri.

Seseorang yang gemar berkata kotor, berbohong, atau menyebarkan kebencian, akan merasakan kegelisahan batin dan kekosongan spiritual. Hatinya akan menjadi keras, jauh dari ketenangan yang dijanjikan oleh iman. Sebaliknya, lisan yang jujur, santun, dan penuh kasih sayang akan menumbuhkan kedamaian batin, meningkatkan kepercayaan diri, dan memperkuat hubungan dengan Sang Pencipta. Ini adalah inti dari kesehatan spiritual: selarasnya hati, lisan, dan perbuatan dengan ajaran Illahi.

 

Membangun Lisan yang Bertakwa: Integrasi Praktis

Untuk membangun lisan yang bertakwa dan terjaga, kita dapat mengintegrasikan ketiga pendekatan ini dalam kehidupan sehari-hari:

  1. Prioritaskan Tazkiyatun Nafs: Jadikan penyucian hati sebagai prioritas utama. Perbanyak dzikir, membaca Al-Qur'an, qiyamul lail (salat malam), dan merenungkan kebesaran Allah. Hadiri majelis ilmu untuk menambah pemahaman agama dan menguatkan iman.
  2. Teladani Para Ulama dan Ahli Hadis: Pelajari sirah (biografi) para ulama dan bagaimana mereka menjaga lisan. Amalkan hadis-hadis tentang keutamaan menjaga lisan dan bahaya lisan yang tidak terjaga. Ingatlah selalu bahwa setiap kata yang terucap akan dipertanggungjawabkan.
  3. Manfaatkan Pendekatan Psikologi Muslim: Lakukan introspeksi diri secara teratur. Identifikasi emosi negatif yang mungkin memicu perkataan buruk dan pelajari cara mengelolanya. Latih kesabaran (sabr) dan syukur (syukur) sebagai perisai mental. Jika perlu, cari bimbingan dari profesional yang memahami psikologi dari perspektif Islam.
  4. Terapkan Prinsip "Berpikir Sebelum Berbicara": Sebelum mengucapkan sesuatu atau mengetik pesan, tanyakan pada diri sendiri: Apakah perkataan ini benar? Apakah bermanfaat? Apakah akan menyakiti orang lain? Apakah akan mendekatkan saya kepada Allah?

 

Lisan adalah anugerah sekaligus amanah. Kekuatan lisan sangat dahsyat, mampu membangun dan menghancurkan. Di tengah riuhnya kehidupan modern, tantangan untuk menjaga lisan semakin besar. Namun, dengan menginternalisasi nilai-nilai Tazkiyatun Nafs, meneladani ajaran para ulama dan ahli hadis, memanfaatkan wawasan dari psikologi Muslim, serta memahami fadilah amal dan kesehatan spiritual Islami, kita dapat melatih diri untuk memiliki lisan yang bertakwa, lisan yang menjadi sumber kebaikan, bukan kehancuran.

Maka, marilah kita senantiasa berikhtiar untuk "memenjarakan" lisan yang tidak terjaga, bukan dengan belenggu besi, melainkan dengan ikatan iman, takwa, dan kebijaksanaan, demi meraih ridha Allah SWT dan keselamatan di dunia maupun akhirat.

 

Selasa, 15 Juli 2025



 Merangkai Kata, Mengubah Dunia: Sebuah Seruan Aksi untuk Muslim Milenial

"Kata-kata bisa menginspirasi. Kata-kata bisa menyembuhkan. Kata-kata bisa mengubah dunia. Tapi lebih dari itu, kata-kata bisa mengubah dirimu sendiri."

 

Di tengah hiruk-pikuk era digital yang serba cepat, di mana jari-jemari kita tak henti menari di atas layar sentuh, dan notifikasi berdesing silih berganti merebut perhatian, muncul sebuah pertanyaan mendasar: apa kontribusimu? Dunia ini, dengan segala kompleksitas dan dinamikanya, bukanlah sekadar panggung untuk kita eksis tanpa makna. Lebih dari itu, ia adalah ladang luas yang menunggu untuk diisi dengan benih-benih kebaikan, gagasan-gagasan inspiratif, dan perubahan-perubahan berarti. Bagi remaja Muslim milenial, jalan menuju kontribusi yang hakiki tidak selalu harus melalui aksi-aksi kolosal yang menggelegar—kadang kala, dampaknya justru bermula dari hal-hal yang tampak sederhana, namun memiliki kekuatan luar biasa: sebuah kalimat yang menggugah, satu paragraf yang menyentuh hati, atau satu artikel yang membuka cakrawala berpikir. Dan percayalah, semua itu berawal dari satu kegiatan fundamental yang sering kali kita abaikan: menulis.

 

Kata: Senjata Sunyi yang Menggetarkan Dunia

Kata-kata bukanlah sekadar susunan huruf-huruf mati. Ia adalah entitas hidup yang memiliki kekuatan magis untuk membangkitkan jiwa-jiwa yang tertidur, menggugah nurani yang terlelap, dan menyalakan bara semangat yang nyaris padam dalam dada. Sejak awal peradaban, terutama dalam sejarah Islam yang kaya, kata-kata telah menjadi jembatan utama untuk menyampaikan kebenaran ilahi. Para Nabi, dari Adam hingga Muhammad SAW, tidak mewariskan tumpukan harta benda, melainkan wahyu dan risalah yang abadi melalui untaian kata-kata penuh hikmah.

 

Ketika kita menilik kembali lembaran sejarah keemasan Islam, kita akan menemukan jejak-jejak tak terhapuskan dari para ulama dan cendekiawan yang mendedikasikan hidupnya untuk menorehkan ilmu. Mereka menulis berjilid-jilid kitab yang kini masih menjadi rujukan utama, mercusuar ilmu yang menerangi gelapnya kebodohan. Mereka tidak mewariskan istana megah atau ladang yang luas, melainkan warisan intelektual yang tak ternilai harganya: ilmu yang dibukukan lewat tulisan.

 

Bayangkan sejenak jika Ibnu Sina tidak menulis Al-Qanun fi At-Tibb, sebuah ensiklopedia medis yang menjadi rujukan selama berabad-abad, yang fondasinya masih relevan hingga kini. Betapa banyak kemajuan dalam dunia kedokteran yang mungkin tertunda, betapa banyak nyawa yang mungkin tak tertolong. Atau, jika Imam Bukhari tidak dengan gigih mengumpulkan dan memverifikasi Shahih Bukhari, sebuah kompilasi hadis sahih yang menjadi pilar utama pemahaman sunnah Nabi. Bagaimana kita bisa memahami ajaran dan praktik Rasulullah dengan kedalaman yang sama? Dan apalagi jika Hamka tidak menuliskan Tafsir Al-Azhar, sebuah karya monumental yang menghidupkan kembali semangat keislaman di Nusantara dengan gaya bahasa yang memukau dan menyentuh hati. Betapa banyak cahaya yang mungkin hilang, betapa banyak umat yang mungkin kehilangan arah dalam mengarungi samudra Al-Qur'an.

 

Kisah-kisah heroik intelektual ini bukan hanya untuk dikenang, melainkan untuk menjadi inspirasi dan seruan aksi bagi generasi muda Muslim saat ini. Mereka telah menorehkan jejak. Kini, giliranmu. Giliranmu untuk mengambil pena atau keyboard dan mulai menuliskan kontribusimu bagi dunia.

 

Kenapa Remaja Muslim Milenial Harus Menulis?

Dalam lanskap modern yang semakin kompleks, di mana gagasan berseliweran dan informasi membanjiri, kemampuan menulis bukan lagi sekadar keterampilan tambahan, melainkan sebuah kebutuhan esensial, sebuah alat pemberdayaan diri, dan juga bentuk ibadah yang penuh makna.

 

Menulis = Mewariskan Jejak Abadi (Sedekah Jariyah Intelektual)

Ada sebuah kebenaran universal yang sering kita lupakan: kita semua akan pergi. Hidup adalah sebuah perjalanan yang memiliki akhir. Namun, ada cara agar jejak kita bisa tetap tinggal, mengukir inspirasi, dan memberikan manfaat abadi yaitu dalam bentuk tulisan. Sebuah catatan reflektif yang menenangkan jiwa, sebuah cerpen yang menyentuh relung hati terdalam, atau sebuah puisi yang menggugah semangat, bisa terus dibaca, dipelajari, dan memberikan manfaat bagi banyak orang, bahkan jauh setelah kita tiada.

 

Inilah yang sering kita sebut sebagai sedekah jariyah intelektual. Seperti halnya sumur yang terus mengalirkan air, atau pohon yang terus memberikan buahnya, tulisan yang tulus dan bermakna akan terus mengalirkan kebaikan dan pahala bagi penulisnya, tanpa henti. Bayangkan, puluhan tahun dari sekarang, seseorang menemukan tulisanmu tentang kesabaran, tentang indahnya berbagi, atau tentang pentingnya menjaga lisan. Dan karena tulisanmu itu, hidupnya berubah menjadi lebih baik. Bukankah itu sebuah investasi akhirat yang tak ternilai harganya?

 

Menulis = Merawat Akal dan Hati (Latihan Berpikir dan Merenung)

Banyak orang mengira menulis hanyalah tentang menuangkan pikiran di atas kertas. Padahal, proses menulis jauh lebih dari itu. Menulis adalah sebuah latihan mental yang intensif. Saat kita menulis, kita dipaksa untuk:

 

Berpikir Jernih: Kita harus menyusun gagasan secara logis, menghubungkan satu ide dengan ide lainnya, dan memastikan alur pikiran kita mudah dipahami. Ini melatih kemampuan analisis dan sintesis.

 

Menyaring Nilai: Dalam proses menuangkan ide, kita secara otomatis akan menyaring informasi, memilah mana yang penting dan mana yang tidak, serta merenungkan nilai-nilai yang ingin kita sampaikan.

 

Menyelami Makna: Menulis juga mendorong kita untuk menyelami makna-makna yang lebih dalam dari suatu peristiwa, pengalaman, atau konsep. Kita tidak hanya melihat permukaan, tetapi mencoba memahami esensinya.

 

Dengan demikian, menulis bukan hanya menghasilkan tulisan, tetapi juga membentuk pribadi kita. Kita menjadi lebih peka terhadap lingkungan sekitar, lebih reflektif terhadap pengalaman hidup, dan pada akhirnya, menjadi pribadi yang lebih bijak dalam mengambil keputusan dan menyikapi kehidupan. Ini adalah cara yang efektif untuk merawat akal dari kekusutan dan hati dari kekosongan.

 

Menulis = Berdakwah dengan Penuh Cinta (Menyentuh Hati Melalui Kata)

Ketika mendengar kata "dakwah," sebagian besar dari kita mungkin langsung membayangkan seorang ustaz yang berteriak-teriak dari mimbar, atau demonstrasi besar-besaran di jalan. Namun, dakwah tak melulu harus seperti itu. Terkadang, dakwah yang paling dalam, yang paling menyentuh, dan paling efektif justru datang dari tulisan yang lembut, jujur, dan penuh kehangatan.

 

Tulisanmu bisa menjadi cahaya bagi orang yang sedang berjalan dalam kegelapan dan kebingungan. Sebuah artikel sederhana tentang pentingnya shalat Dhuha bisa memicu seseorang untuk mulai merutinkannya. Sebuah puisi tentang keindahan sabar bisa menenangkan hati yang sedang gundah. Tulisanmu bisa menjadi pelipur lara bagi yang sedang patah hati, penguat bagi yang sedang lemah, dan pengingat bagi yang sedang lalai.

 

Dengan menulis, kamu bisa menyampaikan pesan kebaikan, inspirasi, dan pencerahan kepada khalayak yang jauh lebih luas daripada jika kamu hanya berbicara. Sebuah tulisan di media sosial bisa dibaca oleh ratusan, bahkan ribuan orang dalam waktu singkat. Ini adalah bentuk dakwah modern yang sangat relevan di era digital ini, dakwah yang dilakukan dengan penuh cinta, tanpa paksaan, dan dengan bahasa yang mudah diterima.

 

Generasi Kata: Saatnya Kamu Berdiri!

Banyak remaja yang memiliki potensi menulis luar biasa, namun terkendala oleh satu hal yang sama: ketakutan untuk memulai. Seringkali, tantangan terbesar bukanlah ketidakmampuan, melainkan bisikan-bisikan negatif dalam diri yang menghambat.

 

“Aku nggak punya bakat menulis.”

 

“Aku nggak tahu harus nulis apa.”

 

“Aku nulis, tapi malu kalau dilihat orang lain.”

 

Percayalah, itu semua adalah perasaan yang sangat wajar. Hampir setiap penulis, bahkan yang sudah profesional sekalipun, pernah merasakan keraguan ini di awal perjalanannya. Namun, perlu diingat sebuah kebenaran fundamental: bakat bukanlah syarat utama untuk memulai. Kebiasaan adalah kuncinya. Bakat bisa diasah, tapi tanpa kebiasaan, bakat terbesar sekalipun akan layu tak berguna.

 

Tips Memulai: Singkirkan Keraguan, Ambil Penamu!

 

Jadi, bagaimana kita bisa memulai perjalanan menulis ini? Berikut adalah beberapa tips praktis yang bisa kamu terapkan segera:

 

1. Tulis Apa yang Kamu Rasakan: Kejujuran Adalah Kekuatan Utama

Lupakan sejenak ambisi untuk menghasilkan tulisan yang “sempurna” atau “mengguncang dunia” di awal. Jangan terlalu berpikir “harus bagus.” Fokuslah pada satu hal: tulis jujur dari hati. Tuangkan apa pun yang sedang kamu rasakan, pikirkan, atau alami.

 

Kadang-kadang, tulisan yang paling menyentuh adalah yang paling sederhana dan jujur. Sebuah curahan hati tentang rasa syukur atas nikmat Allah, kegelisahan tentang masa depan, atau refleksi dari sebuah peristiwa kecil dalam hidupmu semua itu memiliki potensi untuk resonansi. Ketika kamu menulis dengan jujur, pembaca akan merasakan koneksi emosional, karena mereka akan merasa bahwa kamu berbicara dari hati ke hati.

 

2. Tulis untuk Diri Sendiri Dulu: Jurnal Pribadi, Ruang Amanmu

 

Jika kamu masih merasa malu atau takut tulisanmu dinilai orang lain, mulailah dengan menulis untuk diri sendiri. Anggap menulis sebagai curhat kepada Allah, sebuah monolog batin yang tak perlu dipertontonkan. Luapkan semua perasaanmu: keresahan yang mengganjal, harapan-harapan yang membumbung tinggi, pelajaran yang kamu petik hari ini dari sebuah ceramah atau ayat Al-Qur'an, atau bahkan hanya sekadar catatan harian.

 

Jurnal pribadi, diary, atau catatan di aplikasi Notes di handphone-mu bisa menjadi ruang amanmu. Di sinilah kamu bisa berlatih, bereksperimen dengan kata-kata, dan menemukan suaramu sendiri tanpa tekanan. Ini adalah fondasi penting untuk membangun kepercayaan diri.

 

3. Mulai dari Format Ringan: Setiap Tulisan Punya Nilai

 

Tidak perlu langsung menulis esai panjang atau novel tebal. Mulailah dari format yang ringan dan mudah dicerna.

 

Quotes Islami: Buat kutipan singkat yang inspiratif dari Al-Qur'an, Hadis, atau kata-kata bijak ulama, lalu berikan sedikit tafsiran atau refleksi pribadimu.

 

Thread X (Twitter): Gunakan fitur thread di X untuk berbagi cerita singkat, tips islami, atau renungan tentang sebuah topik dalam beberapa cuitan.

 

Caption Instagram yang Bernas: Daripada hanya mengunggah foto tanpa makna, manfaatkan caption Instagram-mu untuk berbagi refleksi, nasihat singkat, atau cerita di balik fotomu dari sudut pandang Islam.

 

Catatan Kecil di Notes HP: Seringkali ide muncul di tengah aktivitas. Segera tuliskan di Notes HP-mu. Bisa berupa ide tulisan, penggalan lirik puisi, atau poin-poin penting yang ingin kamu kembangkan nanti.

 

Ingat: setiap tulisan, sekecil apa pun, punya nilai. Ia adalah langkah awal, batu bata pertama dalam membangun sebuah menara yang tinggi.

 

4. Ikuti Komunitas Literasi Islami: Temukan "Safar" Literasimu

 

Salah satu cara terbaik untuk tetap termotivasi dan mengembangkan diri adalah dengan bergabung dalam komunitas. Temukan teman seperjuangan yang memiliki minat yang sama dalam menulis, terutama dalam konteks Islami.

 

Ada banyak komunitas literasi Islami, baik offline maupun online. Misalnya, KBM, One Day One Post (ODOP), Forum Lingkar Pena (FLP) Remaja, atau berbagai grup menulis daring lainnya. Di komunitas ini, kamu bisa:

 

Berbagi tulisan dan mendapatkan feedback konstruktif. Ini sangat penting untuk perbaikan.

 

Belajar dari pengalaman anggota lain.

 

Mendapatkan inspirasi dan ide-ide baru.

 

Merasa tidak sendiri dalam perjalanan menulismu.

 

Mengikuti tantangan menulis rutin yang bisa membantumu membangun kebiasaan.

 

Lingkungan yang mendukung akan mempercepat proses belajarmu dan menjaga semangatmu tetap menyala.

 

Remaja Muslim: Isi Ruang Digital dengan Kata-Kata Bermakna

Kita hidup di era di mana ruang digital telah menjadi arena utama interaksi sosial dan pertukaran informasi. Sayangnya, ruang ini seringkali dipenuhi oleh konten yang kosong, viral namun dangkal, sensasi tanpa substansi, dan hiburan yang tidak memberikan nilai tambah.

 

Di sinilah kamu, sebagai remaja Muslim milenial, memiliki peran krusial dan tanggung jawab besar. Kamu bisa menjadi suara yang membawa makna, cahaya yang menerangi kegelapan, dan oasis di tengah gurun konten yang tandus. Bayangkan sejenak jika setiap remaja Muslim mengisi media sosialnya dengan:

 

Refleksi mendalam dari ayat-ayat suci Al-Qur’an: Bukan hanya mengunggah ayat, tetapi memberikan pemahaman personal, korelasi dengan kehidupan modern, dan ajakan untuk merenung.

 

Kisah-kisah inspiratif dari para sahabat dan shahabiyah: Menggali hikmah dari perjuangan, kesabaran, dan keteladanan mereka untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

 

Renungan tentang kehidupan, kematian, dan tujuan eksistensi: Mengajak teman-teman sebayamu untuk merenungkan makna hidup di luar gemerlap dunia fana.

 

Puisi-puisi yang menawan tentang cinta yang halal, keindahan penciptaan Allah, atau keagungan Islam: Mengisi ruang digital dengan keindahan sastra yang sarat makna.

 

Esai atau opini ringan tentang perubahan sosial, isu-isu kontemporer, atau tantangan zaman dari sudut pandang Islam: Menyumbangkan perspektif Islami yang solutif dan mencerahkan terhadap permasalahan umat dan bangsa.

 

Jika ini terjadi, betapa indahnya dunia digital itu! Ia tidak lagi menjadi sarang hoax dan ujaran kebencian, melainkan taman pengetahuan dan inspirasi. Betapa cerahnya masa depan umat ini, ketika generasi mudanya aktif menyebarkan kebaikan dan kebijaksanaan melalui medium yang paling mereka kuasai. Kamu tidak hanya menjadi konsumen konten, tetapi menjadi produsen konten positif yang berdampak.

 

Kata Terakhir: Jadilah Penulis yang Mengubah Dunia

Menjadi penulis bukan hanya tentang memiliki buku di rak toko buku. Menjadi penulis adalah soal menyentuh hati, menggerakkan pikiran, dan menghidupkan harapan. Ini adalah tentang menggunakan kekuatan kata-kata untuk menciptakan gelombang kebaikan yang tak terhingga.

 

Mungkin tulisanmu tidak akan viral di seluruh dunia. Mungkin ia hanya akan dibaca oleh segelintir orang. Namun, jika satu orang saja berubah menjadi lebih baik, lebih dekat kepada Allah, atau menemukan solusi atas permasalahannya karena tulisanmu, itu sudah lebih dari cukup sebagai bekal menuju surga. Ingatlah firman Allah dalam Al-Qur'an, “Dan barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. Az-Zalzalah: 7). Kata-kata baikmu adalah kebaikan seberat dzarrah yang bisa berbuah pahala abadi.

 

Sebagaimana kutipan yang menggugah itu: “Menulis bukan hanya untuk dikenang, tapi untuk menghidupkan hati yang sedang layu.”

 

Jadi, wahai remaja Muslim milenial yang diberkahi dengan kekuatan akal dan hati...

 

Jangan hanya jadi penonton sejarah. Jangan biarkan dirimu hanya menjadi penerima pasif dari informasi yang berseliweran di sekitarmu. Jadilah penulisnya. Jadilah agen perubahan, pengukir sejarah, melalui setiap kata yang kamu rangkai.

 

Karena dunia ini, umat ini, dan masa depan ini butuh lebih banyak pena yang menuliskan kebaikan. Mereka butuh suara-suara jujur yang menyampaikan kebenaran dengan cinta.

 

Dan kamu, adalah salah satunya. Mulailah hari ini. Ambil penamu. Tuliskan hatimu. Ubah duniamu, satu kata pada satu waktu.